Berbagai kalangan, mulai dari ormas, organisasi nonpemerintah, hingga ahli epidemiologi, mendesak pemerintah menunda Pilkada 2020. Desakan itu berlandaskan kemungkinan kerumunan massa penyebab pandemi Covid-19.
Oleh
Nikolaus Harbowo/Dian Dewi Purnamasari/Suhartono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai kalangan, mulai dari organisasi kemasyarakatan, organisasi nonpemerintah, hingga ahli epidemiologi, mendesak pemerintah menunda Pilkada 2020. Desakan itu berlandaskan kemungkinan terjadinya kerumunan dalam tahapan-tahapan pilkada yang bisa menjadi kluster baru penularan Covid-19 di sejumlah wilayah.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah, DPR, dan KPU menunda Pilkada 2020. Walaupun menggunakan protokol kesehatan ketat, tahapan pilkada yang melibatkan lebih dari 100 juta orang itu sulit terhindar dari kerumunan. Potensi munculnya kluster baru saat pilkada sangat besar.
”Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat. Namun, karena Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan selayaknya diorientasikan untuk menanggulangi krisis kesehatan,” tutur Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj.
Adapun Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan, Muhammadiyah belum menentukan sikap soal Pilkada 2020. Melihat perkembangan situasi terkini, usulan disampaikan pada Senin (21/9/2020) ini.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, kemarin, juga meminta agar Pilkada 2020 ditunda hingga ditemukannya vaksin Covid-19. Penundaan itu demi keselamatan dan kesehatan warga.
Keselamatan dan kesehatan masyarakat sangat penting saat wabah Covid-19 sudah melonjak tinggi dan meluas. Sejauh ini, Ketua KPU Arief Budiman dan sejumlah penyelenggara pemilu lainnya terpapar Covid-19. Bahkan, sejumlah calon peserta juga sebagian terpapar Covid-19.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, jika tidak diantisipasi, masa kampanye dan pencoblosan akan menciptakan kerumunan yang luar biasa. Dengan demikian, penularan virus terjadi secara masif. ”Agak sulit membayangkan kalau calon terpapar Covid-19, komisioner KPU dan Bawaslu terpapar Covid-19. Ini festival Covid-19 atau pilkada,” ujarnya.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, pun berpendapat, kurva epidemi masih naik dan belum terkendali. Ia menilai tidak ada yang mengetahui kapan pandemi berakhir. Jika kondisi penularan terus terjadi secara signifikan, diperkirakan pandemi ini akan selesai pada 2022. ”Ini belum menghitung kluster- kluster pilkada,” ujarnya.
Ini festival Covid-19 atau pilkada.
Iwan mengatakan, potensi penularan yang paling berisiko adalah saat masa kampanye. Jika ada 100 orang berkumpul, hampir pasti ada satu orang positif Covid-19. Kecepatan penularan Covid-19 saat ini adalah 0,2 per kasus terinfeksi per hari. Jika seharian berkumpul, akan ada dua orang tertular.
Iwan memprediksi, selama kampanye terdapat 1.042.280 titik kumpul dengan massa 100 orang. Jika kampanye langsung (offline) dilakukan, ini akan berpotensi menambah 2.084.560 kasus baru Covid-19.
Komisioner KPU, Hasyim Asy’ari, mengungkapkan, berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, pilkada dapat ditunda dalam sebagian atau seluruh daerah pemilihan karena terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana non-alam, atau gangguan lainnya. Namun, mekanisme penundaan pilkada harus atas persetujuan antara KPU, pemerintah, dan DPR.
Tetap dilanjutkan
Di tengah usulan penundaan dan penolakan Pilkada 2020, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri berkukuh tetap akan melanjutkan pesta demokrasi tersebut. Alasannya, hingga saat ini tak ada jaminan pada titik kapan pandemi Covid-19 akan berakhir meski Pilkada 2020 ditunda tahun depan.
Namun, agar penanganan pandemi tak terganggu, Kemendagri menyiapkan dua opsi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dan percepatan revisi peraturan Komisi Pemilihan Umum. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dalam webinar nasional ”Strategi Menurunkan Covid -19, Menaikkan Ekonomi” yang digelar Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), Minggu, di Jakarta, mengatakan, tak ada yang bisa memastikan pandemi akan selesai pada 2020. Karena itu, skenario Pilkada 2020 dianggap masih jadi opsi yang tepat sambil menunggu vaksin.
Lebih jauh, Tito menyatakan, guna mendukung keberhasilan pilkada, tema besar pilkada hanya ada satu, yaitu peran calon kepala daerah dalam penanganan pandemi dan dampak sosial ekonominya. Dengan tema itu, para calon akan saling adu gagasan dan berbuat. Semua alat protokol kesehatan juga akan menjadi alat peraga utama dalam kampanye sehingga terjadi pembagian alat pelindung diri yang masif.
”Momentum ini sebetulnya kalau bisa berjalan dengan tepat, daerah akan bergerak serius menangani Covid-19. Jadi, momentum ini, kalau di-setting baik, bisa menjadi momentum emas,” ujar Tito.
Sehari sebelumnya, saat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Tito menyatakan, pilkada yang digelar di 270 daerah, sembilan di antaranya di tingkat provinsi, perlu regulasi untuk mencegah kerumunan sosial dan memakai masker, serta mewajibkan para pasangan calon dan tim sukses berkampanye masif dengan berbagi alat pelindung diri (APD). ”Pembagian APD silakan menyebutkan nama dan nomor peserta dari KPU,” ujarnya.
Soal dua opsi perppu yang disiapkan, Tito menjelaskan, opsi pertama, perppu mengatur mulai dari pencegahan dan penanganan Covid-19 hingga penegakan hukum. Selama ini, perppu itu dibutuhkan karena belum ada UU yang spesifik penanganan Covid-19. ”Tetapi risikonya, kalau ini dilakukan, mungkin akan berhadapan dengan teman-teman civil society, aktivitas demokrasi yang menganggap perppu ini melarang aktivitas menyampaikan pendapat di muka umum atau kegiatan-kegiatan lain. Itu dilematisnya,” ucap Tito.
Perppu kedua, kata Tito, yang secara spesifik mengatur protokol Covid-19 beserta sanksinya, untuk Pilkada 2020 dan pemilihan kepala desa, yang juga telah ditunda Kemendagri. Berkaitan dengan sanksi, Tito menyebut disiapkan tahapan- tahapannya, mulai dari sanksi administrasi hingga pidana. Pengenaan sanksi administrasi berawal dari peringatan pertama, kedua, ketiga, hingga diskualifikasi pasangan calon.
Namun, penentuan peringatan sampai diskualifikasi itu harus melalui mekanisme Sentra Penegakan Hukum Terpadu.