Tata Kelola Pemerintahan Belum Siap Hadapi Pandemi Covid-19
›
Tata Kelola Pemerintahan Belum...
Iklan
Tata Kelola Pemerintahan Belum Siap Hadapi Pandemi Covid-19
Penularan Covid-19, jika tidak dihadapi dengan transformasi birokrasi, bisa menyebabkan pelayanan publik dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan terganggu. Sejumlah penyelenggara negara kini sudah terpapar Covid-19.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terus bertambahnya pejabat publik yang terpapar Covid-19 harus segera dijawab dengan perbaikan tata laksana birokrasi di lembaga ataupun badan publik yang mengurusi hajat hidup orang banyak. Penularan Covid-19 jika tidak dihadapi dengan transformasi birokrasi bisa menyebabkan pelayanan publik dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan terganggu.
Menyusul Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman yang dinyatakan positif Covid-19, pada Sabtu (19/9/2020) sore anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengumumkan dirinya terpapar Covid-19.
Tidak hanya penyelenggara pemilu, anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syamsuddin Haris, Sabtu, juga diumumkan KPK positif Covid-19. Pejabat publik di pemerintahan pusat juga tidak luput dari paparan Covid-19. Salah satunya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Sebelumnya, Maret lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga positif Covid-19.
Rentetan penularan Covid-19 juga dilaporkan dari berbagai daerah. Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah berpulang karena terpapar Covid-19, 16 September 2020. Sebelumnya, lima kepala daerah meninggal karena Covid-19.
Kelimanya ialah Bupati Sidoarjo (Jawa Timur) Nur Ahmad Syaifudin, Wakil Bupati Way Kanan (Lampung) Edward Antony, Wali Kota Banjar Baru (Kalimantan Timur) Nadjmi Adhani, Wali Kota Tanjung Pinang (Kepulauan Riau) Syahrul, dan Bupati Morowali Utara (Sulawesi Tengah) Aptripel Tumimomor.
Anggota Tim Ahli Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Agus Heruanto Hadna, saat dihubungi, Sabtu, mengatakan, merebaknya Covid-19 di lingkungan pejabat publik dan perkantoran di badan atau lembaga publik serta pemerintahan menunjukkan belum siapnya birokrasi Indonesia menghadapi pandemi.
Tata kelola pemerintahan dan birokrasi masih dijalankan dengan pendekatan lama yang tidak sesuai dengan kondisi pandemi. Sikap individu yang tidak ketat menerapkan protokol kesehatan dan pengaturan jarak dinilai memicu maraknya penularan di perkantoran, terutama di lingkungan pemerintahan.
Menurut dia, birokrasi dan tata cara pelayanan publik harus diubah dan disesuaikan dengan kondisi pandemi. Tidak bisa lagi mereka menggunakan cara lama, seolah tak terjadi apa-apa. Sebab, hal ini nantinya akan merugikan publik.
”Sebagai pejabat yang melayani publik atau masyarakat, intensitas bertemu orang sangat tinggi dan karena itu mereka rentan tertular. Untuk mengatasinya, harus ada perubahan sistem tata laksana pelayanan publik,” katanya.
Agus mengatakan, jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, akan banyak pelayanan publik tertunda dan penyelenggaraan pemerintahan dan negara yang bergantung pada orang per orang pejabat rentan terbengkalai. Rapat yang masih dikelola dengan cara lama dan tidak ramah pendekatan teknologi informasi ataupun layanan daring akan memperbesar potensi penularan Covid-19.
”Sudah saatnya pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi membuat sistem berbasis online atau daring untuk menunjang pelayanan publik. Pendekatan yang berbasis orang per orang dan mobilitas personal harus diubah dengan mekanisme sistem dan layanan daring,” tuturnya.
Upaya untuk menghadapi pandemi di tubuh birokrasi, menurut Agus, akan tidak optimal jika sudut pandang pemerintah tidak mengutamakan kesehatan, tetapi memberikan titik tekan pada ekonomi. Hal ini selain menimbulkan ketidakjelasan juga memicu sikap yang abai dari penyelenggara negara ataupun pejabat publik. Di akar rumput, ketidakjelasan sikap ini pun terasa dan memicu penularan yang sama masifnya.
”Belajar dari kesalahan, pemerintah harus tegas memihak pada kesehatan. Keselamatan rakyat nomor satu. Ekonomi tidak perlu ditakutkan. Pengalaman kita pada krisis tahun 1998, kekuatan ekonomi di bawah itu yang menjadi bumper ekonomi kita. Sektor informal tidak terdampak parah. Yang terdampak adalah kelompok ekonomi elite yang ada di atas,” katanya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, pembatasan pegawai yang masuk kantor seperti kini diterapkan di Jakarta harus diterapkan kembali di daerah-daerah lain. Daerah yang status penularan Covid-19 masuk kategori merah, oranye, dan hijau juga harus memakai konsep kembali PSBB ketat.
”Itu yang harus kita upayakan. Jadi, jangan lagi kita memakai format yang longgar. Buktinya, sekarang pada September, ada 3.000 bahkan 4.000 orang setiap hari tertular. Kalau begitu konsepnya, kita harus injak rem,” ujarnya.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga Sabtu siang, terdapat 4.168 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Kini, total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 240.687 orang. Dari jumlah itu, dalam sehari ini ada 3.576 pasisen sembuh, dan 112 pasien meninggal. Dengan demikian, jumlah keseluruhan korban meninggal akibat Covid-19 ada 9.448 orang, dan 174.350 orang dinyatakan sembuh.