Indonesia memang termasuk berani mengambil risiko politik yang berpotensi membahayakan rakyat. Gelaran Pilkada 9 Desember 2020 adalah eksperimen politik paling berisiko. Pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Indonesia memang termasuk berani mengambil risiko politik yang berpotensi membahayakan rakyat. Gelaran Pilkada 9 Desember 2020 adalah eksperimen politik paling berisiko. Pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Sebanyak 270 daerah menggelar pilkada dengan jumlah pemilih sekitar 100 juta jiwa. Meskipun diwanti-wanti tahapan pilkada harus mempertimbangkan protokol kesehatan, UU Pilkada membolehkan konser musik sebagai salah satu metode kampanye pilkada. Peraturan KPU, turunan dari UU itu, tetap memperbolehkan konser.
Menggelar pilkada adalah keputusan politik pemerintah, DPR, dan KPU. Artinya, jika pilkada menjadi episentrum penyebaran Covid-19, ketiga lembaga itulah yang akan dicatat sejarah.
Keputusan menggelar pilkada pada 9 Desember 2020, meski sebelumnya ada opsi Maret 2021 dan September 2021, didasari sejumlah argumen. Pertama, tak ada jaminan kapan pandemi berakhir. Kedua, potensi terjadi kekosongan jabatan di 270 daerah ketika pilkada ditunda dan itu menyulitkan pemerintah.
Awalnya, kecenderungan pilkada mundur ke September 2021—dari jadwal semula 23 September—sempat menguat, termasuk usulan KPU. Namun, tiba-tiba arah angin berubah cepat. Pilkada digelar pada 9 Desember 2020 dan semua parpol kemudian setuju. Kekuatan politik pendukung pemerintah sangat kuat.
Apa pun yang dimaui pasti akan berjalan. Ahli kesehatan berteriak risiko bahaya, lembaga swadaya masyarakat menyerukan penundaan pilkada, Komnas HAM bersurat minta penundaan, pemerintah bergeming!
Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra dalam talkshow menyebut pilkada serentak amat berisiko. Ia memperkirakan melihat tren yang berkembang saat pilkada digelar angka positif Covid-19 akan mencapai 600.000. ”Risikonya terlalu besar,” ujarnya seraya menambahkan, ”Apakah fasilitas kesehatan di daerah akan siap.”
LP3ES dan Komnas HAM juga meminta pilkada ditunda. Namun, semua suara itu tak didengar. Oligarki politik begitu kuat mencengkeram. Anak-anak petinggi negeri memang akan ikut dalam kontestasi politik bernama pilkada di tengah pandemi. Rasanya, memang ada konflik kepentingan di sana. Bagi politisi pemburu kekuasaan, pilkada adalah momen tepat mendapatkan kekuasaan.
Di awal pendaftaran calon peserta pilkada, sudah kelihatan mobilisasi massa terjadi. Mobilisasi massa di luar gedung KPU daerah. Sudah ada 62 calon kepala daerah positif Covid-19. Petugas pengawas pemilu di Boyolali juga banyak yang terkonfirmasi positif.
Jumlah itu berpotensi membesar karena aturan KPU membolehkan adanya konser musik dalam pilkada walau dengan catatan dihadiri tidak lebih dari 100 orang. Aturan itu dibahas bersama KPU dan Komisi II DPR. Aturan itu memang konyol dan tidak sesuai kondisi.
Filsuf Cicero mengatakan, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Kalimat itu seharusnya menjadi panduan.
Anjuran agar pilkada dilaksanakan dengan ketat menggunakan protokol kesehatan, dalam tahap awal, tak sepenuhnya ditaati. Di beberapa wilayah, tergambar bagaimana pendukung calon ikut konvoi mengantarkan sang jagoan. Kementerian Dalam Negeri sudah menegur kepala daerah yang abai dengan protokol kesehatan, termasuk mengancam menunda pelantikan. Teguran tentunya hanya berlaku bagi petahana, tapi bagaimana dengan penantang?
Terasa ada kegamangan sebenarnya dari para pelaksana. Namun, semua rasanya ”tunduk” pada apa yang disebut ”keputusan politik” untuk tetap menggelar pilkada pada 9 Desember 2020. Namun yang jadi masalah, aturan mainnya masih didesain ketika pilkada normal sehingga muncullah konser pun dibolehkan.
Situasi serba dilematis inilah yang kini dihadapi. Staf Khusus Mendagri Kastorius Sinaga menyebut pilkada bisa menjadi golden opportunity untuk menekan penularan Covid-19. Masker dan hand sanitizer memang diizinkan diberikan kepada calon pemilih. Akan tetapi bagaimana dengan kualitas pilkada?
Penundaan serentak atau parsial adalah pilihan paling masuk akal. Harus diakui, aturan yang dibuat KPU dan UU Pilkada dibuat dengan asumsi keadaan normal. Seharusnya aturan itu diluruskan dan disesuaikan dengan kondisi pandemi. Misalkan melarang semua kampanye dengan pengerahan massa.
Kampanye hanya boleh dilakukan secara virtual. Kampanye digelar selama 71 hari sejak 26 September hingga 5 Desember 2010. Calon kepala daerah yang melanggar bisa didiskualifikasi dan diputuskan oleh pengadilan khusus pemilu.
Pemberian suara pada 9 Desember 2020 dibolehkan menggunakan pos atau TPS keliling yang menjemput pemilih atau penjadwalan pemberian suara atau di daerah yang benar-benar sudah siap bisa dilakukan e-voting. Jika e-voting bisa dilaksanakan, itu sebuah kemajuan berarti.
Artinya, harus ada ikhtiar menempatkan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi. Dan, peran itu ada di pundak Presiden Jokowi. Dengan kewenangan konstitusionalnya, Presiden Jokowi bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau RUU untuk mengubah aturan dan tahapan pilkada di era pandemi yang menghilangkan potensi kerumunan orang.
Opsi menunda pilkada secara parsial juga harus dibuka karena kita tidak pernah tahu pergerakan virus korona. Pemerintah bisa saja memberikan tenggat dua minggu penularan virus menurun, tetapi virus akan bergerak dengan logikanya sendiri seiring dengan pergerakan manusia yang abai dengan protokol kesehatan.