Nestapa di Ujung Godaan yang Menggiurkan
Saat mencari pekerjaan sebagai awak kapal, perlu waspada dengan iming-iming atau promosi syarat mudah dan gratis.
Syarat mudah, waktu singkat, dan penawaran gaji tinggi membuat sebagian calon pekerja migran kelautan tergiur untuk bergabung. Mereka sama sekali tidak menyangka, kemudahan yang didapatkan pada awal perekutan menjadi sesal di kemudian hari.
Awal tahun 2018, Samfarid Fauzi (34), warga Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, melihat sebuah iklan lowongan pekerjaan sebagai anak buah kapal (ABK) di sebuah grup Facebook. Dalam iklan tersebut, perusahaan penyalur ABK itu hanya mencantumkan dua persyaratan, yakni kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
Farid yang kala itu sedang putus asa setelah kehilangan pekerjaan tergiur untuk mendaftar. Setelah mengirimkan lamaran pekerjaan, Farid diundang menjalani tes wawancara. Pada akhir sesi wawancara, Farid diminta menyerahkan sejumlah dokumen sebagai syarat pengurusan paspor dan buku pelaut.
Baca juga: Penting, Mengecek Rekam Jejak Perusahaan Perekrut Awak Kapal
Kendati tidak memiliki latar belakang pendidikan ataupun pengalaman di bidang perikanan, Farid hanya satu kali diberi pelatihan, yakni menjahit jaring. Sebelum diberangkatkan ke China, Farid juga tidak diberi pelatihan bahasa. Padahal, di kapal tersebut Farid bekerja dengan orang-orang dari berbagai negara. Kini, ketidakmampuan berbahasa asing membuat Farid kesulitan untuk berkomunikasi dengan ABK lain ataupun kapten kapal.
”Dari awal melihat iklan di Facebook sampai dia berangkat ke China itu waktunya sangat singkat, kurang dari tiga bulan. Belakangan kami menyadari, ternyata yang cepat dan mudah itu belum tentu baik. Ini contohnya, amburadul begini,” kata Inggrid Frederica (32), istri Farid.
Inggrid menuturkan, pada bulan-bulan awal, dirinya masih bisa berkomunikasi dengan Farid melalui aplikasi percakapan Whatsapp. Farid selalu bisa mengirim kabar ketika kapal tempat ia bekerja bersandar. Setahun terakhir, Inggrid tidak mendapat kabar apa pun dari Farid.
Menurut keterangan ABK lain kepada Inggrid, kapal tempat Farid bekerja tidak bisa bersandar karena alasan pandemi Covid-19. Bukannya dibawa ke daratan agar bisa pulang ke Indonesia, Farid malah dipindahkan ke kepal lain lalu dibawa kembali ke tengah laut.
”Seharusnya, suami saya itu pulang karena kontrak kerjanya itu hanya sampai April 2020. Saat ini, suami saya masih disuruh bekerja. Itu berarti mereka melanggar kontrak kerja,” ujar Inggrid.
Dalam komunikasi terakhirnya dengan Inggrid, Agustus 2019, Farid menyampaikan bahwa dirinya ingin pulang karena sudah tidak kuat lagi bekerja di kapal tersebut. Setiap harinya, Farid hanya tidur kurang dari 2 jam. Jika ketahuan beristirahat lebih lama, Farid diancam tidak akan diberi makan.
Baca juga: Menunggu Abang Pulang
Terkait makanan, Farid juga mengeluh kepada Inggrid. Di atas kapal, Farid hanya makan nasi dengan garam. Sebab, bahan-bahan makanan yang disediakan oleh pemilik kapal sudah kedaluarsa dan rusak.
”Mereka yang tidak kuat makan pakai garam terpaksa memasak bangkai ayam atau memakan makanan kedaluarsa itu,” ucap Inggrid.
Perlakuan tidak manusiawi juga diterima ABK asal Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Abdul Wahid (40). Selama bekerja, Abdul sering kali terlambat menerima gaji. Bahkan, ia pernah bekerja tanpa dibayar.
Peristiwa itu terjadi pada 2014 saat Abdul bekerja sebagai ABK di kapal ikan berbendera Taiwan. Setelah bekerja selama lebih kurang satu tahun, pria yang tidak tamat SD itu dibayar dengan cek kosong.
Masih pada tahun yang sama, Abdul kembali mencoba bekerja di kapal ikan lain yang juga berbendera Taiwan. Saat bekerja di kapal itu, gaji Abdul sering terlambat dikirim. Keterlambatan penerimaan gaji cukup lama yakni, 4-5 bulan. Hal itu kemudian membuat Abdul memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya.
Untuk mendapatkan ongkos pulang ke Brebes, Abdul bekerja sebagai pekerja kasar di Taiwan. Abdul lalu pulang pada 2016.
Pada 2018, Abdul mendapat tawaran untuk bekerja sebagai ABK di sebuah kapal berbendera China. Kapal itu direncanakan beroperasi di perairan Fiji. Tanpa berpikir panjang, Abdul mengiyakan tawaran itu kemudian berangkat ke China.
”Tahun pertama bekerja, semuanya masih jelas. Gaji dikirim tepat waktu dan komunikasi dengan keluarga juga masih lancar,” kata Tri Widyawati (27), istri Abdul.
Baca juga: Membela Anak Buah Kapal Migran yang Tak Terlindungi
Memasuki tahun 2019, semuanya berubah. Komunikasi antara Abdul dan keluarganya di Brebes mulai sulit. Kapal yang biasanya bersandar setiap tiga bulan sekali tidak bersandar hingga hampir 6 bulan. Abdul terakhir kali bisa berkomunikasi dengan Tri saat dirinya dirawat di rumah sakit karena badannya bengkak-bengkak. Tri tidak tahu pasti apa nama penyakit yang diderita suaminya itu.
Pada saat dirawat, Abdul sempat menitipkan pesan agar Tri merawat baik-baik anak tunggal mereka. Kala itu, Abdul juga bercerita bahwa dirinya sering mendapat kekerasan fisik dari kapten kapalnya.
”Dia tidak cerita, jenis kekerasan fisiknya itu apa. Mungkin dia takut saya khawatir,” ucap Tri.
Semenjak Abdul keluar dari rumah sakit, Tri tidak pernah lagi mendapatkan kabar langsung dari Abdul. Abdul hanya satu kali berkirim surat kepada Tri, yakni pada April 2020. Surat itu dititipkan kepada salah satu temannya yang bekerja di kapal pengangkut bahan bakar. Dalam surat yang itu, Abdul mengatakan dirinya akan pulang ke Brebes, Juli 2020. Abdul meminta Tri untuk bersabar.
Akhir Mei 2020, Tri mendapat kabar kematian suaminya. Kabar itu disampaikan oleh perusahaan penyalur tenaga kerja yang memberangkatkan suaminya. Menurut mereka, Abdul meninggal karena kecelakaan kerja.
Tidak mau percaya begitu saja, Tri meminta bukti-bukti yang menunjukkan bahwa suaminya telah meninggal, seperti foto, surat keterangan, atau laporan pemeriksaan medis terhadap suaminya. Namun, hingga kini, Tri tidak mendapatkan bukti-bukti itu.
Meski tidak bisa memberikan bukti-bukti kematian, pihak perusahaan berjanji untuk memulangkan jenazah Abdul. Saat itu, perusahaan berjanji akan memulangkan jenazah Abdul dalam waktu maksimal satu minggu setelah kematian.
”Sekarang sudah empat bulan sejak kematian suami saya, tetapi belum ada tanda-tanda jenazah suami saya mau dipulangkan,” tuturnya.
Baik Tri maupun Inggrid sudah berusaha mencari bantuan untuk mendapatkan kejelasan terkait nasib suami mereka. Mereka ingin suami mereka segera dipulangkan. Bulan lalu, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menemui mereka di sela-sela kunjungannya ke Brebes. Dalam pertemuan itu, Ida berjanji akan mengurus kepulangan dua pekerja migran asal Indonesia itu.
”Beberapa waktu lalu, Kementerian Tenaga Kerja sudah mengadakan rapat lintas sektor. Salah satu yang dibahas dalam rapat tersebut adalah upaya memulangkan suami saya dan suami Tri. Semoga saja segera ada kabar baik,” ujar Inggrid.