Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Keputusan Melanjutkan Pilkada
›
Koalisi Masyarakat Sipil Kecam...
Iklan
Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Keputusan Melanjutkan Pilkada
Keputusan melanjutkan pilkada dinilai melukai hati masyarakat karena bertentangan dengan suara publik. Keputusan melanjutkan pilkada juga berarti mempertaruhkan nyawa rakyat di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil mengecam keras keputusan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu yang memutuskan melanjutkan Pilkada 2020.
Keputusan melanjutkan pilkada dinilai melukai hati masyarakat karena bertentangan dengan suara publik. Keputusan melanjutkan pilkada juga berarti mempertaruhkan nyawa rakyat di tengah pandemi Covid-19 yang kian membahayakan.
Pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil itu disampaikan pada Selasa (22/9/2020). Koalisi yang tergabung, di antaranya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Netgrit, Kemitraan untuk Tata Pembaharuan Pemerintahan di Indonesia, Kawal Covid-19, Kopel Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Lapor Covid-19, Migrant Care, Perkumpulan Warga Muda, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, serta Transparansi Internasional Indonesia.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam rapat antara pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Senin (21/9/2020), diputuskan, Pilkada 2020 akan tetap digelar. Mereka menilai situasi yang ada saat ini masih terkendali sehingga pilkada dapat tetap dilanjutkan tahun ini.
”Mengecam keras keputusan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu yang terus melanjutkan Pilkada 2020. Keputusan ini melukai hati masyarakat,” ujar Wahidah Suaib dari Kemitraan saat membacakan pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil tersebut.
”DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu seolah-olah menutup mata dan telinga terhadap suara nyata masyarakat untuk menunda Pilkada 2020. Bahkan, desakan dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga sama sekali tidak diindahkan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu,” tambahnya.
Sebelumnya, NU dan Muhammadiyah telah menyatakan desakan menunda Pilkada 2020. Keselamatan rakyat menurut kedua organisasi keagamaan tersebut harus diutamakan daripada pilkada. Terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang kian membahayakan.
Selain mengabaikan suara rakyat, koalisi masyarakat sipil menilai, keputusan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu telah mempertaruhkan nyawa banyak orang. Ini terutama karena kondisi pandemi yang semakin mengkhawatirkan.
DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu juga dianggap tidak memahami masalah yang terjadi. Hal ini karena mereka dengan mudahnya menyimpulkan, perlu perbaikan peraturan KPU untuk menyiapkan manajemen teknis dan tahapan Pilkada 2020. Padahal, persoalan regulasi di dalam melaksanakan pilkada di tengah pandemi itu ada di Undang-Undang (UU) Pilkada.
”UU Pilkada yang berlaku saat ini sama sekali tidak mengatur detail teknis dan manajemen pelaksanaan pilkada yang harus sesuai dengan keperluan dalam keadaan pandemi. Artinya, tidak bisa perbaikan regulasi hanya dilakukan pada peraturan KPU, melainkan harus pada UU Pilkada,” tambahnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, koalisi mendesak agar DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu mengubah pendiriannya dan menunda Pilkada 2020 hingga kondisi pandemi Covid-19 terkendali. Selain itu, penundaan pilkada perlu dilakukan sampai pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu tuntas menyiapkan regulasi untuk menggelar pilkada di tengah pandemi.
”Kami mendesak agar Pilkada 2020 ditunda sampai situasi pandemi lebih terkendali, dengan pemetaan yang jauh lebih detail dengan koordinasi dengan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang bertanggung jawab atas penanganan Covid-19. Penundaan pilkada perlu dilakukan hingga pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu selesai menyiapkan regulasi yang lebih komprehensif dan cermat untuk melaksanakan pilkada di tengah kondisi pandemi,” ujar Wahidah.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pada Senin (21/9/2020) ada penambahan 4.176 kasus baru Covid-19 jika dibandingkan dengan sehari sebelumnya. Ini merupakan penambahan kasus harian tertinggi di Indonesia.
Dengan tambahan kasus harian itu, hingga 21 September total ada 248.852 kasus Covid-19 di Tanah Air. Sebanyak 180.797 pasien dinyatakan sembuh dan 9.677 pasien meninggal.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari yang hadir saat pembacaan pernyataan sikap itu mengatakan, para pengambil kebijakan seharusnya mengutamakan keselamatan manusia dalam setiap kebijakan yang diambil.
Namun, sayangnya, hal itu tak terlihat dalam pengambilan keputusan soal pilkada. Padahal, jumlah yang terpapar Covid-19 kian banyak, bahkan tak sedikit di antaranya petugas penyelenggara pemilu dan peserta pilkada.
”Jadi, tak ada alasan rasional yang bisa dipertahankan untuk tetap melanjutkan pilkada. Bagaimana menjelaskan logikanya kalau penyelenggara pemilu banyak yang terpapar, tetapi pilkada terus dilanjutkan, bahkan pengawas pemilu juga banyak yang terpapar,” ujarnya.
Hal itu tidak hanya berisiko berdampak pada kelancaran penyelenggaraan pilkada, tetapi juga ia khawatir akan berdampak pada kualitas pilkada. Padahal, di setiap gelaran pilkada, seharusnya kualitas pilkada bisa ditingkatkan. Gelaran pilkada seharusnya tidak sekadar formalitas, agenda rutin setiap lima tahun yang wajib digelar.