Warga Menganggap Pilkada Bukan Prioritas Saat Pandemi
›
Warga Menganggap Pilkada Bukan...
Iklan
Warga Menganggap Pilkada Bukan Prioritas Saat Pandemi
Warga di berbagai wilayah memandang pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 tidak urgen. Prioritas pilkada tersebut dinilai tidak berpihak kepada warga yang sedang sulit.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga menganggap pelaksanaan Pilkada 2020 tidak begitu urgen. Sebab, saat ini pandemi Covid-19 belum ada tanda-tanda mereda. Mereka menginginkan penanganan pandemi diutamakan lebih dahulu.
Respons warga terhadap pilkada bermunculan setelah banyaknya pemberitaan pada September ini. Bastari (50), warga Sukasari, Tangerang, Banten, menilai keputusan untuk melangsungkan Pilkada 2020 bertentangan dengan situasi krisis pandemi Covid-19. Sebab, dia melihat sendiri banyak orang di lingkungannya kini sedang susah dan berharap bantuan. Dia pun heran, pada saat susah seperti sekarang, kenapa pemerintah tidak fokus kepada bantuan bagi warga yang rentan miskin.
”Warga sedang susah, kok sepertinya pemerintah ngotot mengadakan pemilihan. Apa enggak sebaiknya membantu warga dulu yang susah, lebih bagus lagi kalau penanganannya difokuskan ke lokasi terdampak. Warga di daerah saya banyak yang butuh bantuan sosial, kenapa enggak fokus membantu mereka yang terdampak dulu?” jelas Bastari saat dihubungi, Senin (21/9/2020).
Adef (47), warga di Kecamatan Ciomas, Bogor, Jawa Barat, cenderung mempertanyakan kebijakan pilkada yang memicu kerumunan. Sekalipun sebelumnya pemerintah telah menegaskan kerumunan dilarang, potensi adanya hal tersebut tidak bisa dihindari. ”Misalkan, antre saat pemilihan, orang juga cenderung berkerumun, kan,” ujar pekerja di sebuah kedai dekat gerbang tol Puncak, Bogor.
Pilkada yang menimbulkan kerumunan, menurut Adef, bisa jadi akan melanggar praktik pembatasan sosial. Apalagi, saat ini Pemerintah Kota Bogor menekankan warga untuk menjalankan pembatasan sosial berskala mikro. Praktik tersebut mungkin akan dilanggar oleh warga saat pilkada.
Hendi (40), warga Suka Asih, Tangerang, juga cenderung meragukan praktik pilkada saat situasi pandemi. Di wilayahnya, banyak orang yang masih percaya atau tidak percaya dengan Covid-19. Saat pemilihan, orang-orang yang tidak percaya dengan Covid-19 seperti di lingkungannya menjadi punya celah untuk tidak patuh dengan pembatasan sosial.
”Kegiatan yang saat ini dibatasi saja orang masih bepergian, apalagi kalau ada pilkada? Makin susah ngontrol pembatasan sosial. Orang juga cenderung makin tidak peduli dengan risiko kesehatan,” ungkapnya.
Tanggapan sejumlah warga di Jawa Barat dan Banten itu agaknya sejalan dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020. Riset yang dirilis pada Juni silam menyebutkan tingkat kerawanan Pilkada 2020 meningkat karena Covid-19.
Temuan tersebut mencatat ada 27 kabupaten/kota yang terindikasi rawan tinggi, 146 kabupaten/kota terindikasi rawan sedang, dan 88 kabupaten kota ada dalam titik rawan rendah. Aspek yang diukur meliputi data terkait Covid-19, dukungan pemerintah daerah, resistensi masyarakat terhadap penyelenggaraan pilkada, dan hambatan pengawasan akibat Covid-19.
Situasi kerawanan makin mencuat setelah muncul kluster penularan Covid-19 di kalangan penyelenggara pilkada. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dikabarkan positif Covid-19 pada Sabtu (19/9/2020), kemudian menyusul sejumlah anggota lain hingga Minggu kemarin. Bahkan, sebagian calon peserta terpapar Covid-19.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, memandang kelangsungan pilkada nantinya akan memperparah kluster penularan di berbagai daerah. Dalam perhitungannya, potensi penularan yang paling berisiko adalah saat masa kampanye. Jika ada 100 orang berkumpul, hampir pasti ada satu orang positif Covid-19.
Kecepatan penularan Covid-19 saat ini adalah 0,2 per kasus terinfeksi per hari. Jika seharian berkumpul, ada sedikitnya dua orang yang mungkin tertular. ”Kluster penularan saat pilkada bisa bertambah banyak,” ujarnya, Minggu.
Iwan memprediksi, selama kampanye terdapat 1.042.280 titik kumpul dengan massa 100 orang. Keberlangsungan kampanye langsung (offline) berpotensi menambah 2.084.560 kasus baru Covid-19. ”Jika penularan terus naik secara signifikan, pandemi diperkirakan baru tuntas pada 2022,” ucapnya.
Terkait hal itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa keselamatan warga jauh lebih utama daripada pelaksanaan pilkada. Dalam telekonferensi pers, Senin siang, dia meminta KPU membahas soal prioritas keselamatan warga itu dengan pemerintah serta sejumlah instansi terkait.
”Demi keselamatan bangsa, KPU hendaknya mempertimbangkan dengan saksama agar Pilkada 2020 ditunda sampai keadaan kembali memungkinkan. Kami melihat pelaksanaan yang sekarang ini sangat mengkhawatirkan. Baru pendaftaran dan sosialisasi saja sudah terjadi kluster penularan,” ungkap Mu’ti.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebelumnya juga mendesak pemerintah, DPR, dan KPU agar Pilkada 2020 ditunda. Tahapan pilkada yang melibatkan lebih dari 100 juta orang akan sulit terhindar dari kerumunan. Potensi munculnya kluster baru saat pilkada sangat besar.
”Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat. Namun, karena Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan selayaknya diorientasikan untuk menanggulangi krisis kesehatan,” tutur Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj.
Begitu pula mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meminta pilkada ditunda. Dalam halaman opini Kompas, Senin (21/9/2020), Kalla berpesan, ”Apa pun yang kita semua lakukan, yang tertinggi nilainya adalah berbuat untuk keselamatan rakyat. Bukan sebaliknya.” Warga dan berbagai pihak berharap pemerintah menunda pilkada, kemudian lebih fokus lagi menangani Covid-19.
Walau desakan warga untuk menunda pilkada menguat, pemerintah belum mengubah agenda politik tersebut. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan persiapan pilkada masih akan berlangsung karena dianggap sebagai opsi yang tepat sambil menunggu vaksin Covid-19.