Menyadari berbagai dampak dari keterpaparan berlebihan pada media sosial, ada yang secara radikal menggunakan istilah ”social media detox” dan mengampanyekannya.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Cara beristirahat kita sebelum dan setelah kehadiran media sosial sepertinya berbeda. Sebelum hadirnya internet dan media sosial, kita beristirahat dengan mengambil cuti dari kantor, mungkin berkunjung ke rumah saudara atau sahabat yang sudah lama tidak dikunjungi, atau berkumpul bersama di suatu tempat untuk bersenang-senang. Apabila uang mencukupi, kita berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Kita menjauh dari hiruk pikuk dunia kerja. Jika perlu, kita sengaja mematikan atau tidak menjawab panggilan telepon.
Setelah hadirnya internet dan media sosial, sebenarnya sangat sulit untuk sungguh-sungguh mengistirahatkan badan dan pikiran. Sebenarnya kurang tepat menuduh anak-anak muda sebagai kehilangan perhatian pada lingkungan akibat terlalu sibuk dengan gawainya. Apabila kita amati, orangtua dari para remaja pun, nyaris kita semua, mungkin juga kehilangan perhatian pada lingkungan sekitar karena sangat sibuk dengan telepon genggam masing-masing.
Istirahat masa kini
Teman saya, apabila jenuh dengan pekerjaannya menghadapi komputer, akan tidur-tiduran menonton drama Korea (drakor) atau bermain gim dari telepon genggamnya, itu dapat dilakukan berjam-jam. Sementara saya, apabila sudah kelelahan dengan pekerjaan, akan berhenti menghadapi komputer. Niatnya untuk beristirahat, tetapi ternyata saya berpindah ke gawai, lalu mencari tontonan-tontonan menarik di Youtube. Setelahnya, bukannya saya menjadi lebih nyaman dan tenang, tetapi kepala terasa tegang.
Penelitian kecil yang dilakukan para mahasiswa kami sebagai latihan dalam mata kuliah juga menemukan bahwa umum bagi anak-anak muda untuk mengalihkan kejenuhan dari tugas belajarnya ke berbagai hiburan yang ditawarkan di internet. Sebagian bahkan akan terjaga hingga pukul 01.00-02.00 karena ”keterusan”, tak mampu berhenti melepaskan diri dari gawainya.
Jadi, istirahat kita tidak sungguh merupakan istirahat, tetapi menambahi kerja otak, secara berlebih-lebihan, dengan bombardir informasi dan tugas-tugas kognitif lewat gim yang dimainkan serta tontonan yang memerlukan konsentrasi untuk dapat dipahami.
Karena tidak banyak bergerak dan ada dalam posisi yang sama terus-menerus, tubuh sesungguhnya juga tidak dibantu untuk mencapai kondisi lebih sehat. Dengan demikian, sebenarnya tidak mengherankan jika manusia masa kini menghadapi berbagai persoalan kesehatan fisik, psikologis, dan mental yang lebih banyak daripada generasi sebelumnya.
Christensen (2018) meneliti dampak penggunaan media sosial pada relasi dan emosi. Surveinya berhasil mengolah data dari 627 partisipan. Temuannya menunjukkan bahwa semakin banyak individu menghabiskan waktunya untuk media sosial, semakin mungkin ia mengalami dampak negatif pada kesejahteraan emosional dan penurunan pada kualitas hubungannya dengan orang lain. Efek negatif yang paling banyak dilaporkan adalah lebih mudahnya muncul rasa frustrasi, depresi, dan pembandingan sosial.
Tentang pembandingan sosial, kita akan cenderung jadi kecewa atau tidak puas pada diri sendiri karena mengevaluasi diri dalam perbandingannya dengan yang ditampilkan oleh orang-orang lain dalam media sosial. Entah itu dalam kesempurnaan tubuh dan wajah, prestasi, gaya hidup dan lingkaran sosial yang ditampilkan, keterpaparan pada dunia internasional, dan banyak hal lainnya.
Membatasi media sosial
Menyadari berbagai dampak dari keterpaparan berlebihan pada media sosial, ada yang secara radikal menggunakan istilah social media detox dan mengampanyekannya. Tujuannya agar individu dapat kembali memiliki kendali atas waktu, hubungan sosial, dan kesejahteraan diri. Saya pribadi menganggap bahwa kita tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya dari internet dan media sosial. Internet memiliki fungsi-fungsinya yang sangat positif dan di masa kini internet sudah seperti listrik yang menjadi persyaratan bagi beroperasinya berbagai hal lain.
Sementara itu, media sosial juga kadang diperlukan untuk mendapatkan informasi terkini, khususnya yang terkait dengan dunia kerja. Di internet atau media sosial juga banyak program positif, misalnya panduan meditasi atau yoga harian untuk menenangkan.
Dalam kasus saya, misalnya, karena bekerja sebagai dosen dan peneliti, saya memerlukan informasi mengenai berbagai gerakan kesehatan mental berbasis dunia maya, sharing dari para pengguna layanan kesehatan mental, atau pendekatan intervensi.
Menyadari efek negatif dari keterpaparan yang berlebihan pada internet dan media sosial, yang dapat dilakukan adalah secara sengaja melakukan langkah-langkah untuk membatasi keterpaparan diri kita pada media sosial dan berbagai produk yang ditawarkan di dunia maya.
Kita perlu mengevaluasi kecenderungan kita sendiri terkait perilaku menghadapi internet dan media sosial, untuk dapat menetapkan seberapa penting harus berubah, serta apa yang perlu diperbaiki dan dikendalikan.
Apabila kita mengakses berlebihan, hal yang dapat dilakukan, misalnya, memindahkan semua akun media sosial hanya ada di komputer, tidak di telepon seluler. Lalu, membuat perjanjian dengan diri sendiri mengenai perilaku yang boleh atau baik (do) dan tidak boleh dilakukan (do not), misalnya terkait lama waktu, jam yang dibolehkan untuk membuka media sosial, atau laman yang boleh dan tidak dibolehkan dibuka.
Jika kita menilai diri sudah mengalami adiksi media sosial, tentu perlu dilakukan langkah-langkah yang lebih signifikan. Apabila perlu, dengan bantuan profesional kesehatan mental. Kita belum menyebut tentang adanya sebagian warga masyarakat yang mungkin adiksi pada gim, pornografi atau cybersex di internet. Boleh jadi awalnya mereka masuk ke sana akibat kejenuhan dan ketegangan, tetapi kemudian terperangkap, sulit sekali keluar.
Akhir kata, sekadar mengingatkan kembali, apabila butuh beristirahat, pikiran dan otak juga perlu diistirahatkan. Maka, saat berniat istirahat, mari kita tutup komputer kita dan menjauh dari telepon genggam agar otak kita dapat sungguh menenangkan dirinya.