Pandemi Perlebar Kerawanan Pilkada
Pilkada di tengah pandemi Covid-19 melahirkan kerawanan baru. Tak sedikit daerah pilkada yang masuk zona merah dengan kasus pandemi tinggi, sekaligus mengalami keterbatasan infrastruktur penunjang kampanye virtual.
Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 menjadi momentum lompatan inovasi yang mengoptimalkan platform media daring. Namun, jika tak ditopang infrastruktur teknologi informasi memadai, tentu bisa sia-sia.
Pilkada di tengah pandemi Covid-19 melahirkan kerawanan baru. Tak sedikit daerah pilkada yang masuk zona merah dengan kasus pandemi tinggi, sekaligus mengalami keterbatasan infrastruktur penunjang kampanye virtual. Pelaksanaan pilkada secara parsial dengan menyesuaikan kondisi daerah layak jadi opsi.
Semakin tingginya tingkat kerawanan pilkada saat pandemi ini berpijak pada hasil riset Badan Pengawas Pemilu yang diluncurkan akhir Juni lalu. Dalam risetnya, Bawaslu meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2020 termutakhir yang simpulkan, tingkat kerawanan Pilkada 2020 meningkat akibat Covid-19.
Dalam konteks pandemi, IKP Pilkada per Juni 2020 ini mencatat ada 27 kabupaten/kota yang terindikasi rawan tinggi, 146 kabupaten/kota terindikasi rawan sedang, dan 88 kabupaten kota ada dalam titik rawan rendah. Aspek yang diukur dalam konteks pandemi, selain anggaran pilkada terkait Covid- 19, data terkait Covid-19, dukungan pemerintah daerah, resistensi masyarakat terhadap penyelenggaraan pilkada, dan hambatan pengawasan akibat Covid-19.
Baca Juga: Pilkada Tetap Digelar di Tengah Pandemi Covid-19
Isu lain yang juga diangkat saat pandemi ini adalah infrastruktur, di antaranya dukungan teknologi informasi di daerah dan sistem informasi yang dimiliki penyelenggara pemilu. Hal ini penting mengingat di tengah pandemi, aktivitas disarankan banyak lewat virtual dibandingkan tatap muka. Dukungan infrastruktur ini menjadi penting. Sayangnya, tak ada kabupaten/kota yang rawan rendah di isu infrastruktur ini. Sebanyak 117 kabupaten/kota terindikasi rawan tinggi dan 144 rawan sedang.
"Sebanyak 15 daerah rawan tinggi, baik soal pandemi maupun infrastruktur tersebut, terdiri atas empat wilayah kota, yakni Kota Sungai Penuh, Kota Manado, Kota Makassar, dan Kota Bitung. Sisanya, 11 daerah di wilayah kabupaten, yakni Melawi, Lamongan, Kotawaringin Timur, Gowa, Tasikmalaya, Fakfak, Sijunjung, Bulungan, Minahasa Utara, Bone Bolango, dan Bintan. Sementara, tiga provinsi yang masuk kategori ini adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara"
Litbang Kompas mengolah kedua isu ini untuk mengetahui seberapa banyak daerah pilkada yang lemah dan rawan sekaligus dari kedua aspek itu. Hasilnya, tak ada kabupaten/kota yang mengalami tingkat kerawanan rendah di kedua isu itu. Sebaliknya, ada 15 kabupaten/kota yang mengalami kerawanan tinggi di keduanya dan 71 kabupaten/kota mengalami kerawanan sedang, baik dari sisi pandemi maupun infrastruktur teknologi informasinya. Jika ditotal keduanya, setara dengan 32,9 persen dari kabupaten/kota yang menggelar pilkada tahun ini mengalami tingkat kerawanan bersamaan di kedua isunya. Kondisi serupa juga terjadi di tiga provinsi dari sembilan provinsi yang gelar pilkada.
Sebanyak 15 daerah rawan tinggi, baik soal pandemi maupun infrastruktur tersebut, terdiri atas empat wilayah kota, yakni Kota Sungai Penuh, Kota Manado, Kota Makassar, dan Kota Bitung. Sisanya, 11 daerah di wilayah kabupaten, yakni Melawi, Lamongan, Kotawaringin Timur, Gowa, Tasikmalaya, Fakfak, Sijunjung, Bulungan, Minahasa Utara, Bone Bolango, dan Bintan. Sementara, tiga provinsi yang masuk kategori ini adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
Munculnya kategori daerah rawan karena isu Covid-19 sekaligus rawan di isu infrastruktur teknologi informasi mengindikasikan daerah-daerah ini berpotensi mengalami kesulitan melaksanakan pilkada, terutama saat tahapan kampanye. Mereka tak hanya dihadapkan pada persoalan pandemi, tetapi juga kesulitan akses infrastruktur teknologi informasi, yang kampanye virtualnya bisa menjadi opsi selama pandemi. Namun, hal itu tak mudah akibat keterbatasan akses infrastruktur pendukung.
Kampanye virtual
Bagaimana pun, cara berkampanye virtual, terlebih dengan berbasis saluran daring, memang butuh penyokong infrastruktur memadai. Harus diakui, pesatnya kemajuan jaringan daring belum seutuhnya merata ke setiap daerah-daerah di Indonesia. Dalam konteks penyelenggaraan Pilkada 2020, ketimpangan infrastruktur teknologi informasi ini sempat diuji coba dalam gerakan Klik Serentak oleh para aktivis pemilu, pertengahan Juli lalu. Hasilnya, tak kurang dari 541 kecamatan dari total 3.935 kecamatan merupakan wilayah pilkada yang alami hambatan jaringan internet.
Kehadiran infrastruktur teknologi informasi di daerah menjadi sangat penting menggeser cara lama berkampanye tatap muka dalam bentuk digital sebagai antisipasi penyebaran Covid-19. Apalagi pengalaman saat pendaftaran pasangan calon awal September lalu, terlihat masih rendah pelaksanaan protokol kesehatan di lapangan. Setidaknya, Bawaslu menemukan ada 243 pelanggaran protokol kesehatan akibat euforia berlebih yang menyebabkan kerumunan massa saat pendaftaran pilkada.
Setelah selesainya tahap pendaftaran, beredar kabar beberapa calon kepala daerah terpapar Covid-19. Data KPU per Rabu (16/9/2020) menunjukkan, jumlah calon kepala daerah ataupun wakil kepala daerah terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 51 orang. Di wilayah Kalimantan Selatan dan Papua, calon kepala daerah positif Covid-19 sampai delapan orang.
Bahkan, di tingkat penyelenggara, banyak kasus yang positif Covid-19. Tak sedikit para anggota penyelenggara di wilayah pemilihan tertular penyebaran virus. Di Kabupaten Boyolali, misalnya, dilaporkan tak kurang dari 96 panitia pengawas terpapar Covid-19.
Potensi pelanggaran protokol yang begitu besar dan banyaknya kasus penyelenggara dan kontestan terpapar Covid-19, sedikit banyak juga berpengaruh pada efektivitas pilkada saat pandemi. Meskipun upaya antisipasi sebenarnya juga dilakukan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 10/2020. Sayangnya, pada peraturan ini masih membuka peluang tradisi kampanye terbuka dan melibatkan massa, sangat rentan saat Covid-19.
Inovasi
Di tengah situasi berat itu, penyelenggara terus berupaya memantik inovasi para pasangan calon kepala daerah berkampanye di masyarakat. Dalam Pasal 58 PKPU No 10/2020 tertera aturan yang mensyaratkan kampanye dengan model pertemuan terbatas dan tatap muka harus dengan tak melibatkan lebih dari 50 orang peserta dan wajib disiplin protokol kesehatan. Selain itu, kegiatan tersebut juga dapat diikuti lebih banyak peserta lain lewat akses secara daring.
Pandemi Covid-19 secara nyata membuat ruang gerak penyelenggaraan pilkada begitu terbatas. Namun, di sisi lain, hal ini merupakan momentum lompatan inovasi penyelenggaraan pemilihan, terutama kegiatan berkampanye dengan mengoptimalkan penggunaan platform media daring.
"Pemanfaatan berbagai platform media informasi untuk berkampanye bukanlah hal baru lagi, bahkan ruang-ruang digital di masa pemilihan seperti saat ini sangat ramai dengan konten marketing politik dari calon kepala daerah"
PKPU No 10/2020 mendefinisikan kampanye merupakan kegiatan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon. Tujuannya, mengenalkan atau meyakinkan pemilih. Cara berkampanye pun sebetulnya cukup fleksibel selagi masih dalam koridor aturan berlaku dan tak mengurangi esensi dasar maksud penyampaian dan komunikasi kepada publik tersebut.
Baca Juga: Tunda Pilkada, Fokus Covid-19
Hingga saat ini, pemanfaatan berbagai platform media informasi untuk berkampanye bukanlah hal baru lagi, bahkan ruang-ruang digital di masa pemilihan seperti saat ini sangat ramai dengan konten marketing politik dari calon kepala daerah. Penyampaian kampanye politik menaikkan citra calon kepala daerah, penyampaian visi-misi ataupun program kerja memang terbukti efisien disampaikan lewat sosial media ataupun media informasi arus utama karena menjangkau luas segmen pemilih.
Akhirnya, isu pandemi memang memaksa pilkada harus menyesuaikan diri. Tradisi kampanye tatap muka dengan pengumpulan massa semestinya perlu dibatasi. Namun, menggeser tradisi kampanye ke ruang virtual tanpa ditopang infrastruktur teknologi informasi memadai tentu sia-sia. Bukan tak mungkin, pandemi semakin memperlebar tingkat kerawanan di pilkada.