Tantangan Pilkada Saat Pandemi
Tanpa protokol kesehatan yang ketat, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi dikhawatirkan memperluas penularan Covid-19. Perlu ada terobosan untuk menjaga agar kepentingan pilkada dan penanganan kesehatan bisa beriringan
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di tengah pandemi Covid-19 diyakini tidak akan mudah dilakukan. Pengalaman negara lain, penyelenggaraan pemilu di saat pandemi terbukti sulit dan penuh resiko. Jika Indonesia tidak dapat mengantisipasi sulitnya penyelenggaraan pilkada, bukan tidak mungkin agenda kontestasi politik ini menjadi pukulan bagi upaya penanganan pandemi.
Untuk mengatur penyelenggaraan pilkada 9 Desember mendatang, setidaknya sudah dua peraturan yang dikeluarkan KPU. Pada Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 mengatur protokol umum yang harus dilakukan saat proses pilkada, diantaranya terkait penggunaan alat perlindungan diri/APD (masker, sarung tangan, dan pelindung wajah) bagi petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
PKPU ini juga mengatur soal pengecekan suhu tubuh, penyediaan sarana sanitasi, larangan berkerumun, pembatasan jumlah petugas, disinfeksi ruangan dan peralatan yang digunakan, serta pelibatan tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
KPU juga mengeluarkan PKPU No 10/2020 yang mengatur tata cara pendaftaran calon kepala dan wakil kepala daerah hingga ke tahapan kampanye. Sayangnya, di tengah pandemi ini, calon kepala daerah dan tim kampanyenya masih diperbolehkan mengadakan acara tatap muka selama 71 hari masa kampanye. Kegiatan seperti pertunjukan kebudayaan, kegiatan olah raga, bazar, bahkan hingga konser musik pun diperbolehkan untuk dilakukan. Batasannya, jumlah peserta maksimal 50 orang dan memperhitungkan jaga jarak paling tidak 1 meter. Peluang masih dibukanya kerumunan massa saat kampanye ini tentu membuka peluang penularan Covid-19.
Baca juga: Pandemi Perlebar Kerawanan Pilkada
Pengalaman negara lain
Di dunia, kesehatan dan keselamatan menjadi faktor utama terkait digelar tidaknya pemilu saat pandemi. Berdasar laporan International Institute for Democracy and Election Assistance (International IDEA) bertajuk Global Overview on the impact of COVID-19 on Elections, dua dari tiga negara yang dijadwalkan menyelenggarakan pemilu pada tahun 2020 memutuskan menunda agenda politik tersebut. Namun begitu, masih ada lebih dari 30 negara yang akhirnya tetap kukuh menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi.
Salah satu negara yang relatif sukses menyelenggarakan pemilu ialah Korea Selatan. Meski diadakan saat pandemi, tingkat partisipasi pemilih di negara ini mencapai 60 persen, terbaik dalam dua dekade terakhir. Hingga dua minggu pasca pemilu, tidak ditemukan lonjakan kasus positif baru di Korea Selatan. Artinya, pelaksanaan pemilu di negara tersebut dilakukan dengan aman, sehingga tidak menimbulkan klaster penularan Covid-19 yang baru.
Hingga dua minggu pasca pemilu, tidak ditemukan lonjakan kasus positif baru di Korea Selatan. Artinya, pelaksanaan pemilu di negara tersebut dilakukan dengan aman, sehingga tidak menimbulkan klaster penularan Covid-19 yang baru.
Kesuksesan serupa juga dirasakan oleh Singapura dengan menerapkan protokol kesehatan. Calon yang berpartisipasi tidak diperbolehkan membuat acara pengumpulan massa. Bagi yang ingin berkampanye tatap muka, diperbolehkan untuk melakukan canvassing atau melakukan kunjungan ke rumah-rumah menjajakan pamflet mereka.
Sebagai ganti kampanye luring, Departemen Pemilu Singapura (ELD) memberikan kesempatan kepada kandidat tampil di media massa, termasuk di televisi dan internet. Meski sempat dikritik oleh beberapa pihak karena adanya dominasi orang-orang pemerintah dalam grup media di Singapura, seperti Singapore Press Holding (SPH), yang menaungi The Strait Times dan Business Times, kampanye via media massa dan internet cukup berhasil dengan adanya dukungan waktu tayang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan masa kampanye yang sebelumnya. Hasilnya, pemilu di negara ini dibilang berhasil. Dari segi kesehatan, tidak ada ditemukan klaster penyebaran kasus Covid-19 baru dari penyelenggaraan pemilu tersebut.
Lain halnya dengan pemilu di Amerika Serikat November mendatang. Dengan sistem pemilu AS, masyarakat harus memilih calon kandidat presiden dari partai mereka melalui pemilu pendahuluan (primaries). Maka, sejak Maret lalu, proses pemilu pendahuluan dimulai di Negara Bagian Alabama yang salah satu caranya memilih dengan menggunakan pos. Metode pemilu pos ini cukup mudah. Pemilih harus mendaftar bahwa dirinya akan menggunakan hak suaranya melalui pos. Jika sudah terdaftar, pemilih menerima pamphlet pemilu 40 hari sebelum waktu pemilihan. Setelahnya, pemilih mendapatkan surat suara 20 hari sebelum hari pemilihan. Pemilih kemudian mengisinya dan mengirimkannya melalui pos. Selain via pos, pemilih juga bisa menyerahkan surat suara di titik pemungutan suara yang telah ditentukan.
Sayangnya metode ini tidak diterapkan oleh semua negara bagian di AS dan mulus prosesnya. Salah satunya terjadi di negara bagian Georgia. Walau mengizinkan diadakannya pemungutan suara melalui pos, pemilih masih terlihat menumpuk di TPS. Georgia menjadi salah satu kasus pelaksanaan pemilu pendahuluan yang dianggap kacau. Pada hari pemilihan, ribuan pemilih harus mengantre untuk menyalurkan suara dan menunggu hingga 8 jam lamanya. Setelah ditelusuri, penyebab utamanya karena belum siapnya TPS menerapkan protokol kesehatan serta penggunaan perangkat lunak baru yang belum dikuasai petugas TPS.
Baca juga: PBNU Desak Pemerintah Tunda Pilkada Serentak 2020
Akhirnya, sebagian besar proses pemilu di AS dilakukan secara konvensional. Menurut The New York Times, penyelenggaraan pemilu secara konvensional terbukti beresiko meningkatkan penyebaran Covid-19, seperti yang terjadi di Milwaukee, Wisconsin. Kota yang menyelenggarakan pemilu pendahuluan awal April silam ini menghasilkan klaster penularan baru. Setelah melalui serangkaian tes, diketahui ada tujuh orang di TPS pada hari pemilihan di kota tersebut positif Covid-19. Ketujuhnya terdiri dari seorang petugas TPS dan enam orang pemilih.
Penyelenggaraan pemilu secara konvensional terbukti beresiko meningkatkan penyebaran Covid-19, seperti yang terjadi di Milwaukee, Wisconsin. Kota yang menyelenggarakan pemilu pendahuluan awal April silam ini menghasilkan klaster penularan baru
Tiga tantangan
Berpijak dari PKPU dan pelajaran dari negara lain dalam menyelenggarakan pemilu, dapat dipastikan pilkada mendatang menjadi salah satu agenda politik paling berat. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi pemerintah dan penyelenggara. Tantangan pertama adalah soal biaya pilkada yang membengkak. Pengadaan perlengkapan APD yang merupakan barang sekali pakai, jika dikalikan dengan jumlah petugas dan pemilih di seluruh Indonesia, tentu membutuhkan biaya besar. Selain APD, bengkaknya pembiayaan juga disumbang oleh semakin banyaknya TPS yang akan dibentuk karena satu TPS hanya diperbolehkan menampung paling banyak 500 pemilih.
Tantangan kedua soal disiplin protokol kesehatan yang masih rendah. Hingga pekan kedua September, setidaknya ada 72 calon kepala daerah ditegur Kemendagri karena membuat keramaian saat pendaftaran. Jika pendaftaran saja sudah dilanggar, tidak ada jaminan protokol kesehatan dipatuhi saat proses pilkada berikutnya.
Tantangan ketiga terkait protokol kesehatan bagi penyandang disabilitas. Menurut peraturan KPU, hanya warga disabilitas tuna netra yang mendapat fasilitas khusus, sedangkan penyandang disabilitas lainnya belum mendapatkan dukungan apapun jika dilihat dari peraturan yang berlaku. Padahal, mereka butuh bantuan ketika ingin mencoblos di bilik suara. Tanpa adanya protokol yang jelas, posisi penyandang disabilitas sangat rentan terpapar Covid-19.
Syarat digelarnya pemilu ketika kurva penularan mencapai titik stagnan atau menurun di sejumlah negara perlu dipertimbangkan.
Selain ketiga tantangan di atas, syarat digelarnya pemilu ketika kurva penularan mencapai titik stagnan atau menurun di sejumlah negara perlu dipertimbangkan. Di Korea Selatan, misalnya, pemilu dilakukan ketika rerata mingguan pertumbuhan kasus (7-days moving average) berhasil ditekan di bawah 30 kasus, jauh di bawah masa puncak penyebaran Covid-19 di negara itu selama Februari yang mencapai rerata 600 kasus.
Hal serupa terjadi di Singapura. Pemilu dilaksanakan ketika 7-days moving average berada di angka 162 kasus, jauh lebih sedikit dibandingkan saat penyebaran virus mencapai puncaknya di Singapura pada minggu terakhir April dengan rerata kasus harian per minggu sebesar lebih dari seribu kasus.
Potret sebaliknya terjadi di AS. Pemilu pendahuluan di Wiscounsin diselenggarakan ketika kurva penularan Covid-19 sedang tinggi-tingginya, dengan angka 7-days moving average di kisaran 30 ribu kasus. Hasilnya, belasan klaster positif Covid-19 baru bermunculan akibat dipaksakannya pemilihan tersebut.
Tentu ini menjadi tantangan berat bagi demokrasi di Indonesia. Perlu upaya terobosan agar kepentingan penanganan Covid-19 dan sirkulasi kekuasaan politik tetap berjalan beriringan. Opsi penundaaan pilkada berdasarkan zona penyebaran Covid-19 layak dipertimbangkan. Situasi sedang tidak normal, pilkada bisa menyesuaikan agar tidak menjadi klaster baru penularan Covid-19 yang banyak dikhawatirkan.
Baca juga: Timbang Serius Risiko Pilkada