Pada masa silam, hubungan antara Kepulauan Nusantara dan negeri jiran sangatlah dekat, termasuk dengan Kesultanan Johor, Malaya. Bahkan, permasuri dari dinasti yang kini berkuasa pun berasal dari Pantai Kuta, Bali.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, Indonesia berusaha membuka koridor perjalanan atau travel corridor dengan berbagai negara, termasuk dengan negara-negara ASEAN. Pada masa silam, hubungan antara Kepulauan Nusantara dan negeri jiran sangatlah dekat, termasuk dengan Kesultanan Johor, Malaya. Bahkan, permasuri dari dinasti yang kini berkuasa pun berasal dari Pantai Kuta, Bali.
Kesultanan Johor yang menjadi bagian dari Proklamasi Malaysia tanggal 16 September 1963 dipimpin oleh sultan yang merupakan temenggong asal Bugis yang mulai berkuasa pada 1800-an. Sejarawan Carl A Trocki dalam buku Prince of Pirates The Temenggongs and the Development of Johor and Singapore 1784-1885 menceritakan tentang Temenggong Daing Ibrahim (1825-1862), seorang keturunan Bugis sebagai penguasa Johor-Singapura modern era kolonial British. Kata Daing diambil dari Daeng, sebutan dalam adat Bugis.
Temenggong Daing Ibrahim digantikan putranya, Temenggong Abu Bakar, yang juga bergelar Maharaja dan juga Sultan Johor (1862-1895). Sultan Abu Bakar adalah motor modernisasi dan bersahabat dengan Maharani Ratu Victoria dari Kerajaan Inggris.
Pada 1866, Sultan Abubakar melawat ke Inggris dan diterima Ratu Victoria. Sultan Abubakar juga bersahabat dengan Prince of Wales, yang kelak menjadi Raja Edward VII di Kerajaan Inggris.
Sultan Abu Bakar kemudian menikah dengan permaisuri kelahiran pantai Kuta Bali, Cecilia Catharina Lange. Sejarawan Willard A Hanna dalam Bali Chronicles menceritakan asal-usul Cecilia Catherine Lange. Perempuan kelahiran tahun 1848 ini berayahkan seorang pria Denmark, Mads Johansen Lange, dan beribukan seorang peranakan Tionghoa-Bali bernama The Sang Nio.
Sultan Abu Bakar dan Cecilia Lange bertemu di Singapura, tempat Cecilia bersekolah setelah ayahnya meninggal. Ketika itu, Cecilia Lange tinggal di sebuah biara Katolik. Sebuah keluarga Inggris membawanya keluar dari Bali untuk tinggal di India, Inggris, Perancis, dan akhirnya kembali ke Singapura.
Cecilia Lange yang digelari Inche Besar Zainab menjadi sultana di Johor hingga akhir hayatnya pada 1930. Cecilia Lange memiliki dua saudara lelaki beda ibu, yakni William Peter dan Andreas Emil. William Peter meninggal di Singapura saat kanak-kanak. Andreas Emil alias Henrik menjadi orang kepercayaan Rajah Brooke, yakni satu-satunya kerajaan orang Eropa di Asia, tepatnya di Sarawak, Kalimantan.
Cecilia Lange melahirkan seorang putra yang kelak menjadi Sultan Ibrahim di Johor dan putri yang menjadi permaisuri Sultan Pahang, negeri jiran Kesultanan Johor.
Putra dari Cecilia Lange, Sultan Ibrahim memiliki beberapa istri dengan permaisuri seorang perempuan dari Hongaria. Gedung bernama Bangunan Sultan Ibrahim kini menjadi salah satu landmark di Johor, tidak jauh dari tempat penyeberangan dari Singapura ke Johor Bahru.
Nielson, seorang pembuat biografi asal Denmark, mencatat kenangannya terhadap Sultana Cecilia Lange yang disebutnya perempuan bertubuh mungil, cantik, bermata biru, dengan rambut putih dan berpenampilan aristokrat. Cecilia Lange masih mengingat masa kecilnya di Kuta, Bali, dan kebahagiaannya bersama ayah ibunya di Bali.
Sayang, monumen dan makam ayah Sultana Cecilia Catharina Lange, Mads Johansen Lange, yang berada di salah satu sudut di Kuta, Bali, kini terlupakan. Monumen dan makam tersebut terletak di kompleks pemakaman Tionghoa milik keluarga Marga Ong yang menurut Willard Hanna adalah teman bisnis Lange.
Di sebelah makam dan monumen Mads Lange, orang Eropa pertama yang membuka Bali ke dunia Barat, terdapat pangkalan truk sampah Pemerintah Kabupaten Badung, Bali.
Berbeda sekali dengan kondisi Kesultanan Johor yang hingga kini berkembang dan berjiran dengan Singapura. Istana Sultan Johor yang dibangun tahun 1866 dengan memadukan arsitektur Eropa dan Melayu itu berada di sebelah kiri penyeberangan Woodlands, Singapura.
Masjid Sultan Abubakar yang dibangun dengan gaya Victoria, Kebun binatang Johor, Kebun Raya Zaharah, Bangunan Sultan Ibrahi—kantor parlemen Johor, pusat perniagaan Johor Sentral berada di satu kawasan, tak jauh dari penyeberangan utama Singapura-Malaysia tersebut.
Di sepanjang pesisir Johor, selain bangsa Melayu, juga terdapat warga Tionghoa, India, dan pemukim dari Kepulauan Nusantara, antara lain dari Pulau Jawa, yang turut beranak cucu di sana dan memajukan Kesultanan Johor dari berbagai segi kehidupan.
Pada masa awal, Temenggong Daing Ibrahim dan Sultan Abubakar banyak memberi kesempatan pada pemukim Tionghoa membuka kebun dan berniaga dengan menunjuk para kang zhu atau pemimpin pelabuhan di seantero Johor dan Singapura.
Jejak organisasi Tionghoa tersebut dapat dilihat dari nama perkampungan di Singapura, seperti Chua Chu Kang dan Yeo Chu Kang. Sultan Johor pada 2020 juga mengaktifkan kembali lembaga adat, seperti Mayor China, disebut Mejar Cina, untuk memimpin komunitas Tionghoa di Negara Bagian Johor.
Jaran kepang dan gamelan
Wilayah Kesultanan Johor, yang dipimpin sultan dan sultana, dengan akar leluhur Nusantara itu, memiliki maskot budaya jaran kepang dan gamelan. Promosi kebudayaan jaran kepang tersebut sempat memicu kehebohan di Indonesia pada dekade 2000-an. Di sana, suvenir kaos bergampar kuda kepang, mainan kuda kepang, dan berbagai pernak-pernik yang identik dengan budaya Jawa dijual sebagai cenderamata khas Johor.
Sejatinya, kesenian jaran kepang di sana berkembang pesat seiring kedatangan pekerja dari Jawa yang turun-temurun hingga kini bermukim di Negara Bagian Johor. Selain pekerja Tionghoa dan India, banyak pula pekerja dari Jawa yang datang mengadu nasib ke Johor pada zaman kolonialisme Inggris.
Pada satu kesempatan, penulis pernah diajak Konsul Republik Indonesia Jujur Hutagalung berkeliling Johor. Jujur menjelaskan tentang perkembangan beragam kesenian dari Jawa di Negara Bagian Johor. ”Kalau malam hari, ada beberapa radio dengan siaran khusus gamelan semalaman suntuk. Bahkan, ada lomba gamelan yang rutin diadakan di Johor,” kata Jujur Hutagalung.
Agar kepiawaian seni tidak hilang, mereka juga mendatangkan guru seni dari beberapa lembaga perguruan tinggi seni rupa dari Solo dan Yogyakarta untuk mengajarkan seni gamelan.
Pengembangan ekonomi di Negara Bagian Johor pun kini merangkul tiga negara, yakni SiJoRi (Singapura Johor Riau), yang mencakup wilayah Batam di Provinsi Kepulauan Riau.
Akar budaya leluhur Kesultanan Johor, yakni dari Sulawesi Selatan, asal-usul sang sultana dari Pantai Kuta Bali, hingga seni kuda kepang dan gamelan yang dibawa para pemukim dari Jawa menjadi salah satu simpul pengikat dan pemersatu dua bangsa, Indonesia-Malaysia.