Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengungkap perekrutan dan penempatan awak kapal oleh perusahaan yang tak berizin.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG. KOMPAS — Dua orang yang menjalankan PT Mandiri Tunggal Bahari, perusahaan penyalur anak buah kapal di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sudah menjalani persidangan. Perusahaan itu tak memiliki Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia atau SIP2MI.
Sebelumnya, pada Rabu (20/5/2020), Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengungkap perekrutan dan penempatan awak kapal tak berizin oleh PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB). Diketahui, perusahaan tersebut tak memiliki SIP2MI dalam merekrut dan menyalurkan anak buah kapal (ABK).
Kasus itu mengemuka setelah pada 23 November 2019, diketahui ABK bernama Taufik Ubaidilah pada kapal berbendera China, FV Fu Yuan Yu 1218, meninggal karena kecelakaan kerja. Kemudian, jenazahnya dilarung ke lautan lepas. Adapun Taufik diberangkatkan oleh PT MTB.
Pada 29 Oktober 2019, PT MTB juga memberangkatkan Herdianto dan sejumlah ABK untuk kapal berbendera China, Lu Qing Yuan Yu 623. Pada 16 Januari 2020, Herdianto meninggal karena sakit dan jasadnya juga dilarung ke lautan.
Saat itu, SU (45) sebagai Komisaris dan MH (54) sebagai Direktur PT MTB menjadi tersangka. Keduanya ialah warga Kabupaten Tegal. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 85 dan 86 Undang- Undang 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Pasal 4 Undang-Undang 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kepala Unit 2 Tindak Pidana Perdagangan Orang Subdirektorat 4 Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng Komisaris Purwanto, Jumat (18/9/2020), menuturkan, kasus itu sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Kabupaten Tegal di Slawi.
”(Pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan) tahap pertama 2 Juni 2020 dan P21 (lengkap) pada 14 Juli 2020. Sudah disidangkan. Tinggal beberapa sidang lagi, lalu vonis,” kata Purwanto.
Menurut data pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), PN Kabupaten Tegal, terdakwa Sustriyono dan Mohamad Hoji, pada berkas terpisah, sama-sama telah menjalani sidang tuntutan pada Rabu (16/9). Pembacaan putusan dijadwalkan pada Senin (28/9).
Keduanya dinilai telah menempatkan pekerja migran Indonesia tanpa SIP2MI, sebagaimana dalam Pasal 86 huruf c UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Mereka dituntut dua tahun penjara dan denda Rp 3 miliar subsider dua bulan kurungan.
Setelah viral
Purwanto menuturkan, selama ini, dalam beberapa tahun terakhir, nyaris tak ada pihak yang mengadukan terkait ABK ke Polda Jateng. Namun, setelah kasus terkait PT MTB viral dan dua orang ditetapkan tersangka, ada sejumlah pihak yang berkonsultasi untuk pengaduan terkait ABK.
Adapun penindakan kasus-kasus serupa terkendala, antara lain, karena belum ada kejelasan regulasi, yakni antara Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) oleh Kementerian Perhubungan; dan SIP2MI serta Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) seperti tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2017.
”Sebelumnya, hanya SIUPPAK dari Ditjen Perhubungan Laut. Kalau hanya SIUPPAK, jika perusahaan tak memiliki itu, bentuk pelanggarannya hanya administrasi,” kata Purwanto. Di sisi lain, peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 18 Tahun 2017 juga belum ada.
Ia menambahkan, kepolisian pun hendak tegas karena banyak yang dirugikan saat perusahaan penyalur memberangkatkan ABK tanpa izin. Namun, lantaran masih belum jelas terkait hal tersebut, pihaknya lebih bersifat menunggu.
”Kendati demikian, (pasal) yang kami kenakan pada PT MTB cukup kuat sehingga (berkas) diterima jaksa. Namun, yang tertuang dalam UU itu baru pokok, sedangkan peraturan detailnya belum diatur,” ujar Purwanto.
Adapun eskploitasi ABK di kapal asing, lanjut Purwanto, juga kerap terjadi karena faktor ekonomi yang mendorong orang segera bekerja. Namun, pelatihan yang kurang memadai serta kendala bahasa membuat kekerasan di kapal berpotensi terjadi.
”Masalah penganiayaan di kapal disebabkan banyak faktor. Salah satunya karena kurangnya keterampilan di kapal yang membuat mandor marah, kemudian (ABK) dipukul. Apa yang diharapkan berbeda dengan kenyataannya saat di kapal,” ujarnya.
Ia pun mengimbau masyarakat untuk tak mudah tergiur dengan tawaran-tawaran tanpa menyeleksi atau mempertimbangkan pekerjaan apa yang akan dilakukan di kapal. Dengan demikian, diharapkan, kasus-kasus eksploitasi lain dapat dicegah.