Perburuan pajak tingkat internasional lewat ADB akan memudahkan pelacakan transfer dana global. Ini langkah impresif pada masa krisis.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pajak merupakan salah satu kewajiban warga. Pemerintah menyelenggarakan tugas dengan mengandalkan penerimaan, salah satunya dari pajak.
Pajak melekat dengan nilai. Ilmu ekonomi sejak lama berbicara tentang asas keadilan lewat mekanisme pajak. Salah satu fungsi pajak adalah mewujudkan misi pemerataan. Asas keadilan mendorong kohesi sosial, memunculkan kestabilan. Ini memberikan iklim kondusif untuk berinvestasi.
Di balik itu semua ada asumsi. Pemerintahan mengalokasikannya dengan benar. Ada kasus kerusuhan bersejarah di Boston, Amerika Serikat, pada 5 Maret 1770. Warga Boston menolak pembayaran pajak yang diterapkan penjajah Inggris untuk menutupi utang. Warga Boston menolak dengan alasan, mereka dipajaki, tetapi tidak memiliki hak suara. Kisah soal pajak di Boston ini melahirkan kelompok sempalan bernama ”Tea Party”, salah satu tujuannya menolak pajak.
Sebaliknya, juga banyak kisah tentang warga superkaya yang menggelapkan pajak. Kasus ”Mossack Fonseca” menjadi salah satu contoh mendunia tentang itu.
Saat krisis ekonomi Eropa pada 2008 dan AS tahun 2009, kelompok G-20 dipimpin Presiden Barack Obama, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan para pemimpin G-20 mencanangkan perburuan pajak. Krisis terbesar sejak Malaise 1929 menyemangati niat perburuan itu. Krisis besar membutuhkan pengeluaran ekstra. Defisit yang meningkat tak terhindarkan. Penambahan utang dan perburuan pajak menjadi pilihan.
Perburuan serupa mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam rangka Pertemuan Tahunan Ke-53 ADB, yang turut dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan, ADB sedang mengembangkan sebuah badan regional untuk meningkatkan kerja sama soal peningkatan pemungutan pajak di Asia Pasifik. ”Saya yakin sekali, salah satu kunci sukses meraih Tujuan Pembangunan Berkelanjutan saat dunia diguncang Covid-19 terletak pada mobilisasi sumber daya domestik dan kerja sama perpajakan,” kata Askawa.
Lewat badan itu, ADB bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Bank Dunia, dan pihak lainnya.
Berdasarkan data, sebelum pandemi Covid-19, rasio pemungutan pajak di Asia Pasifik kurang dari 15 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio minimal 15 persen ini dibutuhkan untuk kesinambungan pembangunan.
Indonesia tidak terkecuali, rasio pajaknya 11,6 persen terhadap PDB. Ada pertumbuhan pajak dari 3,6 persen pada 2016 menjadi 8,2 persen pada 2019 di Indonesia. Program amnesti pajak dan upaya lainnya mendorong peningkatan. Perburuan pajak tingkat internasional lewat ADB akan memudahkan pelacakan transfer dana global. Ini langkah impresif pada masa krisis. Tidak mudah memburu pajak, tetapi kerja sama ini akan sangat membantu. Presiden ADB pun sangat yakin dengan niat itu.