Unjuk Rasa Terbesar Menuntut PM Thailand Mundur dan Reformasi Monarki
›
Unjuk Rasa Terbesar Menuntut...
Iklan
Unjuk Rasa Terbesar Menuntut PM Thailand Mundur dan Reformasi Monarki
Tuntutan para pengunjuk rasa berkisar pada pelengseran pemerintah, penyusunan konstitusi baru, pelaksanaan pemilu, serta kritik dan desakan reformasi monarki Raja Maha Vajiralongkorn.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BANGKOK, SABTU — Sekitar 20.000 pengunjuk rasa pro-demokrasi turun ke jalan-jalan di kota Bangkok, Thailand, Sabtu (19/9/2020). Dalam aksi yang akan digelar dua hari berturut-turut itu, mereka menyerukan Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha mundur dari jabatannya dan menuntut reformasi monarki di Kerajaan Thailand.
”Hancurkan feodalisme, hidup rakyat,” demikian yel-yel pengunjuk rasa. ”Hancurkan kediktatoran, hidup demokrasi!” teriak massa lainnya.
Unjuk rasa dengan seruan pengunduran diri Prayuth sudah kerap digelar di Thailand, khususnya di Bangkok, sejak Juli lalu. Namun, unjuk rasa akhir pekan ini merupakan yang terbesar sejak Prayuth mengambil alih kekuasaan di Thailand melalui kudeta tahun 2014. Unjuk rasa itu juga bertepatan dengan peringatan kudeta melawan PM Thaksin Shinawatra tahun 2006.
Dalam berbagai demonstrasi sejak pertengahan Juli lalu, tuntutan pengunjuk rasa berkisar pada pelengseran pemerintah, penyusunan konstitusi baru, pelaksanaan pemilu, serta kritik dan desakan reformasi monarki Raja Maha Vajiralongkorn. Di Thailand, kritik terhadap Raja dan monarki adalah hal tabu. Pelanggarnya bisa dijerat dengan Undang- Undang Lese Majeste dengan ancaman 3-15 tahun penjara.
”Ini problem yang ditutup- tutupi sedemikian lama. (Monarki) ini harus diakhiri sampai di sini,” kata Waan (20), mahasiswa pengunjuk rasa.
PM Prayuth menegaskan, pemerintah mengizinkan unjuk rasa, tetapi tuntutan mereformasi monarki tidak bisa diterima. Raja Maha Vajiralongkorn sejak menggantikan ayahnya pada 2015 lebih sering di Eropa. Istana Kerajaan tidak bisa diminta komentar terkait unjuk rasa tersebut.
Raja Maha Vajiralongkorn duduk di puncak kekuasaan Thailand dengan dukungan militer kerajaan dan klannya yang kaya raya. Nilai total kekayaannya diperkirakan 60 miliar dollar AS atau sekitar Rp 900 triliun. Dalam tuntutannya, para pengunjuk rasa menuntut akuntabilitas keuangan istana. Mereka juga menuntut penghapusan undang-undang pencemaran nama baik kerajaan dan seruan agar raja tetap di luar politik.
Diikuti aktivis lama
Jika sebelumnya unjuk rasa kerap digelar dan diikuti oleh mahasiswa atau warga berusia muda, belakangan bergabung para aktivis dari Front Bersatu untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran (UDD). Anggota UDD kerap disebut kelompok berbaju merah. Mereka adalah pendukung setia Thaksin.
Polisi mengatakan, dalam unjuk rasa kemarin pada awalnya 5.000 orang berkumpul di kampus Universitas Thammasat. Kampus itu telah lama dianggap sebagai sarang oposisi terhadap militer dan kemapanan kerajaan.
Di universitas itu pula pernah terjadi pembantaian pengunjuk rasa. Sebanyak 46 pengunjuk rasa tewas dalam unjuk rasa damai, 6 Oktober 1976. Peristiwa itu disebut sebagai salah satu hari tergelap dalam sejarah Thailand.
Para pengunjuk rasa sempat memaksa membuka gerbang kampus Universitas Thammasat yang terkunci. Selain mahasiswa, pengunjuk rasa juga dari kalangan masyarakat secara umum. ”Kami harus mendukung mahasiswa,” kata Rianchai (55).
Di tengah hujan yang mengguyur sebagian wilayah Bangkok, para pengunjuk rasa bergerak menuju Lapangan Sanam Luang. Sanam Luang adalah ruang publik di seberang kompleks Istana Kerajaan Thailand yang biasa menjadi tempat upacara keagamaan setempat.
Menjelang petang telah berkumpul hingga 20.000 pengunjuk rasa. Mereka siap menginap di kawasan itu. ”Hari ini rakyat akan menuntut kembali kekuasaan mereka,” cuit Arnon Nampa, pengacara HAM, salah satu tokoh utama dalam unjuk rasa itu, melalui Twitter.
Sekitar 10.000 polisi berseragam dan berpakaian preman berjaga-jaga di area itu ketika kerumunan bertambah. Jumlah pengunjuk rasa dalam aksi dua hari itu diperkirakan 50.000. Para pengunjuk rasa mendirikan tenda yang menjual kaus oblong, bendera, dan bir di sepanjang jalan utama di luar Universitas Thammasat.
Melalui pernyataan yang dirilis, Sabtu kemarin, Thaksin melontarkan komentar singkat. ”Anak-anak tidak melihat sebuah masa depan karena Thailand sekarang sudah ketinggalan zaman,” katanya.
Para analis melihat demonstrasi pada akhir pekan ini sebagai ujian gerakan prodemokrasi Thailand. Unjuk rasa dan kudeta kerap melanda Thailand. Merujuk catatan sejarah negara itu, militer dan kerajaan turun tangan dalam puluhan kudeta sejak absolutisme kerajaan berakhir tahun 1932.
Gelombang demonstrasi belakangan yang dipimpin mahasiswa ini sebagian besar berlangsung damai. Namun, seruan dan kritik terbuka terhadap monarki belum pernah terjadi sebelumnya. Seruan itu mengirim gelombang kejutan di seluruh negeri Thailand.
Menurut Kevin Hewison, profesor emeritus dan pakar veteran dalam studi Thailand, para mahasiswa pengunjuk rasa itu terlalu muda untuk terlibat dalam pertarungan politik partisan di negara itu. ”Itu sebabnya, mereka terlihat dan beraksi dengan cara berbeda, dan itu sebabnya mereka begitu membingungkan bagi rezim,” kata Hewison melalui surat elektronik.
”Yang dilihat oleh rezim dan para pendukungnya adalah mereka anak-anak relatif kaya yang menentang mereka, dan hal ini membuat mereka bingung,” lanjut Hewison.
Aksi unjuk rasa di Bangkok juga mendapat simpati dan solidaritas di luar negeri. Sejumlah orang dilaporkan berkumpul di depan Stasiun Shibuya, Tokyo, sebagai dukungan atas aksi di Bangkok. Aksi serupa direncanakan di belasan negara, termasuk AS dan Jerman. (AP/AFP/REUTERS/SAM)