Takdir Griya Kelahiran Putra Sang Fajar, Presiden Pertama RI
Griya mungil di Jalan Pandean IV Nomor 40, Surabaya, Jawa Timur, adalah ”tetenger” kelahiran Soekarno, Proklamator yang juga Presiden Pertama RI. Rumah yang kini dimiliki Pemkot Surabaya itu akan dijadikan museum.
Griya itu bercat dinding depan krem dengan enam jendela dan pintu lebar dua daun pada bagian tengahnya. Rumah ini, sesuai plakat di atas kusen pintu bertuliskan Jalan Pandean IV Nomor 40 RT 04 RW XIII Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, kode pos 60274.
Plakat lain yang kuning dan mengkilap bertuliskan ”Rumah Kelahiran Bung Karno Jl. Pandean IV/40, rumah tempat kelahiran dan masa kanak-kanak Bung Karno (Presiden Pertama RI), Bangunan Cagar Budaya sesuai SK Wali Kota Surabaya No.188.45/321/436.1.2/2013”.
Pada kaca pintu bagian kiri masih menempel empat stiker. Dua di antaranya adalah Tanda Bukti Pencocokan dan Penelitian Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Tahun 2020. Label ini dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya.
Tidak tertulis suatu nama pada etiket itu. Stiker lainnya dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di label dari PLN tertera nama Siti Jamilah, pemilik terakhir bangunan itu.
Baca juga: Perjalanan Panjang Pemkot Surabaya Meraih Rumah Kelahiran Bung Karno
Griya itu telah diketahui dan terkonfirmasi sebagai tempat lahir Soekarno (semasa kecil dinamai Kusno). Pada bagian dalam, ada prasasti marmer yang ditandatangi pada 29 Agustus 2010 oleh Bambang Dwi Hartono, Wali Kota Surabaya saat itu.
Prasasti itu bertuliskan ”Di Sini Tempat Kelahiran Bapak Bangsa DR Ir Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat, Proklamator, Presiden Pertama RI, Pemimpin Besar Revolusi. Juga ada foto sosok yang dijuluki Putra Sang Fajar dengan tulisan Pandean IV/40 06 Juni 1901 (Kamis Pon)”.
Status kepemilikan
Bertepatan dengan peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI, Senin (17/8/2020), Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengumumkan, rumah kelahiran Soekarno telah dibeli, akan direnovasi, dan dijadikan museum untuk kepentingan pengetahuan kesejarahan bagi masyarakat luas.
Menurut Risma, mendapatkan rumah kelahiran Soekarno itu cukup berliku dan panjang. Tim pemerintah dan pemilik terakhir, yakni Siti Jamilah, terlibat tarik ulur khususnya soal harga. Di satu sisi, pemerintah menginginkan membeli griya berukuran 6x14 meter persegi itu untuk dijadikan museum sehingga bisa disinggahi siapa pun yang ingin mempelajari kesejarahan Sukarno. Di sisi lain, ahli waris berat melepaskan karena telah menempati rumah dengan dua kamar tidur itu selama 30 tahun dengan tentu banyak kenangan dan kebanggaan.
Bertahun-tahun sebelumnya, pemilik sempat mengajukan angka Rp 400 juta. Tim pemerintah sempat setuju, bahkan menambahi keluarga pemilik dengan jatah rumah susun. Namun, dalam perjalanan, tawar-menawar ini tak berlanjut. Ahli waris dan Pemkot Surabaya sulit menentukan angka yang pas sehingga dilakukan appraisal atau taksiran nilai properti oleh tim independen. Hasilnya muncul angka Rp 1 miliar.
Angka ini lantas disepakati kedua pihak. Pemerintah Kota Surabaya, kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menanggung Rp 500 juta diambil dari APBD, sedangkan sisanya Rp 500 juta lagi sumbangan kolektif dari banyak pihak yang mendukung kebijakan pembelian rumah kelahiran Soekarno itu.
Perjalanan
Dalam kesempatan terpisah, Siti Jamilah mengatakan, keluarga membeli rumah itu pada 1990. Sebelumnya, rumah itu telah berganti kepemilikan sebanyak tiga kali. Saat membeli, Siti dan keluarga tidak mengetahui bahwa bangunan mungil tersebut amat bersejarah. ”Saya tangan keempat yang membeli rumah ini,” kata Siti Jamilah.
Baca juga: Tempat Tinggal Soekarno Ditetapkan
Takdir griya itu sepertinya ditentukan, terutama sejak Institut Sukarno yang didirikan jurnalis senior Peter Apollonius Rohi pada 2007 memulai penelusuran tentang tempat kelahiran Putra Sang Fajar. Sejak 2009, rumah Siti kerap didatangi peneliti sejarah. Rumah itu kian menjadi tujuan peneliti dan pengagum Soekarno, terutama setelah peletakan prasasti pada Agustus 2010 dan penetapan sebagai bangunana cagar budaya pada 2013.
Peter sendiri meninggal di Rumah Sakit St Vincentius a Paulo (RKZ), Surabaya, Rabu (10/6/2020) pukul 06.45 WIB. Tanggal kematian jurnalis pelurus sejarah ini terpaut empat hari dengan peringatan hari lahir Soekarno, 6 Juni.
Semasa hidup, Pak Peter, begitu sebutan kami kalangan jurnalis di Surabaya karena menghormatinya, berjanji ingin meluruskan sejarah dengan menemukan tetenger Soekarno, sosok yang amat ia kagumi tersebut. Janji itu telah terpenuhi.
Semasa hidup, Peter pernah mengatakan, Soekarno diketahui lahir dan pernah tinggal di Pandean. Saat remaja, Soekarno kembali ke Peneleh dan indekos di kediaman tokoh bangsa, HOS Tjokroaminoto. Kegigihan Peter, mantan anggota Korps Komando/KKO (kini Marinir), menggali dan mengonfirmasi cerita dari warga Pandean serta riset mendalam dari berbagai literatur berujung kepastian bahwa rumah yang sempat dimiliki oleh keluarga Siti itu adalah griya kelahiran Soekarno.
Sekretaris Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek Isa Ansori mengatakan, kepastian status rumah kelahiran Soekarno menjadi aset pemerintah atau publik menegaskan posisi Surabaya sebagai Kota Pahlawan yang menghargai jasa dan peninggalan sejarah para pahlawan.
”Dengan dijadikan museum, rumah kelahiran Bung Karno akan bisa menjadi tempat belajar seluruh generasi muda dan khususnya dari Surabaya untuk menjadi perpanjangan perjuangan Soekarno,” kata Isa Ansori.
Misteri tanggal lahir
Tempat dan tanggal lahir Soekarno sempat dan mungkin akan terus jadi perdebatan. Ini dampak dari penyebutan Blitar pada buku-buku sejarah terbitan Orde Baru, era Soeharto, sebagai tempat kelahiran Soekarno. Publik mungkin masih ingat saat Presiden Joko Widodo berpidato di Blitar pada 2015 dengan menyebut kota tempat pemakaman Soekarno itu juga sebagai bumi kelahiran Sang Putra Fajar. Polemik kembali muncul ke permukaan.
Baca juga: Bung Karno sebagai Aset
Seperti tercatat dalam buku Autobiography as Told to Cindy Adams yang diterjemahkan menjadi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno menyatakan lahir di Surabaya. Buku-buku literatur tentang Soekarno yang terbit sebelum 1966 atau tahun penerbitan otobiografi itu juga memuat informasi yang sama, Soekarno lahir di Surabaya. Penulisan Blitar sebagai tempat kelahiran Soekarno merupakan pembelokan sejarah oleh Orde Baru.
Bagaimana dengan tanggal kelahiran Sukarno? Harian Kompas terbitan 5 Oktober 1975 memuat berita berjudul ”Ibu Kandung dan Tanggal Kelahiran Ir Soekarno”. Subjudul menyatakan, ”Bukan Lahir Tanggal 6 Djuni Tapi Sebelum Tanggal 23 Mei 1901”. Berita ini memuat informasi dari paman Soekarno yang bernama Sumodihardjo di Surabaya yang ketika itu berusia 85 tahun.
Catatan buku induk mahasiswa Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung) menyebut Soekarno lahir pada 6 Juni 1902 di Surabaya. Penulisan 1902 bukan 1901 dalam proses pendaftaran mahasiswa lumrah ketika itu untuk kepentingan administrasi.
Dalam buku Cindy Adams, Soekarno bercerita hari kelahirannya ditandai angka serba enam, yakni tanggal 6 dan bulan 6 dengan tahun kelahiran berpatokan saat Gunung Kelud meletus pada 1901. Catatan Badan Geologi menyebutkan letusan Gunung Kelud terjadi 22-23 Mei 1901.
Catatan Badan Geologi itu selaras dengan pernyataan Sumodihardjo dalam pemberitaan Kompas, 5 Oktober 1970. Menurut Sumodihardjo, saat Gunung Kelud meletus, dirinya berada di Probolinggo karena menempuh pendidikan di Kweekschool (Desember 1899 sampai November 1903).
Ketika giri itu meletus pada dini hari, pengelola sekolah membolehkan seluruh siswa pulang dan Sumodihardjo bergegas ke Surabaya dengan kereta api. Setiba di Surabaya pada petang hari, ia memilih menuju rumah kakaknya, Raden Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno), seorang guru di kampung Pandean. Di sini, Sumodihardjo melihat kakak iparnya, Idaju (Ida Ayu Nyoman Rai) telah melahirkan anak kedua, laki-laki, dan usia bayi itu 5-6 hari. Di rumah ini juga ada keponakan pertamanya, Soekarminah, yang ketika itu berusia 2,5 tahun.
Baca juga: Pancasila dan Sosialisme Soekarno
Rumah mungil, tempat kelahiran Soekarno telah sahih dan kembali sebagai aset pemerintah dengan harapan dapat melestarikan nilai-nilai besar Sang Proklamator. Biarlah misteri tanggal lahir terus hidup dan mengiringi perjalanan waktu sejarah Soekarno. Yang jelas, griya kecil itu bisa menjadi monumen bagi Tanah Air, penanda kelahiran Sang Putra Fajar.
Mari cintai, rawat, dan maknai sejarah bangsa dengan bijaksana demi kemajuan bersama.