Trump Ancam Jatuhkan Sanksi kepada Pihak Mana Pun yang Jual Senjata ke Iran
›
Trump Ancam Jatuhkan Sanksi...
Iklan
Trump Ancam Jatuhkan Sanksi kepada Pihak Mana Pun yang Jual Senjata ke Iran
Setelah gagal mengupayakan pemberlakuan sanksi embargo senjata bagi Iran melalui Dewan Keamanan PBB, Presiden AS Donald Trump menyiapkan perintah eksekutif berisi ancaman sanksi bagi pihak yang menjual senjata pada Iran.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Presiden Amerika Serikat Donald Trump berencana mengeluarkan perintah eksekutif yang memungkinkan dirinya menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang melanggar embargo senjata konvensional bagi Iran. Hal ini mengantisipasi berakhirnya embargo senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Iran, bulan depan.
Sebanyak empat sumber yang mengetahui masalah itu mengonfirmasi adanya rencana tersebut. Salah satu sumber, yang tak bersedia diungkapkan namanya, Kamis (17/9/2020) waktu AS atau Jumat pagi WIB, mengatakan perintah eksekutif itu akan diumumkan oleh Trump dalam beberapa hari mendatang.
Tidak hanya menjatuhkan sanksi, perintah eksekutif itu juga akan menghukum pelanggar dengan sanksi tambahan, yaitu mencabut akses mereka ke pasar Amerika Serikat. Gedung Putih tidak segera menanggapi permintaan konfirmasi atas informasi yang diungkapkan para sumber tersebut.
Berdasarkan kesepakatan nuklir yang ditandatangani Iran dengan enam negara, yaitu Inggris, China, Perancis, Jerman, Rusia, dan Amerika Serikat, embargo senjata konvensional bagi Iran akan berakhir pada 18 Oktober 2020 atau kurang dari tiga pekan menjelang pemilu AS, 3 November. AS secara unilateral telah menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018.
Namun, pada Agustus lalu, AS secara formal menyampaikan permintaannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa agar semua sanksi terhadap Iran—termasuk embargo senjata konvensional—diberlakukan kembali. Namun, permintaan itu ditolak dalam sidang Dewan Keamanan (DK) PBB. Dalam voting sidang DK PBB, 14 Agustus 2020, dari 15 anggota DK PBB, hanya AS dan Dominika yang setuju perpanjangan sanksi embargo senjata pada Iran. Dua negara (Rusia dan China) menolak, sedangkan 11 negara lainnya tidak bersikap.
Setelah itu, AS masih berusaha mencoba menggunakan mekanisme penerapan kembali sanksi (snap back), seperti diatur dalam Resolusi DK PBB Nomor 2231. Indonesia, yang bulan Agustus itu menjadi Presiden DK PBB, dan 12 anggota DK PBB menolak usulan AS untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. Sekutu AS di DK PBB, yakni Inggris, Perancis, dan Jerman, bahkan ikut menolak usulan AS. Hanya AS dan Dominika yang sepakat dengan perpanjangan embargo. Penolakan itu membuat DK PBB gagal mencapai konsensus sehingga tidak bisa bertindak lebih jauh.
Meski demikian, AS menegaskan tetap menggunakan mekanisme snap back atau pemberlakuan kembali seluruh sanksi PBB terhadap Iran, termasuk embargo senjata, mulai Sabtu (19/9/2020) malam atau Minggu (20/9/2020) pukul 00.00 GMT atau Minggu pukul 06.00 WIB.
Para pihak penanda tangan kesepakatan nuklir Iran dan sebagian besar anggota DK PBB menyatakan AS sudah tidak memiliki hak menggunakan mekanisme snap back karena negara itu sudah keluar secara unilateral dari kesepakatan nuklir Iran. Mereka berpandangan, langkah AS di PBB terkait pemberlakuan kembali sanksi terhadap Iran dengan mekanisme snap back tidak memiliki dampak hukum.
Juru bicara Perwakilan Tetap Iran untuk PBB, Alireza Miryousefi, mengatakan, penolakan mayoritas anggota DK PBB untuk memperpanjang sanksi atas Iran menunjukkan klaim AS itu tidak layak. Dia menyatakan kesepakatan nuklir tetap berlaku dan semua sanksi terhadap Iran akan dicabut berdasarkan kesepakatan tahun 2015.
Sanksi sekunder
Menurut salah satu sumber, perintah eksekutif Trump dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa menghalangi Trump dan Pemerintah AS meski gagal mendapatkan dukungan dari negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB. Dalam tiga bulan terakhir, Pemerintah AS mengajukan tiga usulan resolusi dan semuanya kandas di DK PBB. Inggris, Jerman, dan Perancis, sekutu-sekutu AS, bahkan menolak meluluskan keinginan AS itu.
Sumber lain dari kalangan diplomat negara Eropa mengatakan, perintah eksekutif itu membuat Pemerintah AS terlihat memiliki kekuatan dengan menjatuhkan sanksi sekunder, yaitu menghukum para pihak yang melakukan transaksi jual beli senjata dengan Iran meski usulan utama, yaitu embargo senjata, berakhir pada Oktober nanti.
Sanksi sekunder adalah sanksi yang dijatuhkan kepada negara kedua saat mereka melakukan transaksi perdagangan dengan negara ketiga dalam bentuk larangan akses ke pasar. Terhentinya akses ke negara pemberi sanksi adalah senjata yang ampuh bagi AS karena nilai ekonomi pasar yang menarik bagi para produsen persenjataan.
Sebagian besar perusahaan asing tidak ingin mengambil risiko dikeluarkan dari pasar AS yang besar dibandingkan dengan nilai perdagangan dengan negara lain, termasuk Iran.
Doug Jacobson, profesor hukum perdagangan yang sering diminta masukannya oleh Pemerintah AS soal penerapan sanksi atas perdagangan senjata, mengatakan perintah eksekutif ini hanya bersifat simbolis. Sudah banyak entitas bisnis dan individu yang dikenai sanksi sekunder oleh Washington.
”Sanksi sekunder dirancang untuk mengirim pesan tentang masalah ini bahwa AS tidak senang ada pihak lain (dalam kesepakatan nuklir Iran) tidak setuju untuk mencabut kembali embargo senjata,” kata Jacobson.
Perwakilan Khusus AS untuk Venezuela dan Iran Elliott Abrams, Rabu (16/9/2020), mengatakan Washington berencana menjatuhkan sanksi kepada mereka yang melanggar embargo senjata PBB meskipun dia tidak mengatakan AS akan melakukannya dengan perintah eksekutif.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo secara tidak langsung mengisyaratkan soal tindakan AS berikutnya dengan menekankan pada kekuatan sanksi dari Washington. ”Kami akan melakukan semua hal yang perlu kami lakukan untuk memastikan bahwa sanksi-sanksi itu diberlakukan,” kata Pompeo. (REUTERS)