Sejarah Jalur Rempah menunjukkan Indonesia memiliki peran strategis dalam tataran geopolitik dan geoekonomi. Indonesia bisa menggandeng negara-negara yang dilalui Jalur Rempah untuk menyikapi isu global terkini.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jalur Rempah berperan strategis untuk memperkuat hubungan geopolitik Indonesia dengan negara-negara lain. Salah satu isu yang bisa diangkat dalam hubungan itu adalah menekan dampak perubahan iklim.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid saat membuka International Forum on Spice Route (IFSR) 2020, Senin (21/8/2020), di Jakarta, mengatakan, sejak 2016, Pemerintah Indonesia mengumpulkan informasi dan hasil studi secara sistematis. Kesimpulan penelitian mengerucut bahwa Jalur Rempah memiliki kekayaan sejarah.
Dia menganggap, penggunaan kata ”forum” untuk IFSR sudah tepat. Akademisi sampai pemerintah bisa bersama-sama berkumpul, tanpa peduli latar belakang ilmu tertentu, lalu membahas situasi global yang kini terjadi.
Chairman of the Board of Trustees, Negeri Rempah Foundation, Hassan Wirajuda mengatakan, Jalur Rempah membentang mulai dari Beijing (China) ke tepian Samudra Pasifik, lalu Selat Malaka, dan Selat Sunda ke barat. Kerajaan Sriwijaya yang eksis pada sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi mengontrol dua selat itu. Kemudian, Jalur Rempah membentang terus ke barat menuju India, Sri Lanka, Persia, dan Timur Tengah, serta menyusuri pantai timur Afrika dan Madagaskar.
Rempah-rempah dari Nusantara diperdagangkan kala itu dan menjadi barang paling dicari. (Hassan Wirajuda)
”Rempah-rempah dari Nusantara diperdagangkan kala itu dan menjadi barang paling dicari. Perdagangan timbal balik terjadi, seperti rempah-rempah Nusantara dengan karpet dari Timur Tengah. Dari model perdagangan itu lahir nilai tambah,” ujarnya.
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa mengubah karakter perdagangan Jalur Rempah yang berabad-abad damai. Misi perdagangan bergeser menjadi menganut kolonialisme yang ditandai dengan perampasan dan membenarkan perbudakan. Lahir pula praktik-praktik rasisme. Kawasan Asia menjadi wilayah pinggiran.
Setelah tiga abad lebih, kondisi berubah. China, India, dan negara-negara Asia Tenggara diperkirakan menjadi bagian dari kekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan tetap menghitung keterlibatan Jepang. Pergeseran geopolitik ini bisa dikatakan membuat peran Jalur Rempah kembali seperti awal.
”Nusantara kita secara geopolitik dan geoekonomi sangat strategis,” kata Hasan.
Perubahan iklim
Chairman of Research Center for Climate Change (RCCC) di Universitas Indonesia Jatna Supriatna menyebut perubahan iklim sebagai isu terbesar dunia saat ini. Indonesia dan negara-negara lain yang dilalui oleh Jalur Rempah harus ikut serta membahas pencegahan ataupun menekan dampak perubahan iklim.
Kenaikan suhu bumi, misalnya. Dia menyebut sudah ribuan riset meneliti masalah kenaikan satu sampai 6 derajat celsius. Sebagai gambaran, kenaikan 1 derajat celsius suhu bumi menyebabkan terumbu karang rusak, 2 derajat celsius membuat cadangan air berkurang dan Greenland mencair, serta 3 derajat celsius cadangan pangan berkurang drastis.
”Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Biodiversitas di darat dan laut tak akan berlangsung lama apabila perubahan iklim terus terjadi,” ujar Jatna.
Dia menambahkan, pemerintah negara yang dilalui Jalur Rempah dapat menggandeng swasta untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya. Misalnya, dorongan agar kendaraan listrik terus diimplementasikan.
IFSR 2020 berlangsung empat hari, yakni dari tanggal 21 sampai 24 September 2020. Selama empat hari, forum diisi aneka diskusi yang bertema, antara lain, ”Menakar Kekuatan UMKM Rempah-rempah di Penjuru Indonesia”, ”Jalur Rempah: Perspektif Asia Tenggara”, dan ”Warisan Laut Nusantara”.