Pertimbangkan Prinsip Keberlanjutan Tanpa Pinggirkan Masyarakat Kecil
›
Pertimbangkan Prinsip...
Iklan
Pertimbangkan Prinsip Keberlanjutan Tanpa Pinggirkan Masyarakat Kecil
RUU Cipta Kerja sebenarnya bisa jadi momen penataan berbagai regulasi yang tumpang tindih untuk penciptaan lapangan kerja. Namun, selain memperhatikan aspek keberlanjutan, jangan sampai RUU itu mengabaikan rakyat kecil.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dapat menjadi momentum penataan berbagai regulasi yang tumpang tindih demi penciptaan lapangan kerja. Namun, RUU tersebut diharapkan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan serta tidak memarjinalkan masyarakat kecil, khususnya petani dan nelayan.
Hal itu terungkap dalam webinar bertajuk ”RUU Cipta Kerja: Momentum Agregasi Daya Saing Daerah” yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Kinara Indonesia, Selasa (22/9/2020), di Jakarta. Webinar itu dilaksanakan dalam rangka peluncuran Daya Saing Daerah Berkelanjutan Award.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endi Jaweng mengatakan, RUU Cipta Kerja dapat mengintegrasikan berbagai peraturan, khususnya terkait investasi, yang selama ini tersebar. Demikian pula RUU itu merupakan sarana untuk menciptakan lapangan kerja secara lebih tersistematis.
”Sudah tidak masanya lagi kalau bicara investasi hanya bicara bagaimana ekonomi tumbuh. Ada hal lain yang harus dijadikan pertimbangan penting, yakni lingkungan lestari, sosial yang inklusif, dan tata kelola, selain ekonomi yang tangguh,” tutur Endi.
Sudah tidak masanya lagi kalau bicara investasi hanya bicara bagaimana ekonomi tumbuh. Ada hal lain yang harus dijadikan pertimbangan penting, yakni lingkungan lestari, sosial yang inklusif, dan tata kelola, selain ekonomi yang tangguh.
Selain memperhatikan aspek keberlanjutan, menurut Endi, RUU Cipta Kerja diharapkan tidak menarik kewenangan terkait beberapa perizinan dari pemerintah daerah ke pusat. Yang diperlukan adalah kerangka kebijakan yang solid agar pemda tidak berjalan sendiri-sendiri.
Peneliti KPPOD, Armand Suparman, menambahkan, agar RUU Cipta Kerja menjamin aspek keberlanjutan, penyederhanaan perizinan mesti akuntabel. RUU Cipta kerja juga diharapkan tetap memberikan keseimbangan kebijakan antara pemda dan pemerintah pusat.
Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lestari Indah mengatakan, RUU Cipta Kerja membawa reformasi untuk kemudahan berusaha yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan. Hal itu dilakukan dengan penyederhanaan perizinan dan melindungi sekaligus memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Menurut Lestari, karena sumber daya pemerintah terbatas, proses perizinan untuk suatu usaha menjadi lama dan memunculkan ekses negatif. Dengan RUU Cipta Kerja, pemerintah akan fokus kepada usaha yang berisiko tinggi, seperti terkait pengelolaan sumber daya alam, tanpa meninggalkan usaha yang berisiko rendah dan menengah.
”Daerah pun tetap di posisinya dalam pelaksanaan perizinan dan pengawasan kegiatan usaha,” katanya.
Perilaku koruptif
Akademisi dan pakar etika pembangunan berkelanjutan Sonny Keraf berpandangan, masalah keberlanjutan dan daya saing bersumber pada perilaku koruptif yang tidak hanya bersifat kultural, tetapi terlebih struktural. Perilaku koruptif itu menyebabkan aspek lingkungan hidup diabaikan serta membuat proses perizinan menjadi berlapis dan tidak pasti.
Di satu sisi, era otonomi daerah telah membuat sebagian besar kepala daerah mengeluarkan perizinan demi mengejar pendapatan asli daerah. Meski demikian, di sisi lain, otonomi daerah tetap memiliki peluang untuk membuat lingkungan hidup lebih baik.
Menurut Widya Hasian dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, RUU Cipta Kerja masih menimbulkan pertanyaan. Sebab, meski dalam 10 tahun terakhir ekonomi tumbuh dan angka kemiskinan menurun, rasio gini justru naik.
Terhadap RUU Cipta Kerja, Widya mempertanyakan apakah RUU tersebut akan benar-benar menyejahterakan rakyat atau hanya segelintir pihak, mempertajam kesenjangan, serta apakah hanya membuat masyarakat yang selama ini termarjinalkan tetap hanya sebagai penonton pembangunan, yakni petani dan nelayan kecil.
Dalam RUU Cipta Kerja ini, posisi petani kembali dijadikan obyek, bukan subyek pembangunan, seharusnya sebaliknya. Padahal, efisiensi pertumbuhan ekonomi komoditas belum tentu menumbuhkan ekonomi berkelanjutan.
”Dalam RUU Cipta Kerja ini, posisi petani kembali dijadikan obyek, bukan subyek pembangunan, seharusnya sebaliknya. Padahal, efisiensi pertumbuhan ekonomi komoditas belum tentu menumbuhkan ekonomi berkelanjutan,” kata Widya.
Bupati Temanggung Muhammad Al Khadziq mengatakan, pemda berharap RUU Cipta Kerja nantinya dapat mendorong daerah untuk membangun daya saing sesuai potensi masing-masing. Untuk itu, prinsip keadilan dan keberlanjutan harus menjadi prioritas utama sehingga ketika diundangkan akan membawa dampak positif bagi daerah.
Menurut Program Development Manager Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) Aloysius Wiratmo, dunia bisnis melihat keberlanjutan sebagai faktor penting karena prinsip-prinsip keberlanjutan akan membawa manfaat, terutama dalam mengelola risiko bisnis. Risiko yang dimaksud, antara lain, terkait peluang di pasar karena konsumen semakin menuntut produk yang ramah lingkungan serta rantai pasok bisnis terkait bahan baku.