Pemutusan hubungan kerja (PHK) seharusnya menjadi opsi paling terakhir. PHK bahkan seharusnya lebih merugikan karena perusahaan membutuhkan biaya yang lebih besar. Ada opsi lain untuk menghemat biaya operasional.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus pemutusan hubungan kerja yang ditengarai melanggar peraturan ketenagakerjaan di tengah pandemi terus bergulir. Namun, PHK bukan solusi yang tepat di tengah pandemi Covid-19. Ada strategi lain yang seharusnya ditempuh untuk bertahan sebelum memecat karyawan.
Anggota Dewan Pengawas BP Jamsostek, Aditya Warman, Jumat (18/9/2020), mengatakan, pemutusan hubungan kerja (PHK) seharusnya menjadi opsi paling terakhir. PHK bahkan seharusnya lebih merugikan perusahaan karena membutuhkan biaya yang lebih besar.
Meski demikian, pada akhirnya, banyak perusahaan yang memilih untuk merumahkan karyawan. Beberapa bahkan menyuruh karyawan untuk cuti tanpa dibayar (unpaid leave). Namun, merumahkan karyawan tanpa gaji juga bukan opsi yang tepat.
Masih ada opsi lain untuk menghemat biaya operasional, seperti meliburkan karyawan secara bergilir atau memotong gaji. Namun, semuanya harus dilakukan dengan dialog dan kesepakatan bersama terlebih dahulu.
”Langkah-langkah itu jauh lebih bermakna karena masih ada engagement antara perusahaan dan pekerjanya. Bekerja itu ada pakem dan desainnya. Mengelola manusia bukan sekadar bicara harga atau nilai orang dalam nominal, melainkan juga hatinya,” kata Aditya dalam diskusi Business Talk ”Rekrut Vs PHK” yang diadakan secara daring di Jakarta.
Mengacu pada data Kementerian Ketenagakerjaan, selama pandemi, jumlah pekerja yang dirumahkan memang lebih banyak dibandingkan dengan yang di-PHK. Data terbaru pada Agustus 2020, sebanyak 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, ada 1,13 juta pekerja yang dirumahkan, sementara pekerja yang dikenai PHK hanya 383.645 orang.
Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 34.559 pelaku usaha dari skala mikro-kecil (UMK) hingga menengah-besar (UMB) di delapan pulau besar di Indonesia. Dari survei yang diadakan pada 10-26 Juli 2020 itu, untuk beradaptasi di tengah pandemi, 30 persen UMK dan 47 persen UMB mengurangi jam kerja.
Survei juga mencatat, keputusan PHK menjadi langkah terakhir yang umumnya diambil pelaku usaha baik skala UMK maupun UMB. Sejalan dengan itu, BPS mencatat, 84 persen pelaku usaha mengalami penurunan pendapatan selama pandemi. Sektor yang paling terdampak adalah akomodasi dan makanan-minuman. Sebanyak 92,47 persen pendapatannya menurun.
Lebih lanjut, Aditya mengatakan, tugas SDM bukan hanya mengurusi administrasi saja, melainkan juga mengembangkan kualitas karyawan. Dalam konteks itu, perusahaan tidak pasif, tetapi aktif meningkatkan kompetensi karyawannya. Pengembangan talenta itu berguna bagi perusahaan selagi karyawan terkait masih bekerja ataupun ketika terpaksa dikenai PHK di kemudian hari.
”Dengan bekal kompetensi yang dipupuk sejak masih bekerja itu, PHK pun bukan akhir dari semuanya. Masalahnya sekarang ini SDM atau HRD itu sebatas administrasi. Kalau SDM tidak dikembangkan, organisasi hanya transaksional,” kata Aditya.
Wakil Direktur Utama PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto mengatakan, pihaknya sejauh ini masih berhasil melewati pandemi tanpa melakukan PHK dan merumahkan karyawan. Satu hal penting yang harus dilakukan perusahaan adalah transparan dengan situasi keuangan dan kondisi permintaan agar pekerja tidak resah.
”Keterbukaan informasi itu perlu untuk mengukur ritme kerja masing-masing. Jangan takut membahas kondisi perusahaan dengan pekerja atau serikat pekerja,” kata Anne.
Senada dengan Aditya, ia juga menggarisbawahi pentingnya pengembangan kompetensi karyawan. Dengan demikian, ketika PHK tidak terhindarkan, pekerja yang dilepas ke masyarakat bisa bertahan dengan kompetensi yang sudah didapat untuk merintis usahanya sendiri.
Sementara itu, kasus pemutusan hubungan kerja terus terjadi. Kasus yang mengemuka, antara lain, PHK yang dilakukan oleh perusahaan garmen di Klaten, Jawa Tengah. Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Buruh Lintas Pabrik Jumisih mengatakan, perusahaan tersebut ditengarai melakukan intimidasi dan PHK kepada serikat pengurus pekerja. Persoalan ini mencuat beberapa bulan belakangan sejak Mei 2020.
Perusahaan melakukan PHK dan menghindari kewajiban membayar tunjangan hari raya (THR) Idul Fitri. Perusahaan dengan serikat pekerja sempat melakukan mediasi untuk membayarkan sebagian THR dan berkomitmen mempekerjakan kembali karyawan secara bertahap selambat-lambatnya pada akhir September 2020.
”Namun, bukannya menepati hasil perjanjian, perusahaan mengintimidasi pengurus dan anggota serikat serta memecat pengurus serikat di tengah masa kontrak. Perusahaan juga merekrut pekerja baru, sementara yang sebelumnya ditawari untuk bekerja kembali belum dipekerjakan,” ujar Jumisih.