Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 perlu pengaturan kampanye. KPU pun akan mengatur aktivitas kampanye secara daring dan di media sosial. Selain harus transparan, aturan juga menjamin protokol kesehatan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk memfasilitasi pesta demokrasi Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19, Komisi Pemilihan Umum akan mengatur aktivitas kampanye secara daring dan di media sosial. Pengamat menilai aturan kampanye di media sosial harus membuat para pihak lebih transparan selain menjaga keselamatan dari pandemi Covid-19.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, dalam diskusi daring, Senin (21/9/2020), di Jakarta menjelaskan, kampanye di media sosial itu diatur dalam rancangan terbaru peraturan KPU berdasarkan PKPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Dalam rancangan PKPU itu, kampanye berlangsung selama 14 hari menjelang masa tenang.
Dia melanjutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur bisa memiliki hingga 30 akun resmi di seluruh aplikasi media sosial. Sementara pasangan calon bupati dan wakil bupati bisa memiliki hingga 20 akun resmi. Akun tersebut dilaporkan ke KPU paling lambat sehari sebelum masa kampanye dimulai.
Kampanye di media sosial dan media daring, lanjutnya, dibiayai sendiri oleh pasangan calon. Kendati demikian, KPU tetap membatasi intensitas kampanye agar ada keadilan antara pasangan calon yang memiliki dana banyak dan pasangan calon dengan dana terbatas. Ini sekaligus untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, serta kesetaraan antarpasangan calon.
Kampanye di media sosial itu turut dipantau oleh Polri serta lembaga pemerintah bidang komunikasi dan informatika. Ini untuk memeriksa unsur pelanggaran dalam muatan materi kampanye.
Kampanye di media sosial itu turut dipantau oleh Polri serta lembaga pemerintah bidang komunikasi dan informatika. Ini untuk memeriksa unsur pelanggaran dalam muatan materi kampanye.
Menurut Kade Wiarsa, rasionalisasi kampanye di media sosial tak lepas dari situasi Indonesia yang masih bergulat dengan pandemi Covid-19. Sebab, kampanye dengan mengumpulkan massa akan berisiko di tengah wabah yang belum melandai.
Dia menambahkan, KPU sudah menyiapkan beberapa opsi sanksi administrasi bagi pelanggar protokol kesehatan di Pilkada 2020. Opsi itu antara lain penghentian kampanye yang diduga melanggar protokol kesehatan dan pengurangan hak kampanye dari segi waktu. Sanksi ini akan dibahas lebih lanjut dalam rapat dengar pendapat bersama DPR dan pemerintah, Senin siang.
Namun, presentasi Kade Wiarsa belum rinci karena waktu yang terbatas saat paparan dari KPU yang akan mengikuti rapat dengar pendapat di DPR. Dalam diskusi itu, hadir peneliti Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada, Janitra Haryanto, serta peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Maharddhika.
Perlu diatur lebih rinci
Janitra menyampaikan, kampanye di media sosial perlu diatur lebih detail. Harus ada batas atas anggaran iklan bagi pasangan calon, partai politik, gabungan partai politik, dan tim kampanye. Ini untuk mengatur agar tak ada pasangan calon yang terlalu dominan dibandingkan dengan pasangan calon lain.
Di samping itu, lanjutnya, harus ada transparansi besaran biaya iklan yang dikeluarkan setiap pasangan calon dalam berkampanye di media sosial. Ini untuk mencegah penyelewengan dana kampanye.
Terkait pendengung atau buzzer, tambah Janitra, bisa membentuk opini publik secara tidak alami. Mereka bisa menggalang gelombang dukungan untuk memilih pasangan calon tertentu atau mengangkat isu tertentu. ”Dalam konteks pemilu, apakah ini dibolehkan atau tidak, masih menjadi perdebatan,” ujarnya.
Hal ini karena sulitnya mengidentifikasi apakah konten pendengung tersebut pesan berbayar atau bukan. Karakter media sosial yang membuka ruang bagi anonimitas membuat verifikasi bertambah rumit. Oleh sebab itu, platform media sosial diminta memperkuat fitur untuk menyaring ”perilaku pengguna tak natural yang terkoordinasi”.
Maharddhika menambahkan, kampanye di media sosial dalam kontestasi politik kian diminati karena menawarkan iklan sejalan dengan perilaku pengguna. Ini membuat materi kampanye lebih sesuai target.
Sayang, menurut Maharddhika, Indonesia belum memiliki regulasi untuk mengatur kerahasiaan data pribadi pengguna media sosial, dalam hal ini calon pemilih. Dengan begitu, akan sulit menagih akuntabilitas dari platform terkait.
Dia menambahkan, informasi mengenai target dari iklan politik yang disasar harus diberitahukan kepada semua pasangan calon. Daftar pihak ketiga atau orang yang menghubungkan antara pasangan calon dan platform aplikasi (agensi iklan) pun harus dibuka kepada publik.
Informasi mengenai target dari iklan politik yang disasar harus diberitahukan kepada semua pasangan calon. Daftar pihak ketiga atau orang yang menghubungkan antara pasangan calon dan platform aplikasi (agensi iklan) pun harus dibuka kepada publik.
Selain perlindungan data pribadi, lanjut Maharddhika, hal yang belum tersentuh oleh regulasi pemilu adalah penggunaan pendengung dalam kampanye politik di media sosial. Untuk itu, pasangan calon harus jujur kepada publik. Jika memang menggunakan jasa pendengung, datanya harus dibuka.