Kalau Anda melihat gambar pemandangan seperti saat Anda masih duduk di sekolah dasar, apa yang Anda lihat? Apa pendapat Anda saat melihat gambar semacam itu?
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan beberapa teman. Kami berbicara segala macam topik. Dari yang serius, setengah serius, bahkan yang asal-asalan. Dalam setiap topik yang kami bicarakan, ada saja yang tidak menyetujui dan ada yang menyetujui.
Bahkan ada yang diam seribu bahasa karena tak tahu persoalan yang dibicarakan dan ada yang ogah-ogahan karena topik yang dibahas tak menarik hatinya. Salah satu yang kami bahas adalah gambar pemandangan di masa sekolah dasar itu.
Reaksi setiap orang kalau sedang membahas sebuah topik juga berbeda-beda. Mereka memiliki cara pandang yang lain dan kadang sesuatu yang tak terpikirkan oleh saya. Ada yang sangat mengejutkan dan ada yang hanya biasa-biasa saja. Yang saya maksud biasa-biasa saja, itu yang sudah dapat diduga, bahkan sebelum penjelasan cara pandangnya selesai diuraikan.
Kalau melihat intonasi suara dan gerakan tubuh, saya bisa mengamati perbedaannya. Ada yang bereaksi keras dan seperti marah. Ada yang seperti saya, sangat emosi dalam mengungkapkan pendapat dan cara pandangnya, dengan suara tinggi sehingga sering kali disalahartikan kalau saya marah atau kesal. Ada yang menyampaikan secara datar dan tajam, kadang tanpa ekspresi.
Wajah memerah
Air muka setiap orang pun bermacam-macam. Kalau yang datar, yaaa… Anda bisa membayangkan dengan mudah. Itu kadang juga membingungkan saya. Saya merasa orang semacam itu sangat mampu mengontrol emosinya.
Kadang malah saya berpikir, apakah mereka tak memiliki emosi sama sekali. Ataukah emosi mereka itu yaaa… yang datar itu. Tenang, tanpa ekspresi.
Mereka yang berapi-api atau emosian seperti saya, air mukanya dapat berubah-ubah. Sudah mirip seorang bintang film yang mampu bermain dalam berbagai peran.
Wajah yang memerah, suara meninggi, urat leher dengan jelas terlihat saat mengungkapkan cara pandangnya. Saya percaya, kalau saya melakukan pemeriksaan tekanan darah dan detak jantung, saya kok yakin tekanan darah pasti akan naik dan detak jantung juga akan meningkat.
Beberapa di antaranya, termasuk saya, merasa pendapat atau cara pandang kamilah yang paling benar. ”Gak gitu. Itu salah.” Kalimat semacam itu meluncur dengan ringan untuk membantah cara pandang yang berbeda dan untuk meyakinkan bahwa pendapatnya paling benar. Kadang tujuan untuk mendengar pendapat pada mulanya menjadi sebuah pemaksaan cara pandang pada akhirnya. ”Elo salah besar kalau cara mikirnya gitu.”
Urat leher mengencang
Setelah acara kumpul-kumpul itu, kami bubar dan melanjutkan kegiatan masing-masing. Kami berjanji akan berkumpul lagi untuk bercerita tentang topik yang berbeda. Saya melanjutkan bertemu dengan seorang teman di sebuah mal.
Pertemuan ini tujuan awalnya untuk temu kangen karena sudah lama tak bertemu akibat PSBB yang diberlakukan, dan juga karena kekederan kami berdua akan situasi ini. Pertemuan itu pun berakhir dengan berdiskusi, dengan urat leher saya yang menegang dan suara yang meninggi.
Sepulang dari pertemuan itu, dalam perjalanan pulang saya mulai sadar, mengapa saya itu kalau mengungkapkan pendapat tak hanya berapi-api, tetapi juga memaksa orang menuruti cara pandang saya yang buat saya benar dan belum tentu buat orang lain.
Mengapa saya menjadi kesal, mengapa air muka saya berubah, mengapa suara saya meninggi dan detak jantung saya berdegup kencang ketika saya merasa bahwa cara pandang orang lain berbeda dengan saya.
Mengapa saya memaksakan kehendak saya kepada orang lain. Mengapa saya tak bisa santai saja seperti teman saya yang mukanya datar dan tanpa emosi mengungkapkan pendapatnya, tanpa memiliki keinginan untuk memaksakan kehendak bahwa tafsirnya dari sebuah topik yang tengah dibicarakan itu adalah yang paling benar?
Untuk apa urat leher saya sampai harus kencang, apa tujuan saya sesungguhnya? Bukankah perbedaan pendapat, atau cara pandang, atau tafsir menjadi sebuah hal yang menarik dan bukan sebuah ancaman yang membuat orang lain terpojok karena merasa pendapat, tafsiran, atau cara pandangnya tidak benar.
Bukankah manusia diciptakan berbeda. Berbeda dalam begitu banyak hal sehingga melihat gambar pemandangan dua gunung dengan matahari di tengahnya mampu melahirkan begitu banyak cara pandang. Kan, katanya, rambut boleh sama hitam, tetapi pendapat bisa bermacam-macam.
Kalau begitu adanya, mengapa saya memaksa orang untuk punya pendapat seperti saya, kalau saya sendiri saja tak mau dipaksa untuk sama? Dalam perjalanan pulang di dalam kendaraan umum itu, saya berusaha tidak menampakkan urat leher saya di pertemuan berikutnya. Akan tetapi, apakah usaha itu akan berhasil?
”Kayaknya mustahil,” demikian suara nurani bawel yang sudah lama tak berdendang.