Sejumlah anggota DPR mempertanyakan urgensi RUU Ketahanan Keluarga yang dinilai menyebabkan negara rentan masuk terlalu jauh ke ranah privat warga negara. Padahal, negara seharusnya hanya mengatur di ranah publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dikhawatirkan memicu masuknya negara terlalu jauh dalam urusan privat keluarga. Sejumlah anggota fraksi dari Badan Legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan kepentingan RUU Ketahanan Keluarga ini diajukan, mengingat sudah banyak ketentuan dan peraturan terkait yang mengatur kesejahteraan dan perlindungan kepada masing-masing anggota keluarga sebagai warga negara maupun satu keluarga yang utuh.
Pembahasan mengenai RUU Ketahanan Keluarga itu dilakukan kembali dalam rapat harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan dengan Baleg DPR, Senin (21/9/2020), di Jakarta. RUU diusulkan oleh empat anggota DPR, yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani (Partai Keadilan Sejahtera), Ali Taher (Partai Amanat Nasional), dan Sodik Mujahid (Gerindra).
Sodik mengatakan, selama ini kehadiran negara dalam membina keluarga sebagai lembaga belum mendalam dan terintegrasi. Lembaga lain, seperti institusi pendidikan, puskesmas, dan pesantren, disebutnya telah diatur oleh negara.
Ledia menuturkan, unsur-unsur pengaturan terhadap pribadi-pribadi yang sifatnya privat telah dihapuskan dari draf RUU Ketahanan Keluarga yang baru. Draf yang baru fokus kepada keluarga sebagai lembaga yang perlu dilindungi oleh negara.
”RUU ini merupakan aturan khusus (lex specialis) dari UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Ada hal-hal yang diatur. Pertama, berkaitan dengan pembangunan ketahanan keluarga. Pendekatan pembangunan pada keluarga harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan keluarga, tidak bisa disamaratakan. Pembangunan ketahanan keluarga ini sifatnya hulu, bukan hilir, atau sebagai upaya pencegahan,” kata Ledia.
Unsur-unsur pengaturan terhadap pribadi-pribadi yang sifatnya privat telah dihapuskan dari draf RUU Ketahanan Keluarga yang baru.
Beberapa hal yang sebelumnya diatur di dalam draf pertama RUU Ketahanan Keluarga tidak diatur lagi. Aturan yang dihapuskan, antara lain, hak dan kewajiban individual dalam keluarga, kewajiban suami dan istri dalam keluarga, tata-cara pengasuhan, larangan aborsi, dan sanksi pidana maupun perdata.
Ali mengatakan, sejumlah persoalan yang terjadi di masyarakat, seperti pengangguran, kemiskinan, kriminal, kebebasan seks, dan narkoba, adalah beberapa persoalan yang berhulu dari kerentanan keluarga. Oleh karena itu, untuk mencegah hal tersebut, negara perlu hadir memberikan perlindungan.
Di dalam draf yang baru ada ketentuan tentang konsultan keluarga (Pasal 43). Disebutkan, konsultasi ketahanan keluarga merupakan suatu bentuk pertukaran pikiran, bimbingan, dan bantuan untuk mendapatkan nasihat dan saran yang sebaik-baiknya dalam upaya memecahkan masalah keluarga, mengatasi konflik, dan stres yang dihadapi dalam kehidupan berkeluarga, serta menjaga harmonisasi interaksi keluarga.
Selain itu, di dalam Pasal 37 diatur pula mengenai nilai-nilai keluarga yang merupakan inti dari kurikulum pendidikan keluarga.
RUU itu dinilai terlalu jauh mencampuri ranah kehidupan privat warga negara.
Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin, mengatakan, RUU itu dinilai terlalu jauh mencampuri ranah kehidupan privat warga negara. Sebab, RUU dinilai membuat penyeragaman tentang bagaimana seharusnya keluarga dikelola.
”Mungkin saya bisa katakan RUU ini punya niatan untuk melindungi keluarga. Tetapi, saya melihatnya lebih banyak pengekangan di sana sini. Kalau kita lihat pasal per pasal, ada ketidakkonsistenan dalam RUU ini. Katanya negara disuruh untuk membuat keluarga sebagai unit terkecil dari negara itu menjadi kuat. Dia harus memenuhi sandang, pangan, dan papan. Ini sangat sempurna sekali. Tapi, apa ya bisa sesempurna ini. Apa ya semua orang itu bisa memiliki dan mencukupi sandang, pangan, dan papan, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Kan, beda-beda,” katanya.
Nurul juga mempertanyakan seberapa mendesak atau penting RUU Ketahanan Keluarga itu menjadi regulasi tersendiri. Sebab, masih ada aturan atau ketentuan lain yang mengatur perlindungan warga dan anggota keluarga, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Perlindungan Anak.
”Contohnya, menyusui itu wajib dua tahun. Sementara kalau kita lihat banyak perempuan yang menyusui anaknya hanya 1,5 tahun, dan ada pula yang kurang dari itu. Tapi apa yang begini ini diurusi negara. Sebab, kita sebagai perempuan tidak diperhatikan. Saat menjadi tulang punggung keluarga tidak direken (diperhatikan), masih dihitungnya soal susu ini,” ujarnya.
Masih ada aturan atau ketentuan lain yang mengatur perlindungan warga dan anggota keluarga, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Perlindungan Anak.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Diah Pitaloka, juga mempertanyakan apakah aturan dan ketentuan yang ada saat ini tidak memadai sehingga perlu diatur di dalam RUU Ketahanan Keluarga. Diah juga mempersoalkan pendekatan penanaman nilai-nilai kepada keluarga, bahkan hingga taraf psikomotorik mereka.
”Pendekatan apa yang akan dilakukan. Apakah ada proses indoktrinasi dalam UU. Pendekatannya bisa sangat dalam, sebab tidak hanya psikosial, tetapi juga psikologis, dan psikomotorik, yang itu pendekatannya sangat pribadi dalam intervensi nilai,” ujarnya.
Batasan negara
Sementara itu, anggota Baleg dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengingatkan adanya batasan negara untuk masuk ke ranah privat melalui instrumen hukum. Batas intervensi negara itu pun baru bisa dilalui jika terdapat persoalan kekerasan di dalam keluarga, atau persoalan keselamatan publik yang terjadi sebagai akibat dari kondisi di dalam keluarga tersebut.
”Kalau dibuat umum, seolah-olah negara dapat mengatur semuanya, itu tentu menjadi problem. Harus dipisahkan mana yang merupakan ranah privat yang harus dihargai oleh negara, dan mana yang merupakan ranah publik. Negara hanya bisa mengatur yang berkaitan dengan ranah publik. Dalam perbaikan ke depan, apa-apa saja yang menjadi persoalan publik diatur, dan persoalan privat dikeluarkan dari RUU,” katanya.
Dipertanyakan kenapa yang diusulkan ialah RUU Ketahanan Negara, dan bukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pengusulan RUU Ketahanan Keluarga ini juga dipersoalkan oleh Hendrik Lewerissa, anggota Baleg dari Fraksi Gerindra. Menurut dia, konstituennya mempertanyakan kenapa yang diusulkan ialah RUU Ketahanan Negara, dan bukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengingatkan, pembahasan RUU di tengah pandemi Covid-19 harus tetap mempertimbangkan masukan dari publik. Termasuk dalam pembahasan RUU Ketahanan Keluarga, yang rentan menimbulkan kontroversi karena dinilai terlalu jauh mencampuri urusan privat warga negara.
”RUU Ketahanan Keluarga mau mengatur apa juga tidak jelas. Lebih penting RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) karena soal-soal kekerasan itu, kan, masalah umum, dan jelas perlu UU untuk mengaturnya, daripada ketahanan keluarga. Misalnya, soal susu, kebutuhan keluarga, dan sebagainya, yang tidak jelas bagaimana mau dieksekusi di lapangan,” ujarnya.
Dalam beberapa kali penyusunan UU, DPR dinilai kurang melibatkan partisipasi publik sehingga seolah-olah cenderung memanfaatkan pandemi. Di tengah-tengah kondisi ini, tidak banyak suara kritis yang leluasa bergerak. ”Janganlah momentum pandemi ini dimanfaatkan untuk meloloskan UU yang pembahasannya minim pelibatan masyarakat,” ujarnya.