BUMDes perlu direvitalisasi agar lebih optimal menggerakkan ekonomi perdesaan. Sayangnya, BUMDes kurang diakui lembaga perbankan ataupun pihak ketiga lain. Sementara penyertaan modal dari masyarakat masih terbatas.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong badan usaha milik desa atau BUMDes menjangkau pendanaan dari perbankan. Selain membuka akses ke modal dengan bunga rendah, langkah itu juga ditempuh guna mengatasi keterbatasan sumber pembiayaan dari dana yang dihimpun dari masyarakat perdesaan.
Langkah mendorong BUMDes, antara lain, melalui penerbitan nomor registrasi. Dari 40.675 BUMDes yang mengajukan registrasi, 20.046 BUMDes sudah mengantongi nomor registrasi dari pemerintah.
Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar, pemerintah berupaya merevitalisasi BUMDes melalui pemberian nomor registrasi. Prosesnya melalui verifikasi dan validasi Kementerian Desa PDTT. Jumlah BUMDes yang mengantongi nomor registrasi pun bertambah dari 10.629 BUMDes pada Juli 2020 menjadi 20.046 BUMDes saat ini.
”Daftar BUMDes yang teregistrasi telah dikirimkan ke bank pembangunan daerah untuk mendapat akses permodalan dengan bunga rendah dalam skema pemulihan ekonomi nasional (PEN),” kata Abdul Halim saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/9/2020).
Penerbitan nomor registrasi menjadi bagian dari upaya pemerintah mendorong BUMDes agar tumbuh menjadi penopang pembangunan di perdesaan. Dengan cara itu, BUMDes diharapkan semakin mudah menjalin kerja sama dengan pihak ketiga.
Dia mencontohkan BUMDes milik desa yang tidak memiliki potensi ekonomi diperbolehkan membeli saham BUMDes lain yang sudah teruji dan menguntungkan.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Forum BUMDes Indonesia Rudy Suryanto mengatakan, kebutuhan pendanaan dari perbankan adalah konsekuensi dari perluasan bisnis BUMDes. Namun, dana bank bukan satu-satunya jalan pembiayaan bisnis BUMDes. Sumber lain yang kurang optimal digali adalah penyertaan modal dari masyarakat.
”Begitu lini bisnis BUMDes berkembang, maka wajar apabila memerlukan penguatan modal dari lembaga keuangan. Namun, sebenarnya ada sumber lain yang kurang optimal pemanfaatannya, yaitu penyertaan modal masyarakat. Penyertaan modal dari masyarakat akan makin meningkatkan transparansi dan kontrol terhadap BUMDes,” ujar Rudy.
Rudy menggarisbawahi bahwa upaya pemerintah memberikan nomor registrasi pada BUMDes bukan semata-mata urusan akses ke perbankan. Lebih jauh lagi dan yang tak kalah penting adalah bagaimana posisi BUMDes bisa sejajar dengan koperasi atau usaha kecil dan menengah (UKM) atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selama ini, BUMDes belum mendapat pengakuan yang layak ketika mengajukan kredit ke bank dan tak dilibatkan dalam program pemulihan ekonomi nasional.
”Harapannya adalah ketika BUMDes sudah mengantongi nomor registrasi, artinya ia sudah melewati tahap validasi dan verifikasi. Dengan demikian diharapkan BUMDes bisa lebih bisa diakui saat menggandeng pihak ketiga untuk diajak bekerja sama,” kata Rudy.
Dana desa
Sementara itu, jumlah dana desa yang sudah dicairkan hingga 17 September 2020 mencapai Rp 51,1 triliun. Dari jumlah itu, alokasi untuk program padat karya tunai desa (PKTD) mencapai Rp 5,1 triliun, terdiri dari alokasi upah Rp 1,2 triliun dan belanja non-upah Rp 3,9 triliun. Adapun dana untuk program tanggap Covid-19 terealisasi Rp 3,1 triliun.
”Untuk bantuan langsung tunai dari dana desa sudah terealisasi sekitar Rp 15 triliun untuk 7,9 juta keluarga penerima manfaat (KPM),” ujar Abdul Halim.
Penggunaan dana desa untuk bantuan langsung tunai akibat pandemi Covid-19 diatur dalam Peraturan Menteri Desa PDT Nomor 6 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Dalam peraturan itu, bagi desa dengan pagu dana desa kurang dari Rp 800 juta, alokasi BLT ditetapkan 25 persen dari dana desa. Sementara untuk desa dengan pagu Rp 800 juta hingga Rp 1,2 miliar, alokasi BLT 30 persen. Adapun pagu dana desa di atas Rp 1,2 miliar, alokasi untuk BLT ditetapkan 35 persen.
Pembenahan yang mendesak segera dilakukan adalah pemutakhiran data penerima bantuan perlindungan sosial.
Hasil kajian Smeru Research Institute, lembaga kajian kebijakan publik, menunjukkan bahwa perlu perbaikan program perlindungan sosial yang dilaksanakan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 di sektor ekonomi. Pembenahan yang mendesak segera dilakukan adalah pemutakhiran data penerima bantuan perlindungan sosial agar benar-benar tepat sasaran.
Ada sebagian kecil perluasan KPM tidak tepat sasaran, keluarga miskin dan rentan miskin tidak tercakup dalam program, serta belum semua KPM menerima berbagai bantuan sosial yang diprogramkan pemerintah.
”Di sini ada masalah pemutakhiran data yang belum optimal. Beberapa penyebabnya adalah keterbatasan anggaran daerah untuk pemutakhiran data dan keterbatasan sumber daya manusia di lapangan. Pemerintah daerah perlu memperkuat komitmen pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial secara berkala,” kata peneliti Smeru Hastuti beberapa waktu lalu.