Si Mata Biru yang Berjalan dalam ”Gelap”
Memiliki mata biru, Fardan Ramadhan (9) rentan terhadap cahaya. Meski demikian, ia bisa melihat lebih jelas dalam gelap dibanding orang biasa. Kelainan mata pada bocah ini memiliki sisi lain yang memesona.
Gelap mulai jatuh di Kendari, Sulawesi Tenggara, ketika Fardan Ramadhan (9) masih asyik bermain dengan sepupunya. Mata bungsu empat bersaudara ini terlihat di kegelapan dengan iris yang berwarna biru terang. ”Kalau di kampung, dia malah sering jalan malam tanpa senter. Katanya masih terang,” kata Diana, sang ibu.
Di bawah langit senja yang berangsur menghitam, Fardan asyik berlarian di jalanan berbatu, di kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR), Kendari, Kamis (17/9/2020). Ia tahu di mana kerikil, lubang, meski cahaya minim. Siswa kelas III SD di Kapontori, Kabupaten Buton, itu sedang menghadiri undangan di Kendari. Sebuah komunitas fotografi tertarik dengan mata sang anak dan mengundangnya datang.
Warna iris bola mata Fardan memang biru terang, seperti ada dua batu safir berwarna biru yang terpasang di matanya. Pupil mata tetap berwarna hitam. Pandangannya pun tajam dibungkus alis mata yang bersambung.
Fardan tidak datang sendiri. Selain ditemani sang ibu, ia juga datang dengan Heni Mahyuni (7), sepupunya. Jika Fardan memiliki kedua mata yang berwarna biru terang, Heni hanya pada mata kanan. Sementara itu, mata kirinya cokelat kehitaman, seperti kebanyakan mata orang Indonesia.
Diana (42) bercerita, Fardan memang terlahir dengan kedua mata yang berwarna biru terang. Fardan lahir satu hari sebelum Idul Fitri atau masih dalam bulan Ramadhan. Ia juga kaget saat Fardan lahir dengan kondisi itu karena takut terjadi sesuatu dengan anaknya tersebut. Ia dan suami, Faisal, memiliki warna mata yang biasa, coklat kehitaman. Suaminya meninggal tiga tahun lalu.
”Umur dua bulan saya bawa untuk periksa ke puskesmas. Kata dokter, matanya normal, hanya memang berbeda. Kakek dari bapaknya memang juga matanya biru, tapi cuma sebelah,” ucapnya.
Sejak saat itu, kata Diana, ia mulai tenang. Hanya saja, dalam beberapa kejadian, ia dibuat kaget dengan sang anak. Saat listrik padam, Fardan masih asyik bermain di rumah. Ia tahu jelas di mana letak mainan, sudut rumah, hingga posisi tiga orang kakaknya di dalam rumah yang hanya memiliki dua kamar.
Baca juga: Gangguan Penglihatan Masih Jadi Ancaman Warga Pinggiran
”Nda usah nyalakan senter, Bu. Fardan bisa lihat,” kata Diana, menirukan ucapan Fardan kepadanya.
Saat berjalan ke masjid di malam hari, dan kebetulan listrik padam, sambung Diana, Fardan juga menolak untuk memakai penerang. Ia bisa memaksimalkan penglihatan meski cahaya kurang di sekitarnya.
Akan tetapi, saat bertemu cahaya, mata siswa kelas III SD ini tidak mampu berlama-lama. Di siang hari, ia tidak bisa berlama-lama di luar rumah. Mata bocah ini akan berair dan sakit. Saat berjalan pulang sekolah, ia memakai topi dan berjalan menunduk. Di sekolah, ia biasa dipanggil rekannya Fardan si ”Mata Biru”.
”Tidak usah cahaya matahari, lampu kendaraan saja dia tidak bisa lihat. Sakit katanya,” ucap pedagang gorengan ini.
Baca juga: Waspadai Katarak pada Anak
Hal yang sama dirasakan Heni. Meski mata birunya hanya sebelah, ia juga tidak bisa berlama-lama menatap cahaya. Matanya cepat lelah, berair, dan sakit. Iriani (36), ibunda Heni, menceritakan, kondisi mata sang anak juga telah begitu sejak lahir. Seperti sepupunya, Heni juga rentan cahaya terang, tetapi bisa memaksimalkan penglihatan di cahaya yang kurang.
Meski awalnya sedikit takut anaknya memiliki mata yang berbeda, kini ia bisa bersyukur mata anaknya tidak berpengaruh dalam keseharian. ”Malah sekarang mulai dikenal banyak orang,” ujar Iriani.
Diana melanjutkan, ia yang seorang diri membiayai empat anaknya hanya mengandalkan jualan gorengan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Sehari-hari, ia hanya bisa mendapatkan pendapatan Rp 50.000, maksimal Rp 100.000. Dua orang anak tertuanya, Faldi dan Fajar, mulai turun menjadi nelayan untuk membantu keluarga. Bahkan, Fardan juga sudah biasa ke laut sekadar menyelam atau menjala ikan.
”Kalau Fardan tidak dikenal seperti sekarang, mana bisa kita ke Kendari. Ini kali pertama dia lihat kota,” ucapnya.
”Heterochromia”
Fardan dan Heni adalah dua anak yang mengalami kelainan pigmen mata, atau disebut heterochromia iridis. Mata dengan heterochromia dikenal lebih peka terhadap cahaya karena pengaruh pigmen di mata.
Penyebab heterochromia bisa kongenital atau bawaan, bisa juga didapatkan ketika dewasa.
Seorang anak di China, pada 2013 lalu, juga menggemparkan dunia kesehatan karena kedua mata yang berwarna biru dan bisa melihat dalam gelap. Dalam laman Medical Daily, disebutkan bahwa Nong Yousui, anak tersebut, memiliki pandangan mata terang saat gelap, dan berwarna hijau saat disinari cahaya.
Ahli mata dari Universitas Indonesia DR dr Gitalisa Andayani menjabarkan, heterochromia adalah bila iris (selaput pelangi) pada satu mata berbeda dengan warna iris mata satunya. Heterochromia tersebut bisa ditandai denngan warna mata yang berbeda kiri dan kanan (komplet), bila satu bagian pada iris beda warna dengan daerah lainnya (parsial), atau iris bagian tengah yang berbeda dengan daerah tepinya (sentral).
”Penyebab heterochromia bisa kongenital atau bawaan, bisa juga didapatkan ketika dewasa. Saat dewasa, bisa karena kecelakaan pada mata, penyakit diabetes, pendarahan pada mata, dan lainnya,” tutur Gitalisa, saat dihubungi dari Kendari.
Terkait penglihatan pada malam hari, Gitalisa menjelaskan, salah satu fungsi iris adalah tabir cahaya yang dijalankan oleh pigmen melanin dalam iris. Dalam kondisi heterochromia, pigmen melanin berkurang sehingga pasien lebih silau dalam cahaya terang.
”Jadi, kalau gelap, penglihatan mereka lebih nyaman karena tidak silau. Tidak berarti penglihatan dalam gelapnya lebih superior dibandingkan pasien normal,” ujarnya.
Wilayah Pulau Buton telah lama dikenal memiliki beberapa orang dengan pigmen mata berbeda, khususnya iris mata biru. Di Pulau Siompu telah lebih dulu diketahui ada keluarga dengan mata berwarna biru, baik sebagian maupun lengkap, sejak dulu.
Dalam penelitian yang dilakukan Agus Slamet dari Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Buton, satu keluarga di Pulau Siompu diketahui memiliki mata biru selama tiga generasi.
”Berdasarkan peta silsilah dapat diuraikan bahwa gen mata biru bukan merupakan gen terpaut kromosom X dominan karena tidak hanya perempuan yang memiliki iris mata berwarna biru. Perkawinan antara laki-laki bermata biru dan wanita normal pada generasi I menghasilkan 1 anak laki-laki (normal). Hal ini berarti gen mata biru bukan gen yang bersifat terpaut kromosom X resesif, karena jika gen mata biru bersifat terpaut kromosom X resesif, maka gen tersebut tidak akan diekspresikan pada anak perempuan mana pun karena orangtuanya normal,’’ tulis Agus.
Secara umum, warna mata pada manusia bergantung pada jumlah sel melanosit pada iris mata dan bagaimana penyebarannya. Sel-sel melanosit pada iris mata ini akan menghasilkan melanin, yaitu sejenis pigmen yang dapat ditemukan pada mata yang memberi warna iris mata (Eiberg et al., 2008). Iris mata terdiri dari beberapa lapisan, antara lain lapisan depan dan lapisan stroma yang merupakan bagian penting yang menentukan penampakan warna mata.
Sementara itu, dalam jurnal Universitas Padjadjaran, Febri Wisudawan Finisia dkk menuturkan, heterochromia adalah salah satu tanda seseorang mengalami sindroma Waardenburg. Sindroma Waardenburg merupakan suatu kelainan bawaan yang jarang ditemukan, bersifat autosomal yang diturunkan secara genetik.
Dalam riset yang dilakukan Febri dkk, tiga kasus anak dengan heterochromia juga disertai dengan gangguan keterlambatan bicara. ”Penting bagi para orangtua untuk mengetahui kelainan kongenital yang terjadi pada anak, secara umum kelainan kongenital yang terjadi akan disertai dengan kelainan kongenital di organ lain, untuk itu perlu dilakukan skrining pada bayi-bayi yang mempunyai risiko tinggi,” tulisnya.
Gitalisa menambahkan, sindrom Waardenburg memang salah satu tanda utamanya adalah dengan mata biru atau heterochromia. Akan tetapi, tidak selalu heterochromia berarti seseorang juga mengidap sindrom Waardenburg. Sebab, salah satu ciri khas lain sindrom tersebut adalah penurunan pendengaran karena menurunnya pigmen organ pendengaran.
”Jadi, harus diperiksa. Heterochromia pada anak tetap suatu yang jarang. Risiko terbesar adalah predisposisi genetik jikalau ada saudara dengan sindrom Waardenburg, misalnya. Penanganannya dengan rehabilitasi fungsional,” ucapnya.
Baca juga: Uang Harian Anak Panti Sosial di Sultra Tertunda
Bagi Diana, memeriksakan kondisi kesehatan keluarga satu kali dalam setahun sudah merupakan hal yang mewah. Sebab, mereka terus bergelut dengan kebutuhan harian, yang entah seperti apa ujungnya. Gelap. Mereka hanya bisa menjalani dan berusaha.
”Rumah saja kami numpang. Listrik dan air juga dari tetangga. Untung ada Fardan dan kakak-kakaknya yang bantu. Kita usahakan saja yang bisa,” tambah Diana.