Pendapatan yang tak setara dengan perolehan sebelumnya tak mematahkan semangat mereka. Para koki berpengalaman ini menunjukkan semangat hidup di tengah pandemi.
Oleh
Dwi Bayu Radius & Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Pandemi mengimbas dunia kuliner, tak terkecuali koki-koki berpengalaman. Mereka tak bertopang dagu lantaran restoran terpaksa tutup. Berjualan nasi dan lauk-pauk di lapak mungil sekalipun tak membuat jengah. Pendapatan yang tak setara dengan perolehan sebelumnya tak mematahkan semangat.
Maxie Millian (39) menyiapkan nasi gurih ayam rica-rica di rumahnya, Nusa Dua, Bali, Jumat (11/9/2020). Sejak pukul 05.00, ia bangun lalu memasak pesanan tersebut. Malam sebelumnya, koki kawakan itu sudah mencatat jumlah order, lantas menakar dan berbelanja bahan.
Sekitar pukul 08.00, Maxie sudah selesai memasak. Hidangan lezat itu sudah ditempatkan di dalam kotak-kotak hitam dengan rapi, siap diantar pukul 10.00. Ia kerap mengantar sendiri makanan itu, selain mengandalkan ojek daring.
Maxie menjual hidangan itu secara daring lewat akun Instagram. Jumlah porsi yang terjual bervariasi. Jika sedang ramai, bisa mencapai 30 boks per hari. ”Kalau sepi, diakali dengan variasi brownies, bolu, dan nastar,” ucap Maxie.
Setiap pekan, menu berganti. Hingga saat ini, hampir 150 hidangan sudah ia tawarkan. Setiap menu dicantumkan di media sosial pada akhir pekan sebelumnya. ”Misalnya, menu hari Senin mendatang nasi kuning ayam suwir kemangi. Selasa, nasi opor tahu telur,” katanya.
Konsumen bisa memesan makanan paling lambat pukul 19.00 untuk diantar keesokan harinya. Harga masakan itu hanya Rp 25.000 hingga Rp 30.000 per porsi. ”Saya enggak mau harganya tinggi. Dalam situasi ini, margin tipis pun enggak apa-apa,” ujarnya.
Imbas pandemi
Kepiawaian Maxie ditempa dengan menimba pengalaman bersama praktisi-praktisi kuliner berbagai bangsa di Dubai selama delapan tahun hingga 2012. Usai memuaskan hasrat, menggeluti masakan Barat, ia pindah ke Bali dan beralih mendalami hidangan Nusantara.
Ia telah mengasah keterampilannya di enam hotel dan tiga restoran. Sejak tiga tahun lalu, penghasilannya sebagai Head Chef di Sangsaka dan Merah Putih membuat Maxie tenang. Tak dinyana, pandemi memorakporandakan pariwisata Bali.
Maxie tak pelak terkena imbas merebaknya Covid-19. Pada akhir Maret lalu, semua pegawai di kedua restoran itu dirumahkan. ”Kebetulan, istri saya jual makanan online. Produk itu seperti keik, kukis, hingga jamu,” katanya.
Maxie pun terpikir ikut berjualan untuk menyintasi pandemi. Ia mengakui, pendapatannya dari berjualan secara daring belum setara dulu. ”Saya selalu pesan kepada diri sendiri, punya keyakinan dan jangan menyerah,” ucapnya sambil tersenyum.
Ia juga berencana membuka Riung Rasa, warung kecil-kecilan yang menjual nasi dan lauk-pauk, di Jimbaran, Bali, pekan depan.
Mandif Warokka (41) juga terpaksa menutup dulu dua restorannya di Bali, Teatro Gastroteque dan Blanco par Mandif, sejak akhir Maret 2020. Di kedua restoran itu, ia menjadi pemilik sekaligus chef patron. Teatro Gastroteque di Seminyak dibuka sejak tahun 2012 dan Blanco par Mandif di Gianyar sejak 2015.
”Blanco par Mandif bisa dibuka, tapi kalau ada reservasi saja. Masalahnya, tamu hampir enggak ada. Kita enggak pernah mengalami musibah ekonomi sesulit ini,” ujarnya.
Bagi penggemar gastronomi, Mandif bukan sosok asing dengan pengalaman terentang mulai Malaysia, Abu Dhabi, hingga Belanda selama sekitar 20 tahun. Ia juga muncul sebagai koki tamu di Master Chef Indonesia, Hell’s Kitchen Indonesia, dan Top Chef Indonesia.
”Ini saat terbaik untuk sharing knowledge (berbagi pengetahuan). Saya bikin short class (kelas singkat),” ujarnya. Ia, misalnya, mengisi kelas 3 Course Fine Dining Master Class bersama Pendiri Aku Cinta Makanan Indonesia Santhi Serad di studio memasak Ramurasa di Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
Beralih lapak
Kaya pengalaman dengan pendidikan tinggi bukan jaminan pula untuk mengelak terhindar dari cengkeraman pandemi. Gandha Pratikanantyo (34) terpaksa angkat kaki dari hotel bintang empat di Solo, Jawa Tengah, yang telah mempekerjakannya sebagai juru masak selama 10 tahun.
Lulusan S-1 ekonomi dan D-3 perhotelan tersebut mengakhiri kontrak tahunannya pada Juli 2020. Hotel itu belum berani memperpanjang kontrak Gandha karena dampak Covid-19. ”Untung, teman saya memberi tahu ada satu lapak resmi yang kosong untuk usaha kuliner,” ucapnya.
Lokasi seluas 16 meter persegi dengan etalase dan 12 kursi itu berada di Jalan Menteri Supeno, Solo. Gandha mengandalkan asam garam berkecimpung dalam dunia kuliner selama 12 tahun di dua hotel dan satu restoran untuk menyambung nafkah.
Warga Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jateng, itu menimbang-nimbang makanan yang akan dijualnya. Ia memilih soto. ”Modalnya enggak terlalu besar, cukup mudah dibuat, dan disukai banyak orang. Nama sotonya Mbah Nuk dari nama ibu saya,” kata Gandha seraya tertawa.
Ia berdagang soto ayam dengan harga mulai Rp 8.000 per porsi, soto daging sapi mulai Rp 6.000 per porsi, dan soto jeroan sapi Rp 4.000 per porsi. Soto itu dijual pada pukul 16.00-24.00. Penghasilan Gandha saat ini sekitar Rp 400.000 per minggu.
Jumlah itu masih lebih kecil dibandingkan bekerja di hotel, sekitar Rp 4,5 juta per bulan. Namun, Gandha tetap optimistis menjalankan usaha dengan kelezatan sotonya. ”Kalau pelanggan semakin banyak, saya mungkin tambah menu ayam goreng. Sekarang, cari penggemar dulu,” katanya sembari tergelak.
Pandemi yang membuat orang membatasi perjalanan membuat pilot lebih sering berada di rumah, demikian pula dengan Megah Putra Perkasa (45). Mi ayam dan yamin yang ia kreasikan sejak April 2020 lantas menjadi penyelamat.
Megah bekerja dengan cekatan, Rabu (16/9/2020). Kali ini bukan menerbangkan pesawat, tetapi memasak mi di Kepten Kitchen, Tangerang Selatan, Banten. Mi yang kecil dan agak pipih terasa gurih dengan tekstur tak terlalu kenyal atau lembek. Pada yamin, gurih manis pas mendominasi. Sementara pada mi ayam, rasa gurih yang lembut lebih menguasai. Mi tanpa pengawet dan penyedap itu dibuat sendiri.
Saat ini, jam terbang Megah dari rata-rata 100-105 jam per bulan menyusut hingga hanya 35 jam per bulan. Gaji yang ia terima pun sudah sangat berkurang. Ia tak malu saat harus melepas seragam pilot lantas menggantinya dengan kaus, celana panjang gombrong, sandal, dan masker.
”Paling penting, saya kerja dan istri tenang. Ini sudah paling bahagia,” kata bapak empat anak itu.