Pertanyaan yang Tertinggal Pascarevisi UU MK
Revisi UU MK yang banyak memberi "gula-gula" ke hakim konstitusi dinilai membahayakan lembaga itu sendiri. Independensi dan kredibilitas lembaga penjaga konstitusi itu diuji. Akankah MK mengoreksi hasil revisi ini?
Revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi membangunkan kembali ingatan akan hukum besi yang dikatakan oleh Mohammad Hatta enam dekade lalu. Dalam artikel “Demokrasi Kita” yang terbit di Majalah Panji Masyarakat, Hatta mengungkapkan demokrasi yang tidak ditangani dengan baik bisa mundur. Kemunduran itu memunculkan kekuatan yang berlawanan dengan demokrasi itu sendiri. Demokrasi dapat digantikan oleh raja yang berkuasa sendiri, atau oleh pemerintahan satu golongan kecil yang berkuasa penuh.
Peringatan dari Hatta itu patut disimak, terutama jika menengok bagaimana sejumlah lembaga yang merupakan citra demokratisasi di Tanah Air pascareformasi, pelan-pelan “dikerdilkan.” Upaya itu dilakukan melalui cara-cara yang tak kurang demokratis, serta melibatkan aktor-aktor yang terpilih secara demokratis.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK), praktis hanya dalam tujuh hari pembahasan.
Pada 1 September 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK), praktis hanya dalam tujuh hari pembahasan. Dari tujuh hari itu, tiga hari pembahasan substansi dilakukan secara tertutup. Publik tidak dapat mengetahui argumentasi pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang dalam mendiskusikan substansi RUU MK. Substansi RUU MK itu membahas mengenai syarat usia hakim konstitusi, masa pensiun, perpanjangan masa jabatan hakim, dan masa jabatan pimpinan MK.
Perubahan ketiga UU No 24/2003 tersebut mengatur syarat untuk menjadi hakim MK minimal 55 tahun, berbeda dengan UU sebelumnya yang mengatur usia hakim MK minimal 47 tahun. Hakim dapat menjabat 15 tahun, atau hingga usia pensiun 70 tahun. Ketentuan pensiun ini menghapuskan periodisasi yang sebelumnya diatur di UU MK yang lama, yakni hakim menjabat 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Pada aturan yang lama, hakim hanya menjabat 10 tahun. Revisi UU MK juga memperpanjang masa jabatan pimpinan MK, dari yang semula 2,5 tahun menjadi 5 tahun.
Baca juga: Motif DPR Dipertanyakan
Terhadap sejumlah ketentuan ini, kalangan masyarakat sipil dan ahli hukum tata negara memberikan kritik. Ketentuan masa jabatan 15 tahun yang diberlakukan kepada hakim yang saat ini menjabat dikhawatirkan mengandung motif tertentu. Sebab, pada saat yang bersamaan, hakim MK mengujikan berbagai UU yang krusial, dan menjadi perhatian publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan UU N0 2/2010 tentang Penetapan Perppu No 1/2020 tentang Stabilitas Keuangan Negara di masa pandemi.
Ketentuan masa jabatan 15 tahun yang diberlakukan kepada hakim yang saat ini menjabat dikhawatirkan mengandung motif tertentu.
Beberapa aturan lain juga potensial dibawa ke MK, seperti UU Minerba dan RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas di DPR. Perpanjangan masa jabatan itu dikhawatirkan menjadi suatu alat tawar kepentingan pembentuk undang-undang untuk meloloskan produk mereka saat diuji di MK.
“Disahkannya revisi UU MK memberikan implikasi deteriorasi moralitas berkonstitusi yang serius. Terlebih, revisi UU ini membahayakan bagi kemerdekaan MK ke depan, berpotensi menurunkan kredibilitas MK di mata publik, dan mereduksi fungsi checks and balances MK terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif,” kata Violla Reininda, peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Senin (14/9/2020) di Jakarta.
Di sisi lain, dari sisi prosedur, pembentukan RUU MK ini tidak mengikuti ketentuan yang diatur di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama, revisi UU MK dinilai bukanlah kehendak publik, tetapi kehendak elite politik.
“Kehendak melakukan revisi UU MK yang mengubah masa jabatan hakim MK menjadi lebih panjang bukanlah kehendak publik, melainkan kental aroma kehendak elite. Saat ini, konsentrasi masyarakat terfokus menghadapi Covid-19 beserta berbagai dampaknya seperti dampak ekonomi. Di masa pandemi ini hampir tidak ada publik yang bicara dan mengusulkan mengenai perpanjangan masa jabatan pejabat negara,” kata Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember, saat dihubungi, Sabtu (19/9).
Kedua, revisi UU MK juga sangat tertutup dan tidak partisipatif serta dibentuk dengan tergesa-gesa. Revisi regulasi sepenting UU MK dilakukan hanya dalam waktu tujuh hari, tanpa ada ruang untuk masukan publik, bertentangan dengan filosofi undang-undang sebagai cerminan kehendak masyakat yang harus dibentuk dengan cermat.
Kehendak melakukan revisi UU MK yang mengubah masa jabatan hakim MK menjadi lebih panjang bukanlah kehendak publik, melainkan kental aroma kehendak elite (Bayu Dwi Anggono)
Ketiga, muatan revisi UU yang fokus pada perpanjangan masa jabatan hakim MK yaitu 15 tahun dan mengabaikan perbaikan substansi lain yang justru dibutuhkan oleh para pencari keadilan, seperti perbaikan mekanisme seleksi hakim MK serta hukum acara MK, adalah pengabaian terhadap prinsip konstitusionalisme sekaligus prinsip demokrasi.
“Perpanjangan masa jabatan hakim MK hingga 15 tahun tanpa disertai perbaikan proses seleksinya akan menyebabkan publik harus menanggung kerugian yang sangat lama apabila hakim-hakim MK ternyata bukan figur negarawan yang memiliki kualitas sebagai hakim MK,” kata Bayu.
Dengan alasan materiil dan formil itu, KoDe Inisiatif menyiapkan uji konstitusionalitas UU MK hasil revisi. Menurut Violla, pengujian UU MK dilakukan untuk menarik MK keluar dari pusaran konflik kepentingan dan alat politik legislator di cabang kekuasaan kehakiman. Selain itu, upaya itu diharapkan dapat menjaga kemerdekaan MK dalam memutus perkara, supaya MK tetap mengedepankan perspektif konstitusionalisme dan mempertimbangkan aspek kepentingan publik. Aspek lainnya ialah untuk menjaga MK tetap profesional melakukan checks and balances terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif melalui pengujian UU.
“Kami juga ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai salah satu anak kandung reformasi yang selama ini cukup progresif melindungi dan memulihkan hak-hak konstitusional warga negara serta mengoreksi produk legislasi yang inkonstitusional,” katanya.
Lebih luas lagi, menurut Violla, pengujian RUU MK dilakukan guna memutus legitimasi dan mengoreksi praktik-praktik pembentukan undang-undang yang melangkahi koridor prosedural dan nilai-nilai konstitusi.
Baca juga: RUU MK Diusulkan oleh Pengusung Tunggal
Aturan problematik
Dari sisi substansi, revisi UU MK yang menghapuskan periodisasi dipandang baik oleh sejumlah ahli. Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, usulan untuk menghapuskan periodesasi itu muncul sejak lama. Adanya kekhawatiran lobi-lobi politik terjadi setiap lima tahun, yakni ketika hakim habis masa jabatannya, mendorong wacana agar hakim satu kali saja terpilih dalam jangka waktu lama. Jangka waktu itu bisa 8 tahun atau 10 tahun. Dengan demikian, tidak ada celah lobi-lobi kepada DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) dilakukan oleh hakim yang masa jabatannya habis dengan tujuan agar diperpanjang.
“Namun, kalau yang diatur itu sampai 15 tahun, itu terlalu lama. Kalau sudah terlalu lama itu akan terjebak zona nyaman, dan tidak ada kreativitas. Padahal, konstitusi itu harus akrab dengan perubahan, karena dinamika masyarakat itu berkembang pesat sekali. Sehingga living atau evolving contitutional itu kontekstual dengan perubahan. Kalau tidak begitu, dia akan kaku, dan perlu penyegaran. Paling tepat menurut saya ialah 10 tahun,” ujar Jimly.
Terkait dugaan barter dan pembahasan UU yang terkesan kilat, pengusul revisi UU MK, Supratman Andi Agtas, membantah hal tersebut. Ketua Badan Legislasi DPR itu menyebutkan penyusuan draf RUU MK dilakukan sejak masa periode DPR sebelumnya. Penyusunan drafnya pun memerlukan waktu yang lama. RUU itu memang tidak masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020, karena termasuk RUU kumulatif terbuka, artinya dapat sewaktu-waktu dibahas.
“Penyusunan RUU MK ini tidak tiba-tiba, tetapi sudah cukup lama. Pada DPR sebelumnya sudah ada karena masuk RUU kumulatif terbuka. Saat ini baru dibahas karena kita baru siap,” ujarnya.
Supratman juga menolak anggapan “barter politik” di balik usulannya mengatur usia pensiun hakim MK hingga 70 tahun. Sebab, usulan itu disampaikan agar ada kesamaan antara hakim MK dengan MA. Usulan agar syarat usia minimal hakim dinaikkan dari 47 tahun menjadi 60 tahun (kini disetujui 55 tahun) diajukannya untuk memastikan hakim MK berkarakter negarawan. Pada usia matang, menurut dia, karakter negarawan lebih mungkin muncul (Kompas, 11/4/2020).
Mantan hakim MK I Dewa Gede Palguna mengatakan, dengan substansi RUU MK yang ada saat ini, wajar jika publik berpikiran ada kepentingan lain di luar penguatan kelembagaan MK. Sebab, substansi RUU itu hanya mengatur tentang usia dan jabatan hakim. Hal lain yang perlu dibahas seperti kewenangan MK dalam menangani keluhan konstitusional, atau hukum acara, misalnya, tidak dijadikan substansi UU MK yang baru.
Baca juga: Masa jabatan dihapus, Hakim Konstitusi Akan Menjabat Hingga Usia 70 Tahun
Mengganggu independensi
Peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, tren pembahasan RUU yang cepat ini dikhawatirkan menjadi kebiasaan baru yang tidak tertulis di DPR. Sebelumnya, tahun 2019, revisi UU KPK juga dibahas kurang dari 2 minggu. Pembahasan cepat itu disinyalir untuk memuluskan agenda politik tertentu.
“Saya khawatir mereka punya strategi dan punya orang untuk mengisi posisi itu (hakim), dan prediksikan usia orang itu supaya bisa nyaman sesuai dengan yang mereka rencanakan,” katanya.
Tren pembahasan RUU yang cepat ini dikhawatirkan menjadi kebiasaan baru yang tidak tertulis di DPR. Sebelumnya, tahun 2019, revisi UU KPK juga dibahas kurang dari 2 minggu.
Penting untuk dicermati juga revisi undang-undang yang tidak berorientasi pada penguatan lembaga justru dilakukan pada lembaga-lembaga independen warisan reformasi, seperti KPK dan MK. Pengaturan melalui undang-undang, menurut Lucius, adalah cara untuk mengacak-acak lembaga independen tersebut.
“Dengan cara ini, mereka mengganggu independensi lembaga, dan memastikan kontrol atas mereka melalui regulasi, sehingga siapapun bisa terpilih asal sesuai dengan kepentingan parpol,” ujarnya.
Pelemahan KPK menjadi bukti legislasi bisa membuat lembaga tidak berdaya. Cita-cita pemberantasan korupsi dan supremasi konstitusi yang menjadi salah satu spirit reformasi dan demokratisasi, ironisnya terancam mati di tangan pembuat kebijakan yang terpilih secara demokratis. Aktor-aktor politik atas nama demokrasi “membajak” anak-anak kandung demokratisasi. Fenomena ini dikhawatirkan akan terus terjadi pada lembaga-lembaga lain yang sedang digodok aturannya. Baru-baru ini, penyusunan RUU Kejaksaan juga menuai polemik lantaran aturan penyadapan dilakukan di luar koridor hukum pidana.
Jika hal ini berlangsung terus, apakah hukum besi yang diungkapkan Hatta akan terbukti? Apakah demokrasi akan mundur dan digantikan sejenis kekuasaan seperti raja, ataukah golongan kecil yang berkuasa penuh atau kaum oligark? Semoga sejarah tidak terulang.