Kewaspadaan masyarakat akan risiko peningkatan penularan penyakit demam berdarah agar ditingkatkan di tengah pandemi Covid-19 dan memasuki musim hujan. Kasus ini biasanya merambat naik saat musim hujan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, kasus demam berdarah dengue yang masih meningkat menambah beban kesehatan di masyarakat. Ini mengingatkan agar pengendalian dan pencegahan demam berdarah harus tetap dijalankan, terutama memberantas sarang nyamuk di lingkungan tempat tinggal menjelang musim hujan saat ini.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan total kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia sampai minggu ke-38 pada 2020 mencapai 87.872 kasus. Dari jumlah itu, kasus tertinggi terjadi di Buleleng, Bali (2.682 kasus); Kota Bandung, Jawa Barat (2.138 kasus); Badung, Bali (2.138 kasus); Sikka, Nusa Tenggara Timur (1.715 kasus); dan Jakarta Timur (1.452 kasus).
Sementara itu, total kasus kematian akibat DBD yang dilaporkan sebanyak 608 kasus. Kasus kematian tertinggi dialami anak usia 5-14 tahun dan kasus kesakitan terbanyak pada rentang usia 15-44 tahun.
”Meskipun jumlah kasus infeksi dengue pada 2020 jauh lebih sedikit dibandingkan pada tahun 2019 (138.127 kasus), bukan berarti kita lupa untuk waspada. Menjelang akhir tahun ini yang biasanya pada November, kasus dengue mulai merambat naik hingga puncaknya pada bulan Januari dan Februari,” ujar Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Didik Budijanto di Jakarta, Senin (21/9/2020).
Karena itu, ia mengatakan, pencegahan dan pengendalian infeksi dengue harus terus dilakukan, terutama menjelang musim hujan saat ini. Setidaknya ada tiga strategi utama yang bisa dijalankan, yakni pengendalian vektor penular dengue dengan pemberantasan sarang nyamuk, penguatan sistem surveilans terkait deteksi dini dan pengendalian kasus, serta manajemen kasus dengan penguatan diagnostik dan tata laksana pasien.
Didik menyampaikan, pencegahan dan pengendalian DBD tetap dilakukan dengan menjalankan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi penularan Covid-19 pada petugas, pasien, serta masyarakat.
Meski begitu, upaya pengendalian DBD menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan itu antara lain sumber daya yang lebih terfokus pada penanganan Covid-19, masyarakat yang kurang peduli pada pemberantasan sarang nyamuk, dan tidak berjalannya gerakan satu rumah satu jumantik (juru pengamat jentik).
”Tantangan lainnya juga dihadapi dalam deteksi dini pada pasien DBD. Hal ini karena ada kemiripan tanda dan gejala antara DBD dan Covid-19. Dikhawatirkan adanya kemungkinan penurunan angka kasus yang terjadi karena underdiagnosis atau malah terjadi kasus ko-infeksi,” ujar Didik.
Kewaspadaan akan penularan DBD perlu ditingkatkan seiring dengan dimulainya musim hujan di sejumlah daerah. Pemberantasan sarang nyamuk perlu digalakkan kembali, setidaknya sekali dalam satu minggu.
Selain itu, Didik mengatakan, tempat umum juga tetap harus dipantau, terutama di terminal, pasar, dan institusi lain seperti kantor dan sekolah. Selama masa pembatasan sosial berskala besar, tempat tersebut mulai luput dari pemantauan.
Masyarakat pun diharapkan tetap menjalankan 3M plus, yakni menutup tempat penampungan air, menguras tempat penampungan air setidaknya satu minggu sekali, serta memanfaatkan kembali limbah bekas yang berpotensi menjadi tempat nyamuk berkembang biak. Selain itu, cara lainnya dengan menggunakan obat antinyamuk, membersihkan lingkungan sekitar, serta memberikan larvasida di penampungan air yang sulit dikuras.
Informasi iklim
Secara terpisah, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Herizal dalam siaran pers mengatakan, musim hujan tahun ini diprediksi akan dipengaruhi oleh tambahan uap air, yakni menjadi lebih basah dan lembab dari tahun sebelumnya. Sementara suhu akan cukup hangat.
Menurut dia, kondisi ini akan memicu berkembangnya nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor penyakit demam berdarah. Karena itu, informasi tentang iklim ini perlu cepat disampaikan agar mitigasi masalah DBD bisa segera dilakukan, terutama di tengah situasi pandemi Covid-19.
”BMKG telah merilis kerja sama dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Institut Teknologi Bandung dalam pengembangan peringatan dini DBD di wilayah DKI Jakarta. Peringatan dini DBD berbasis iklim ini dapat menjadi informasi peringatan dini dari kemungkinan terjadinya DBD,” kata Herizal.
Menurut dia, informasi peringatan DBD ini akan didasarkan pada parameter iklim, seperti kelembaban udara dan jumlah kasus DBD di suatu wilayah. Selain itu, informasi ini juga akan menunjukkan peta prediksi angka DBD untuk tiga bulan ke depan dengan pembagian wilayah berdasarkan tingkat kerentanannya. Dengan begitu, antisipasi bisa dilakukan sesuai kondisi wilayahnya.