Perjuangan Keluarga Korban Menuntut Penebusan "Dosa" Westerling
Tak mudah memperjuangkan kasus yang sudah berusia lebih dari 70 tahun. Namun, sejumlah keluarga korban kekejaman Westerling, dibantu KUKB, berusaha menuntut penebusan ”dosa” ke Pemerintah Belanda lewat jalur pengadilan
Sesekali La Muha (81) tampak mengerutkan keningnya. Ia fokus mendengarkan perkataan penerjemah yang sedang mengulang pertanyaan hakim dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Pada Selasa (15/9/2020), La Muha menjadi saksi dalam persidangan virtual Santa melawan Pemerintah Belanda di Pengadilan Distrik Den Haag.
La Muha harus menjawab deretan pertanyaan berulang dari hakim. Yang paling utama adalah dia harus mengonfirmasi bahwa benar Santa adalah putra dari Iabu. Iabu adalah korban penembakan tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Raymond Pierre Paul Westerling di Lisu, Barru, Sulawesi Selatan, pada tahun 1947.
“Perkelahian yang melibatkan Iabu itu? Awalnya ditunjuk, selain yang ditunjuk itu dipisahkan dari yang menunjuk. Kemudian yang ditunjuk berkelahi dengan yang menunjuk. Iabu berkelahi dengan Beddu Tjolle,” kata La Muha yang sedang menceritakan kronologi kematian Iabu.
La Muha beberapa kali terlihat kesulitan untuk menjawab pertanyaan. Hakim kerap mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali sehingga membingungkannya. Ditambah lagi, terjemahan pertanyaan yang begitu baku terusik masalah koneksi yang tidak lancar.
Dalam kasus itu, Iabu adalah satu dari ribuan korban pembantaian tentara Westerling di Sulawesi Selatan. Ia dieksekusi setelah kalah berkelahi dengan warga lainnya, Beddu Tjolle atas perintah tentara Belanda.
Berdasarkan catatan sejarah, Belanda kembali ke Indonesia setelah sebelumnya kalah dari Jepang. Di bawah pimpinan sejumlah perwira, salah satunya Westerling, tentara Belanda berusaha kembali menduduki Indonesia meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Westerling alias de Turk tidak tanggung-tanggung memerintahkan pembantaian massal kepada orang-orang yang dituduh pemberontak selama 1945-1949 di berbagai wilayah Indonesia. Di Sulawesi Selatan, Westerling dan tentaranya diduga telah membantai lebih kurang 40.000 orang selama tahun 1946-1947.
Dikutip dari historibersama.com, Westerling memiliki gaya khusus yang dikenal sebagai metode Westerling. Westerling akan menggiring warga lokal ke sebuah titik terbuka, mencari senjata, dan menginterogasi warga.
Baca juga: Raja Belanda Meminta Maaf atas Kekerasan Setelah Proklamasi Indonesia
Pada fase pertama, tentara Belanda akan mencari pemberontak berdasarkan daftar nama yang telah disusun. Namun, tentara Belanda kemudian memulai menahan orang berdasarkan keterangan dari warga lokal.
Pada fase kedua, proses interogasi tentara Belanda semakin menjadi-jadi. Warga lokal harus saling menunjuk orang yang kemungkinan adalah pemberontak. Selanjutnya, warga yang menunjuk dan ditunjuk harus berkelahi. Orang yang menang akan selamat, sedangkan yang kalah akan dieksekusi di tempat. Iabu tewas akibat metode ini.
Kini, Sulawesi Selatan merayakan tanggal 11 Desember sebagai Hari Korban 40.000 Jiwa. Namun, Westerling tidak pernah diadili.
Korban menuntut
Selama puluhan tahun, warga Indonesia yang menjadi korban kekejaman pasukan Westerling berusaha menuntut dua hal dari Pemerintah Belanda, yaitu pengakuan bersalah dan ganti rugi.
Pada tahun 2013, Pemerintah Belanda secara resmi telah meminta maaf dan membayar ganti rugi kepada keluarga korban pembunuhan massal yang dilakukan Westerling selama 1945-1949, termasuk keluarga korban pembantaian di Rawagede, Jawa Barat. Permintaan maaf itu disampaikan Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan (Kompas, 13/9/2013).
Baca juga: Sejarawan Tanggapi Permintaan Maaf Raja Belanda kepada Indonesia
Pemerintah Belanda juga memberikan ganti rugi kepada sejumlah keluarga korban pada tahun yang sama. Belanda setuju memberi 10 janda korban Westerling uang sebesar 20.000 euro atau Rp 296,7 juta.
Salah satu pihak ketiga yang terlibat dalam penuntutan hak para korban kejahatan Belanda di masa lalu, termasuk pembantaian Westerling, adalah Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). KUKB, bersama pengacara Liesbeth Zegveld, berusaha memperjuangkan ganti rugi bagi para korban yang mulai terlupakan selama beberapa tahun terakhir.
Yang terbaru, pada Maret 2020, pengadilan di Belanda akhirnya memberikan ganti rugi kepada Andi Monji (83), yang ayahnya dieksekusi tentara Belanda di Desa Suppa, Sulawesi Selatan. Andi mendapatkan ganti rugi sekitar Rp 175 juta.
Selain Andi, ada delapan janda dan tiga anak yatim lainnya diberi kompensasi pada kisaran Rp 2,2 juta hingga Rp 63,8 juta. Putusan ini baru keluar setelah proses pengadilan berlangsung selama delapan tahun.
“Saya berterima kasih atas keputusan pengadilan. Saya masih berusia 10 tahun ketika saya dipaksa untuk menyaksikan ayah saya dieksekusi oleh militer Belanda setelah terlebih dahulu dipukuli. Saya menangis,” kata Monji, dikutip dari The Guardian (27/3/2020).
Menurut catatan, KUKB selama 2012-2020 telah memfasilitasi 31 kasus yang menang tanpa melalui jalur pengadilan. Sementara itu, sekitar 15 kasus telah menang lewat jalur pengadilan. Saat ini, ada dua kasus di Sulawesi Selatan yang sedang berjalan, yakni kasus di Lisu, yang melibatkan Iabu, dan satu kasus di Amparita.
Peneliti KUKB Yvonne Rieger-Rompas mengakui, tidak mudah memperjuangkan kasus yang sudah berusia lebih dari 70 tahun itu. Banyak saksi yang telah meninggal dunia atau tinggal terpencar di tempat lain. “Mencari saksi tidak mudah karena selain jarak, kondisi jalan juga tidak baik,” tuturnya.
Belum lagi, banyak warga di pedalaman yang tidak memiliki data kependudukan yang tepat. Pernah ada seorang warga yang di KTP-nya tertulis kelahiran tahun 1979, tetapi saat ditemui sudah terlihat jelas warga itu berusia lebih dari 70 tahun. Kendala-kendala seperti ini mengganggu jalannya verifikasi identitas keluarga korban kepada Pemerintah Belanda.
Namun, hal yang patut dikagumi adalah ingatan warga setempat yang belum memudar mengenai peristiwa itu. Untuk itu, salah satu cara untuk membuktikan kebenaran cerita korban adalah dengan mendatangkan saksi.
“Misalnya, untuk membuktikan penuntut adalah janda dari korban, kami harus mencari orang-orang yang bisa memverifikasi itu, begitu juga dengan anak korban. Tetapi tidak hanya dari cerita satu atau dua orang, kami harus mencari beberapa orang dan itu memakan waktu lama,” kata Yvonne.
Dalam kasus Santa melawan Pemerintah Belanda, misalnya, La Muha adalah saksi pengganti. KUKB telah menyediakan saksi lain yang bisa mengonfirmasi Santa adalah putra Iabu, tetapi saksi itu tiba-tiba sakit keras karena usia yang sudah uzur.
Sangat berat
Penulis buku Andi Makmur Makka (75) adalah putra dari salah satu tokoh Sulawesi Selatan, Makkarumpa Daeng Parani. Pada 1947, Makkarumpa Daeng Parani meninggal dunia akibat ditembak tentara Belanda pimpinan Westerling, di Parepare. Andi waktu itu baru berusia dua tahun.
“Dampak peristiwa itu kepada keluarga saya sangat berat karena jadi terpencar-pencar. Semua saudara saya pergi, ada yang ke Jawa dan dua orang lainnya menghilang karena dicari-cari,” tutur Andi.
Andi melanjutkan, sebenarnya para keluarga korban Westerling terpecah menjadi dua kubu dalam menyikapi insiden di masa lalu itu. Kubu pertama bersedia menuntut ganti rugi materi dari Pemerintah Belanda. Sementara itu, kubu kedua lebih mengejar pengakuan bersalah Pemerintah Belanda karena melihat ganti rugi tidak setimpal dengan nyawa orangtua mereka.
“Kami sekarang ikut kubu yang kedua, tetapi kami juga tidak keberatan dengan kelompok yang pertama. Ini karena keluarga saya sudah menikmati buah kemerdekaan, ada yang menjadi gubernur dan pejabat daerah dan saya sendiri jadi pegawai negeri sipil. Jadi kami ingin memberi kesempatan untuk keluarga korban lainnya,” ujarnya.
Namun, Andi menegaskan, Westerling merupakan “personifikasi” kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Sulawesi Selatan. Masih ada beberapa perwira lainnya yang ikut bertanggung jawab.
Ketua KUKB Jeffry Pondaag menjelaskan, pada dasarnya, keberadaan Belanda di Sulawesi Selatan pada masa itu merupakan pelanggaran besar. Apalagi, Indonesia telah menyatakan kemerdekaan pada 1945.
“Kita sudah dijajah selama 350 tahun, bukan tiga setengah tahun saja. Mereka harus kembalikan apa yang sudah diambil,” kata Jeffry.
Sayangnya, lanjut Jeffry, upaya penuntutan ganti rugi kepada Pemerintah Belanda berlangsung tanpa bantuan dari Pemerintah Indonesia. Selain itu, isu ini kurang mendapat perhatian dari publik karena kurangnya pemahaman mengenai Bahasa Belanda.
Kembali ke persidangan Santa melawan Pemerintah Belanda, ada satu kejadian penting yang terjadi. La Muha sebagai saksi tiba-tiba melontarkan pertanyaan kepada hakim setelah sidang selesai. Ia mempertanyakan nasib keluarga korban-korban kekejaman Westerling yang lain.
Kembali ke persidangan Santa melawan Pemerintah Belanda, ada satu kejadian menarik terjadi. La Muha sebagai saksi tiba-tiba melontarkan pertanyaan.
”Apakah ini hanya keluarga Iabu yang diperlakukan begini? Bagaimana dengan yang lain yang menjadi korban?” kata La Muha.
Hakim lalu menjawab dalam bahasa Belanda, setuju dan sadar ada banyak kejadian lainnya. Jawaban itu kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia.