Kebakaran Hutan dan Gagal Panen di NTT, Siapa Peduli?
›
Kebakaran Hutan dan Gagal...
Iklan
Kebakaran Hutan dan Gagal Panen di NTT, Siapa Peduli?
Pembangunan tujuh unit bendungan di NTT dengan nilai masing-masing mendekati Rp 1 triliun belum mendatangkan manfaat bagi petani. Tidak ada air hujan yang mengisi bendungan. Pemda tak juga menghijaukan sekitar bendungan.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
Umbu Manurara, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pulau Sumba, NTT, terdiam. Ia kecewa menyaksikan asap mengepul berulang di dalam kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur. Asap juga mengepul di cagar alam Tiimau, Amfoang, Pulau Timor. Selama Juni-13 September 2020, BMKG Kupang mendata 1.343 titik panas, sedangkan 18 kabupaten kekeringan ekstrem. Ribuan sumber air mengering.
Umbu Manurara menghubungi Kompas dari Waibakul, Sumba Tengah, Senin (14/9/2020), yang menyebut kebakaran sejak lima tahun terakhir di Pulau Sumba memprihatinkan. Hampir setiap hari ada titik api.
”Informasi BMKG Kupang mencatat, Januari-Agustus 2019 jumlah titik panas di Indonesia 135.749, dan NTT menyumbang 71.712 titik panas. Tahun ini, Juni-13 September, di NTT sudah terjadi 1.343 titik panas. Bulan Juli terdapat 855 titik panas, terbanyak di Sumba Timur dengan jumlah 261 titik panas, dan sebaran titik panas juga terjadi di dalam TN Laywangge Wanggameti,” kata Manurara.
Selama Agustus ditemukan 370 titik panas, sebagian besar di Kabupaten Kupang, mayoritas tersebar di dalam kawasan cagar alam Tiimau-Amfoang. Sementara pada 1-13 September terdapat 118 titik panas, mayoritas di Kabupaten Belu, Kupang, dan Lembata. Jumlah titik panas ini bakal terus bertambah.
Membakar lahan dan hutan di NTT menjadi bagian dari peristiwa tahunan. Alasan pembakaran lahan ialah demi mendapatkan pakan ternak dan membuka lahan pertanian karena sistem perlandangan berpindah. Ini dua alasan klasik yang dianggap bukan masalah oleh pemda dan masyarakat.
Pemda tidak mencegah karena tidak menyediakan pakan ternak dalam jumlah besar bagi ribuan ternak, terutama sapi, kerbau, dan kuda. Pemprov telah menahbiskan NTT sebagai provinsi ternak, dengan target produksi tahun 2024 sebanyak 2 juta ekor, yang kini telah tercapai 1,2 juta ekor. Dampak lingkungan sepi dari mitigasi.
”Saya kecewa, hutan sebagai jantung kehidupan manusia terabaikan. Kebakaran terjadi di mana-mana, belum ada aksi konkret mencegah atau memulihkan lingkungan yang rusak. Bencana kemanusiaan saat ini bersumber dari perusakan lingkungan,” kata Manurara.
Soal program kerja selalu ada, tetapi tidak menyentuh lingkungan yang harus dilindungi keberlanjutannya, dan tak bersahabat dengan manusia. ”Di mana-mana petani, peternak, dan ibu rumah tangga mengeluh soal kekeringan. Di Sumba, belalang merusak ribuan hektar tanaman petani, dan gagal panen hampir di seantero wilayah,” katanya.
Ketua Kelompok Tani Noetnana Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang, Daniel Aluman, menyebutkan, saat ini sumber mata air di Fatukoa telah kering. Mata air ini sejak ratusan tahun menjadi andalan petani menyuplai sayur, buah, dan bumbu dapur bagi sejumlah pasar tradisional di Kota Kupang. Lahan 50 hektar di wilayah itu pun tidak dapat diolah.
Kekeringan sumber air Fatukoa diperparah penebangan pohon-pohon di wilayah oleh warga Kota Kupang. ”Setiap hari bunyi desing mesin gergaji kayu di hutan-hutan Fatukoa. Tidak ada yang melarang. Kayu-kayu itu dijual di Kupang sebagai bahan bangunan. Ini sudah puluhan tahun, sementara upaya penghijauan tidak ada,” kata Aluman.
Direktur Yayasan Mitra Tani Mandiri Timor Tengah Utara (TTU) Vinsen Nurak mengatakan, kekeringan menimpa petani setempat lebih awal, yakni Mei 2020 sampai hari ini. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, kekeringan datang pada Agustus-September. Meski demikian, kasus kebakaran hutan pun sulit dibendung. Alasan utama, mencari pakan ternak dan pembukaan lahan baru.
Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Nusa Cendana, Kupang, Mikhael Riwu Kaho, mengatakan, Pemprov dan pemkab/pemkot di NTT mengabaikan lingkungan. Sebelumnya, ada program penghijauan lingkungan pada musim hujan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Proyek itu tidak sukses 100 persen, tetapi 20-40 persen pohon yang ditanam bisa tumbuh.
”Lebih dari itu, kegiatan penghijauan memberi efek jera masyarakat, sekaligus membangun rasa peduli dan berhenti membakar. Membakar sama dengan membunuh sumber hidup manusia,” katanya.
Ia menilai, pemda mengandalkan tujuh bendungan yang sudah dan sedang dibangun pemerintah sebagai penyuplai air. Namun, bendungan itu belum memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Curah hujan sangat terbatas, tidak mampu mengisi kolam bendungan, yang memiliki debit 700.000 meter kubik hingga 2,5 juta meter kubik air itu.
Idealnya, di kawasan sekitar bendungan yang dibangun pemerintahan Joko Widodo didukung pemda dengan penanaman berbagai jenis pohon. Jika pohon-pohon itu tumbuh, bisa menambah usia cadangan air bendungan. Faktanya, belum ada sinergi antarsektor.
Riwu Kaho yang juga putra Sumba itu mengatakan, dampak dari kerusakan hutan begitu luas. Selain kekeringan sumber-sumber mata air, juga muncul hama belalang seperti di pulau Sumba. Sekitar 30.000 hektar lahan tanaman dirusak belalang di Sumba Timur.
Stasiun Klimatologi Kupang mencatat, 18 kabupaten di NTT mengalami kekeringan ekstrem, artinya daerah itu mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari ke depan. Meski ada 18 kabupaten, aksi membeli air tangki hampir terjadi di semua wilayah akibat kekeringan itu. Kabupaten-kabupaten ini pun telah mengajukan sejumlah bantuan penanggulangan kekeringan dari pemerintah pusat. Harga air tangki Rp 700.000 per 5.000 liter.
Riwu Kaho yang juga Ketua Dewan Daerah Aliran Sungai (DAS) NTT itu menyebut, memasuki puncak kemarau pada September ini, sekitar 2.500 sungai di NTT mengalami kekeringan. Sekitar 300 debit sungai dan anak sungai menurun dengan tingkatan bervariasi, termasuk empat DAS besar di NTT, yakni Kambaniru, Aesesa, Noelmina, dan DAS Benanain.
Dampaknya sangat nyata pada masyarakat. Frengki Ndolu (54), petani di Oesao, Kabupaten Kupang, mengatakan, 150 hektar lahan milik 50 petani di Oesao gagal panen. Kekeringan melanda lahan sawah tadah hujan tersebut sejak Februari 2020.
”Rencana awal, bendungan Raknamo menyuplai air untuk sawah Oesao juga, tapi ternyata sampai hari ini belum terealisasi. Warga Raknamo saja belum mendapatkan suplai air bersih dari bendungan itu secara keseluruhan,” katanya.
Pembangunan tujuh unit bendungan di NTT dengan nilai masing-masing mendekati Rp 1 triliun ini belum mendatangkan manfaat bagi petani. Tidak ada air hujan yang mengisi kolam bendungan. Jika anggaran itu dimanfaatkan untuk membangun sumur bor bagi pengairan dan kebutuhan air bersih, masyarakat sudah terbantu. Kini, petani mengalami kekeringan luar biasa.
Ia menyebutkan, kekeringan menerus ini semestinya mengungkit kepedulian terhadap lingkungan jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya. Tahun 1970-1990 saja ada gerakan menanam di mana-mana meskipun tidak sepenuhnya berhasil. Sekarang, aksi menanam ditinggalkan.
”Mau dibawa ke mana lingkungan NTT saat ini jika perilaku bakar dan tebang terus dipelihara. Siapa peduli?” tanya Ndolu. Pertanyaan dan kegelisahan yang juga dirasakan Manurara.