Tambahan dana dan aneka stimulus masih membuat bank gundah gulana karena beban perbankan semakin berat pada tahun pagebluk ini. Meski demikian, bank tetap perlu mendorong pertumbuhan kredit guna mengungkit ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Bank juga manusia. Di tengah pandemi Covid-19, bank juga khawatir dan berhati-hati melangkah dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Kecemasan bank ini terjadi kendati pemerintah telah menyuntikkan dana, serta Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan sejumlah relaksasi atau stimulus.
Pemerintah telah menyuntikkan dana segar ke perbankan Rp 34,15 triliun untuk subsidi bunga, terutama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah juga telah menempatkan uang negara sebesar Rp 30 triliun di empat bank milik negara (BRI, BNI, Mandiri, dan BTN) untuk disalurkan dalam bentuk kredit bagi segmen pontesial masing-masing bank guna memulihkan ekonomi nasional.
Hingga 15 September 2020, BI juga telah menambah likuiditas melalui skema pelonggaran kuantitatif (QE) sebesar Rp 662,1 triliun. QE ini terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter Rp 491,3 triliun.
Adapun OJK juga telah menggulirkan aneka stimulus, antara lain restrukturisasi kredit, peningkatan kapasitas permodalan dan penundaan implementasi Basel III hingga 2023. OJK juga menurunkan batas minimum pemenuhan rasio kecukupun likuiditas (LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih (NSFR) dari semula 100 persen menjadi 85 persen.
Tambahan dana dan aneka stimulus itu masih membuat bank gundah gulana karena beban perbankan nasional semakin berat pada tahun pagebluk ini. Sejumlah bank akan menjadi bank pelaksana penyalur dana untuk menambah likuiditas bank lain.
Empat bank milik negara penerima penempatan dana pemerintah juga diminta menggandakan dana itu paling tidak tiga kali lipat dalam kurun waktu tiga bulan. Padahal, permintaan kredit masih lemah dan rendah.
Selain itu, keempat bank tersebut masih merestrukturisasi kredit dan ke depan juga akan menjadi bank pelaksana penyalur likuiditas. Perbankan juga tengah dihadapkan pada peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL). OJK mencatat, NPL gross perbankan pada Juli sebesar 3,22 persen. Kendati masih di bawah batas aman 5 persen, NPL ini meningkat dibandingkan dengan Juli 2020 yang sebesar 3,11 persen.
Kenaikan NPL ini terjadi lantaran arus kas debitor terganggu akibat berbagai pembatasan aktivitas warga yang memang harus dilakukan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Beberapa kelompok debitor yang gagal melakukan restrukturisasi juga akan membuat hambatan arus kas mereka berkembang menjadi kredit macet.
Beban NPL ini mesti dikompensasi perbankan di tahun-tahun berikutnya di saat periode pemulihan ekonomi berjalan, yakni ketika UMKM dan korporasi berbondong memohon pembiayaan kepada bank untuk memulihkan aktivitas bisnis mereka pasca-pandemi.
Beban NPL ini mesti dikompensasi perbankan di tahun-tahun berikutnya saat periode pemulihan ekonomi berjalan, yakni ketika UMKM dan korporasi berbondong memohon pembiayaan kepada bank untuk memulihkan aktivitas bisnis mereka pascapandemi.
Tak mengherankan biaya pencadangan kerugian bank terus melaju meskipun sudah ada tambahan likuiditas dan relaksasi. OJK mencatat, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) perbankan per Juni 2020 meingkat sebesar 4,6 persen dibandingkan Maret 2020, menjadi Rp 282,29 triliun.
Pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan CKPN pada Juni 2019 yang tumbuh 1,25 persen dibandingkan Maret 2019. Peningkatan CKPN ini mampu menekan NPL net pada Juli 2020 menjadi 1,12 persen yang turun sedikit dari NPL net Juni 2020 yang sebesar 1,13 persen.
Sikap konservatif perbankan ini tidak bisa disalahkan. Bank tentunya ingin mengamankan rasio kredit bermasalah mereka dari potensi lonjakan kredit macet yang terjadi secara tiba-tiba setelah periode relaksasi berakhir. Di samping itu, keputusan bank membentuk CKPN di tengah adanya relaksasi, tidak akan menggerus laba perusahaan. Pasalnya, perbankan masih memiliki likuiditas yang memadai dengan rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang pada Juli 2020 sebesar 22,96 persen, lebih tinggi dari Juni 2020 yang sebesar 22,59 persen.
Untuk menggerakkan ekonomi nasional, bank memang perlu mendorong pertumbuhan kredit di tengah ”beban berat hidupnya” itu. Sebagai jaring pengamannya, pemerintah juga telah meminta PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) dan PT Jaminan Kredit Indonesia (Persero) untuk penjaminan kredit modal kerja bagi UMKM dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.
Untuk menggerakkan ekonomi nasional, bank memang perlu mendorong pertumbuhan kredit di tengah ”beban berat hidupnya” itu.
Semoga dana-dana yang mengendap di perbankan bisa tersalurkan untuk menggerakkan ekonomi nasional, bukan justru untuk berbelanja di pasar modal dan keuangan, atau bahkan ditempatkan di BI. Di tengah penurunan daya beli masyarakat dan kas perusahaan, terobosan dan usaha keras perbankan mengungkit ekonomi dinanti.
Di sisi lain, agar bank tidak enggan menyalurkan kredit, ke depan, kebijakan pemerintah dalam memberikan stimulus dan penjaminan kredit bisa dipertimbangkan untuk diperluas.