Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, sejumlah pemuda pun dengan cepat terpikat bujukan agen nakal yang menjanjikan mereka bisa bekerja tanpa syarat ketat. Namun, tanpa sadar, mereka telah masuk ke dalam jerat.
Oleh
Nikson Sinaga/Kristi Dwi Utami
·4 menit baca
Iming-iming yang diberikan biasanya proses administrasi yang mudah, cepat, dan tanpa syarat berat. Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, sejumlah pemuda pun dengan cepat terpikat. Namun, tanpa sadar, mereka telah masuk ke dalam jerat.
Awal 2018, Samfarid Fauzi (34), warga Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, melihat iklan lowongan pekerjaan sebagai anak buah kapal (ABK) di sebuah grup Facebook. Dalam iklan tersebut, perusahaan penyalur ABK itu hanya mencantumkan dua persyaratan, yaitu kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
Tak ada syarat lain. Farid, panggilan Samfarid Fauzi, yang tak memiliki latar belakang di dunia perikanan, juga tidak diminta menyerahkan sertifikat kompetensi atau keterampilan berbahasa. Sebelum diberangkatkan ke China, Farid hanya sekali diberi pelatihan, yaitu pelatihan menjahit jaring.
Farid yang kala itu sedang putus asa setelah kehilangan pekerjaan, tergiur mendaftar. ”Dari awal melihat iklan di Facebook sampai dia berangkat ke China itu waktunya sangat singkat, kurang dari tiga bulan. Belakangan, kami menyadari, ternyata yang cepat dan mudah itu belum tentu baik. Ini contohnya, amburadul begini,” kata Inggrid Frederica (32), istri Farid.
Mengutip cerita Farid, Inggrid mengatakan, suaminya sering diperlakukan tidak manusiawi. Sebut saja, harus bekerja selama 20 jam dalam sehari, diberi makan makanan yang tidak layak, seperti makanan kedaluwarsa, dan telat digaji hingga delapan bulan.
”Lebih parahnya lagi, saat ini suami saya bekerja melebihi kontrak kerja yang disepakati. Kontrak kerja suami saya berakhir April 2020. Tetapi, hingga saat ini, dia belum dipulangkan dan malah disuruh tetap bekerja,” tutur Inggrid.
Menurut keterangan ABK lain kepada Inggrid, kapal tempat Farid bekerja tidak bisa bersandar karena alasan pandemi Covid-19. Farid dipindahkan ke kapal lain lalu dibawa kembali ke tengah laut.
Penyiksaan hingga kematian pekerja migran Indonesia di kapal-kapal ikan asing menyeret nama Tegal. Sebab, perusahaan-perusahaan yang disebut memberangkatkan para pekerja tersebut beralamat di Tegal.
”Sebelum ada kasus itu, kami tak tahu ada perusahaan itu di Kota Tegal. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak pernah mengurus perizinan ataupun melaporkan kegiatan penyaluran tenaga kerja yang mereka lakukan,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal R Heru Setyawan.
Salah satu perusahaan perekrutan dari Tegal yang mendadak tersohor adalah PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB). Komisarisnya, Sutrisno, dan direkturnya, Muhammad Hoji, kini terdakwa di Pengadilan Negeri Tegal. Jaksa menjerat mereka dengan Pasal 85 dan 86 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Pasal 4 UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ancamannya, penjara hingga 15 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar.
Korban PT MTB antara lain Reynalfi Sianturi (22) dari Pematang Siantar. Kisahnya mirip Farid. Dijanjikan bekerja di pabrik tekstil di Korea Selatan dengan gaji Rp 25 juta per bulan, Reynalfi justru dijadikan awak kapal ikan China, Lu Qing Yuan Yu 901. Ia harus bekerja 20 jam sehari, gajinya selama tujuh bulan tidak dibayarkan, serta telepon selulernya disita dan dilarang berkomunikasi dengan sesama pekerja migran Indonesia.
Karena tak tahan lagi, bersama Andri Juniansyah (30), ABK asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ia memilih melarikan diri. Ketika mereka memperkirakan telah dekat dengan perairan Indonesia, Reynalfi dan Andri pun melompat ke laut, 7 Juni 2020.
Setelah melompat, mereka terombang-ambing tujuh jam di laut hingga akhirnya ditemukan seorang nelayan Indonesia. Mereka pun dibawa ke darat dan diantarkan ke Kepolisian Resor Karimun, Kepulauan Riau.
Belajar dari sejumlah peristiwa seperti yang dialami Farid dan Reynalfi, sejumlah pelaut dan pemuda mulai mencermati modus agen nakal.
”Berdasarkan pengalaman saya, kalau syaratnya terlalu mudah, prosesnya singkat, apalagi sampai minta uang jaminan di awal, itu sudah pasti abal-abal. Perusahaan yang baik biasanya mempertimbangkan latar belakang pendidikan, pengalaman kerja di bidang perikanan, meminta sertifikat kompetensi, dan menyeleksi secara ketat ABK yang akan disalurkan,” kata Ahmad Farhan (23), ABK asal Kecamatan Banjaran, Tegal, yang bekerja di kapal berbendera Jepang.