Tuntutan perubahan yang dimotori kaum muda saat ini harus direspons dengan baik oleh elite di Thailand. Kegelisahan dan ketidakpuasan rakyat sudah sepatutnya menjadi agenda bersama untuk dijalankan secara bersama pula.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Thailand sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada tuntutan demokratisasi yang besar, di sisi lain, ada kekuatan yang mempertahankan status quo.
Seperti dilaporkan Kompas, demonstrasi besar berlangsung di Bangkok pada Sabtu (19/9/2020) malam dan Minggu kemarin. Unjuk rasa ini yang terbesar sejak Prayuth Chan-ocha menjadi perdana menteri pada 2014. Tak hanya orang muda, seperti mahasiswa, yang ambil bagian dalam demonstrasi, tetapi juga warga yang lebih tua.
Hal lain yang membuat demonstrasi ini krusial adalah isu yang diangkatnya. Pengunjuk rasa tak cuma menyerukan perubahan konstitusi agar lebih demokratis serta meminta Prayuth, mantan pemimpin militer, mundur, tetapi juga menyampaikan tuntutan agar monarki direformasi.
Demonstran mendesak kerajaan lebih transparan serta ada pemisahan antara milik kerajaan dan milik publik. Selain itu, pengeluaran negara untuk anggota kerajaan juga dinilai perlu dikurangi.
Isu terkait kerajaan selama ini tabu untuk dibahas, apalagi diangkat dalam demonstrasi. Di Thailand, tindakan mengkritik kerajaan merupakan pelanggaran hukum. Tak sedikit orang menjadi korban undang-undang yang melarang ”penghinaan” terhadap monarki.
Untuk memahami politik di Thailand, perlu disadari bahwa di negara itu ada relasi sangat erat antara kerajaan dan angkatan bersenjata. Perkembangan yang terjadi sekarang pun, menurut para analis, berlangsung di tengah dinamika terbaru hubungan kerajaan dengan militer. Nikkei Asian Review menulis, faksi elite militer yang berbeda dengan kelompok Prayuth kini mendapat kepercayaan besar dari monarki. Pemerintahan Prayuth lantas dinilai sudah tak lagi mumpuni. Berbagai persoalan, terutama ekonomi, muncul akibat kinerja pemerintahannya.
Dalam situasi itu, perjuangan mahasiswa mendorong demokratisasi dan reformasi monarki mendapat tantangan serius. Bukan soal apakah tuntutan akan dipenuhi atau tidak, melainkan apakah demokratisasi yang digulirkan mahasiswa bersama rakyat Thailand akan dibajak faksi elite atau tidak. Di negara mana pun, bukan hal asing jika elite memanfaatkan dinamika di masyarakat untuk kepentingan kelompok.
Sampai saat ini, petugas keamanan tak menggunakan kekerasan terhadap demonstran. Meski demikian, jangan pernah dilupakan, sejarah Thailand diwarnai kekerasan terhadap mahasiswa yang menyuarakan demokrasi, selain berkali-kali kudeta militer terhadap pemerintahan sipil.
Tuntutan perubahan yang dimotori kaum muda saat ini harus direspons dengan baik oleh elite di Thailand. Negara tersebut sedang berada di persimpangan jalan. Kegelisahan dan ketidakpuasan rakyat sudah sepatutnya menjadi agenda bersama untuk dijalankan secara bersama pula. Hanya dengan cara itu, perubahan sejati dapat diwujudkan di Thailand dan status quo diakhiri.