”Saya Jakob Oetama”
Jakob Oetama, salah satu pendiri ”Kompas”, baru saja berpulang pekan lalu, Rabu (9/9/2020) lalu. Meski telah tiada, sosok dan sejarah beserta warisan nilai-nilainya akan terus hidup dan menginspirasi banyak orang.
”Saya Jakob Oetama,” katanya sambil balas menjabat tangan yang saya ulurkan. Genggaman tangannya lembut, tatapan matanya menenangkan. Saya memandang sosok itu dengan mata berbinar.
Kaget bercampur senang, demikian reaksi spontan saya saat itu. Kaget, karena sungguh tidak disangka, Pak Jakob Oetama mau balik memperkenalkan diri kepada seorang pemuda yang baru kali pertama dijumpainya. Itu pun berlangsung tanpa sengaja pada suatu siang di lift di kantornya sendiri.
Tentu saja, saya tahu, lelaki berusia 70-an tahun tersebut adalah Jakob Oetama, yang bersama PK Ojong mendirikan Kompas, dan saat itu menjadi pemimpin umum harian tersebut. Wajahnya populer. Beberapa kali saya lihat fotonya di buku atau di internet. Terlebih, hampir setiap pagi saya selalu membaca korannya sejak kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang UIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Kebetulan, bersama teman-teman satu rumah kontrakan, saya langganan Kompas.
Senang, lantaran saya bisa berkenalan langsung dengan salah satu tokoh penting pers di Indonesia. Masih terbayang, saat itu Pak Jakob mengenakan baju putih bergaris, celana gelap. Penampilannya khas: rambut agak sedikit gondrong, sebagian memutih, sebagian kelabu. Berkacamata, wajahnya bersih segar.
Siang itu, tahun 2002, saya masuk lift di lantai 1 kantor redaksi Kompas di Palmerah, Jakarta. Lalu, tiba-tiba Pak Jakob masuk. Saya pun segera menyapanya, ”Selamat siang, Pak.” Dia menjawab ramah sambil sekilas melirik kartu tanda pengenal tamu di baju saya. Saya pun memperkenalkan diri dan mengajak salaman, yang kemudian disambut hangat, bahkan namanya disebutkan. Keramahan yang sulit dilupakan.
Di dalam lift, Pak Jakob menanyakan maksud kedatangan saya di Palmerah. Saya cerita bahwa saya sedang melakukan penelitian untuk tesis di Program Magister Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB). Topiknya tentang wacana seni rupa Islam di Indonesia yang terekam di beberapa media massa, salah satunya di Kompas. Saya ingin mengakses dokumentasi artikel-artikel di koran itu terkait pameran seni rupa bernapaskan Islam.
Pak Jakob menyimak penjelasan singkat itu. Dia lantas menanyakan kabar pelukis senior ITB, Srihadi Soedarsono. ”Bagaimana kabar Pak Srihadi? Wah, lukisannya semakin mahal, ya, sekarang,” katanya serius.
Saya bilang, ya, Srihadi termasuk salah satu pelukis yang karyanya berharga tinggi. Banyak kolektor menyukai lukisannya, terutama lukisan penari dan Candi Borobudur. Sabetan garis dan warnanya ekspresif. Pak Jakob mengangguk pelan. (Belakangan, saya baru ngeh, ternyata dia berasal dari Borobudur, Magelang, Jawa Tengah).
Tiba di lantai 4, pintu lift terbuka, saya pamitan untuk menuju Pusat Informasi Kompas (PIK). Pak Jakob tersenyum. Saya keluar lift sambil bergumam dalam hati: betapa rendah hati pemimpin ini.
Baca juga : Jakob Oetama dalam Kenangan Wartawan ”Kompas”
Menjadi pemimpin koran terbesar di Indonesia, sekaligus pengusaha sukses dengan sejumlah perusahaan di bawah bendera grup Kompas Gramedia yang mempekerjakan ribuan karyawan, nyatanya tak membuat Jakob Oetama tinggi hati. Sebaliknya, hatinya lapang. Buktinya, santai saja dia meladeni tamu yang baru saja dijumpainya—seorang mahasiswa berpenampilan kucel, rambut tidak tersisir, nenteng tas rangsel besar (biar muat menampung fotokopi dokumen penelitian), dan badan berkeringat (maklum, baru turun dari bus Kopaja 86 jurusan Lebak Bulus-Kota dengan rute melewati Palmerah).
Perjumpaan itu menumbuhkan kesan kuat: Pak Jakob adalah sosok yang nguwongke liyan, memanusiakan orang lain. Dia menghargai sesama manusia, bahkan termasuk orang yang belum dikenalnya. Saya penasaran, apakah sikap manusiawi itu juga meresap dalam kerja jurnalistik Kompas sehingga media ini bisa bertahan mengarungi perubahan zaman? Kala itu, belum terpikir sama sekali bahwa di kemudian hari saya juga akan bergabung dengan Kompas dan menjadi karyawan dari tokoh ini.
Belajar di Kompas
Nasib punya jalannya sendiri. Setahun kemudian, tahun 2003, saya membaca lowongan kerja sebagai wartawan budaya di Kompas. Kebetulan, kuliah S-2 saya sudah kelar. Saya pun mengirimkan berkas lamaran. Melalui proses tes ini-itu yang cukup panjang, alhamdulillah, saya diterima. Saya kemudian mengikuti pendidikan teori jurnalistik di kelas dan praktik magang liputan di lapangan selama beberapa bulan di Jakarta dan Yogyakarta.
Selama menjalani proses belajar sekitar satu tahun itu, memang sikap nguwongke liyan diajarkan di kelas, juga dipraktikkan di ruang redaksi. Sebagai contoh kecil, sesenior apa pun seorang wartawan, dia tetap akan dipanggil ”mas” atau ”mbak”. Sapaan ”pak” hanya disematkan untuk Pak Jakob. Kehidupan di redaksi terbuka. Para wartawan duduk dalam deretan meja kursi tanpa sekat.
Kemanusiaan memang menjadi elan vital yang menghidupi jurnalistik Kompas. Tak hanya dalam menyajikan berita, tetapi juga proses kerja di ruang redaksi. Semua bekerja sama sebagai tim yang saling menghargai. Dalam banyak kesempatan, kami—para calon wartawan alias cawar—diperkenalkan pada prinsip humanisme transendental atau kemanusiaan yang beriman.
Banyak juga prinsip lain yang disampaikan kepada kami. Media tak hanya melaporkan peristiwa, tetapi juga terutama memberi makna. Kerja jurnalistik idealnya berangkat dari panggilan jiwa. Berita harus mengutamakan akurasi, jurnalisme presisi. Tugas wartawan bukan menyalahkan atau membenturkan pro versus kontra, melainkan mendudukkan persoalan, menawarkan solusi. Untuk itu, diperlukan keberimbangan, cover all sides. Suarakan juga aspirasi kelompok terpinggirkan yang tak bisa bersuara, voice of the voiceless.
Kutipan dari Pak Jakob yang sering dipendarkan, kita keras dalam prinsip, tetapi lembut dalam cara. Bahasa Latin-nya, fortiter in re, suaviter in modo.
Kami diajak membaca banyak buku referensi tentang jurnalistik atau menonton film. Menyimak buku-buku tentang sejarah jatuh bangun Kompas (yang pernah dibredel tahun 1978), buku tentang Pak Jakob dan Pak PK Ojong (almarhum)—duo pendiri Kompas tahun 1965. Bahwa nama Kompas diberikan Presiden Soekarno dengan harapan menjadi kompas alias penunjuk arah bangsa.
Baca juga : Jakob Oetama yang Peduli Isu Perekonomian
Di kelas, kami juga berdiskusi tentang dilema kerja jurnalistik. Salah satu topiknya soal ”jurnalisme kepiting”—julukan yang disematkan wartawan senior Rosihan Anwar kepada Kompas karena dianggap hanya mau mengkritik pemerintah kala keadaan aman. Dalam hal ini, kami diingatkan bahwa media punya tugas mengkritik (seperti mengkritik pemerintah), watchdog, tetapi dijalani dengan pemahaman, critics with understanding, no angel in the world.
Kutipan dari Pak Jakob yang sering dipendarkan, kita keras dalam prinsip, tetapi lembut dalam cara. Bahasa Latin-nya, fortiter in re, suaviter in modo. Bagaimanapun, menjaga kehidupan media penting agar bisa terus menghidupi para karyawan beserta keluarganya sekaligus terus menyuarakan aspirasi untuk kebaikan bangsa.
Memelihara bahasa
Dalam proses magang di Jakarta, saya bersama teman-teman satu angkatan—totalnya ada 12 orang—diajak menemui Pak Jakob di ruang kerjanya yang bersih di lantai 6. Ada beberapa lukisan karya seniman old masters Indonesia tergantung di dinding. Saya bergembira akhirnya bisa bertemu kembali dengan sosok yang tanpa sengaja berjumpa di lift setahun sebelumnya. Kali ini, saya sowan sebagai calon karyawannya. Penampilan Bapak ternyata tak banyak berubah. Baju warna cerah bergaris dengan celana gelap.
Manajer Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kompas saat itu, H Witdarmono, memperkenalkan satu per satu calon wartawan bimbingannya. Pak Jakob menyimak, sesekali memberikan komentar atau pertanyaan. Terus terang, rasanya agak deg-degan juga. Tiba giliran Mas Wid menyebut saya lulusan S-2 Seni Rupa ITB, sebelumnya ambil S-1 IAIN Ciputat dan bisa berbahasa Arab.
Dengan wajah semringah, Pak Jakob menatap saya dan memberikan semangat, ”Oh, you mesti maintain itu bahasa, akan berguna nantinya.” Lantas dia bercerita, Kompas perhatian pada dinamika di Timur Tengah, seperti Perang Teluk I tahun 1991. Berita-berita di kawasan itu tak kalah penting dengan Eropa atau Amerika.
Pesan Pak Jakob mengena. Ketika pada tahun 2004 diangkat menjadi karyawan tetap Kompas, terbukti bahasa Arab membantu saya dalam berbagai liputan. Terlebih, lewat beberapa program, Diklat Kompas juga memfasilitasi wartawan untuk ”memelihara” kemampuan berbahasa asing. Saya dan Mas Samsul Hadi (kini editor Desk Internasional) berkesempatan mendapat bimbingan dari guru bahasa Arab lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) dan dilanjutkan dengan seorang native speaker asal Yaman.
Berkat bimbingan itu, sambil terus merasa ketinggalan dengan istilah-istilah baru, saya terbantu untuk berkomunikasi dengan narasumber asal Timur Tengah, baik ketika liputan di negara-negara tersebut atau saat kunjungan mereka ke Indonesia. Beberapa kali saya—kadang sendiri, kadang barengan dengan Mas Sam atau Mas Mohammad Bakir (kini wakil pemimpin redaksi)—wawancara dalam bahasa Arab. Hanya saja, saat diterjemahkan untuk dituliskan di koran, perlu dipastikan akurasi artinya dengan mendengarkan rekaman berulang-ulang atau membuka kamus untuk kosakata yang aneh-aneh. Umumnya semua berjalan lancar.
Pada tahun 2019, misalnya, bersama Mas Bakir, saya mewawancarai secara khusus Ketua Umum Persatuan Ulama Bilad Syam (Suriah) Tawfiq Ramadan al-Bouti di Jakarta. Hasilnya terbit pada edisi akhir pekan, Sabtu (9/3/2019), ”Jangan Biarkan Ekstremisme Membesar”. Sebelumnya, tahun 2018, hasil liputan ceramah Imam Besar Al-Azhar Mesir Syeikh Ahmad Muhammad Ahmad ath-Thayyeb di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta terbit sebagai berita utama (headline) halaman 1, ”Islam Moderat Mencegah Terjadinya Konflik”.
Sejumlah nama lain asal Timur Tengah juga tak kalah menarik. Sebut saja, antara lain, ulama asal Jordania, Syeikh Ali al-Halabi, dan mantan unsur pimpinan Jamaah Islamiyah Mesir, Syeikh Nageh Ebrahim (2013); mantan Menteri Wakaf dan Urusan Keislaman Kerajaan Jordania Abdul Salam al-Abbadi (2013); pemimpin Tariqat Naqsyabandiy internasional asal Lebanon, Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani (2011); dan mantan Presiden Afghanistan Burhanuddin Rabbani (2011). Meski hanya bertemu sebentar, nama terakhir ini menggoreskan keharuan. Tak lama seusai pertemuan membahas perdamaian di Jakarta itu, Rabbani—seorang lelaki lembut dengan tatapan mata yang teduh—terbunuh dalam serangan bom bunuh diri yang brutal di rumahnya di Kabul.
Selama bekerja di Kompas, saya beberapa kali bertemu dengan Pak Jakob. Entah bagaimana, sebagian perjumpaan itu juga berlangsung di lift, terutama ketika beliau menuju lantai 6 pada pagi-pagi atau pulang pada siang hari. Sikap nguwongke liyan tetap kental terasa dalam sosok ini. Juga prinsip-prinsip lain yang diajarkannya. Tak sebatas sebagai omongan, semua prinsip itu menjadi kuat karena diusahakan mewujud nyata dalam kehidupan perusahaan.
Sebelum kesehatannya kian menurun, Pak Jakob masih kerap menyempatkan diri bergabung dalam rapat editor pagi. Bapak biasanya duduk di kursi warna merah marun yang selalu ditempatkan di bagian depan, dekat papan rapat. Setelah mendengarkan penjelasan rencana liputan hari itu dari redaktur yang bertugas, beliau kerap mengulang pesannya agar Kompas terus mengawal Indonesia, menggali kekayaan Tanah Air, dan mendorong bangsa ini menemukan pemimpin yang mampu membawa pada cita-cita kemajuan. Diingatkan juga agar semua selalu bersyukur dan menjaga kehidupan Kompas di tengah perubahan zaman yang kian menantang.
Setiap perjumpaan dengan Pak Jakob, meski kadang hanya sekilas sambil menyapa ”Selamat pagi, Pak”, bagi saya itu sudah cukup menggembirakan dan meresapkan ketenangan. Seperti menyadari bahwa seorang ayah masih ada dan akan senantiasa mengayomi anak-anaknya. Kini, sosok itu telah berpulang; menemui sahabat lamanya, Pak PK Ojong. Kedua sosok itu beserta seluruh sejarah, keteladanan, dan nilai-nilai warisannya akan terus menjadi inspirasi yang hidup dan menghidupi Kompas.
Sugeng tindak, Bapak. Matur nuwun.