Perubahan UU MK Kepentingan Siapa
DPR dan pemerintah telah mengesahkan Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi. Pembahasan supercepat, hanya tujuh hari, dan dilakukan secara tertutup, sehingga memunculkan kecurigaan publik.
DPR dan pemerintah telah mengesahkan Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi. Pembahasan supercepat, hanya tujuh hari, dan dilakukan secara tertutup. Muncul kecurigaan publik pembahasan itu sarat kepentingan transaksional (Kompas, 27/8).
Pimpinan Panja RUU MK, Pangeran Khairul Saleh, menyatakan, rapat dilakukan tertutup agar tidak menimbulkan kesalahpahaman (Kompas, 28/8). Alasan yang merendahkan akal sehat publik. Kesalahpahaman selalu muncul dari ketertutupan, bukan dari keterbukaan.
Terdapat lima materi muatan pokok dalam RUU itu. Pertama, tentang usia dan masa jabatan hakim konstitusi beserta ketentuan peralihan bagi hakim konstitusi yang sedang menjabat. Kedua, tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua. Ketiga, tentang usia pensiun panitera. Keempat tentang Kode Etik dan Majelis Kehormatan. Kelima, tentang amar putusan MK.
Materi muatan yang substansial hanya tiga, yaitu batas usia minimum, penghapusan masa jabatan hakim, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua. Sisanya lebih merupakan perubahan redaksional.
Kesalahpahaman selalu muncul dari ketertutupan, bukan dari keterbukaan.
Proses pembahasan dan substansi perubahan berpotensi untuk diuji ke MK. Proses pembahasan telah mengingkari prinsip keterbukaan sesuai Pasal 5 huruf g UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Substansi materi muatan perubahan jauh dari kepentingan menjaga independensi dan integritas hakim serta tidak mendukung MK dalam menjalankan fungsi memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi.
Usia dan masa jabatan
Setidaknya ada dua kasus pelanggaran etik dan dua kasus terkait tindak pidana korupsi yang pernah mencederai MK. Muncullah gagasan pengaturan agar ini tak terulang. Pertama, mengatur mekanisme seleksi hakim konstitusi lebih rigid agar benar-benar transparan dan obyektif serta menghasilkan hakim konstitusi negarawan. Kedua, menaikkan syarat minimal usia hakim konstitusi.
Gagasan ini didasarkan asumsi tradisional bahwa usia berbanding lurus dengan kematangan integritas. Ketiga, hakim konstitusi hanya cukup satu periode agar independensinya tak terganggu kepentingan terpilih pada periode kedua.
Alih-alih mengatur mekanisme seleksi yang obyektif dan transparan, DPR dan pemerintah lebih memilih gagasan kedua dan ketiga, yaitu menaikkan syarat usia minimal menjadi 55 tahun dan mengganti masa jabatan dengan usia pensiun. Hakim konstitusi akan menjabat hingga usia pensiun 70 tahun. Jika pertama kali menjabat berusia 55 tahun, hakim MK akan menjabat 15 tahun.
Sejarah MK membuktikan bahwa usia tak selalu berbanding lurus dengan kematangan integritas. Terdapat empat hakim konstitusi yang di awal menjabat berusia di bawah 50 tahun. Mereka adalah Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, I Dewa Gde Palguna, dan Saldi Isra.
Mereka figur hakim konstitusi yang berintegritas dan tak diragukan independensinya. Bahkan Jimly dan Hamdan pernah dipercaya sebagai ketua MK di masa sulit. Jimly di periode pertama dan Hamdan di saat kepercayaan publik ada di titik nadir. Keduanya berhasil mengemban tanggung jawab dengan baik.
Sebaliknya, dua hakim konstitusi yang pernah melakukan pelanggaran kode etik dan dua yang menjadi terpidana kasus korupsi adalah hakim konstitusi yang pada saat pertama menjabat berusia di atas 55 tahun. Jelas bahwa menaikkan syarat usia minimal hakim konstitusi tidak relevan dengan upaya menjaga independensi dan integritas hakim.
Mereka figur hakim konstitusi yang berintegritas dan tak diragukan independensinya.
Membatasi masa jabatan hakim MK hanya satu periode memang dapat menghilangkan potensi terganggunya independensi hakim dalam memutus perkara karena memiliki kepentingan terpilih kembali di periode kedua. Cukup satu periode dengan masa jabatan lebih lama. Namun, pilihan ini harus memperhatikan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan tak profesional karena posisi aman tak terganggu.
Oleh karena itu, masa jabatan tak boleh terlalu lama hingga 15 tahun. Cukup 10 tahun untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga kinerja profesional. Aspek lain untuk mengimbangi adalah kelembagaan dan mekanisme pengawasan yang tepat dan melekat. Tak cukup hanya dengan menambah komposisi anggota Majelis Kehormatan.
Substansi penting
Perubahan UU MK memang diperlukan. Ada substansi penting yang memerlukan perubahan, yaitu terkait kewenangan, hukum acara, dan pelaksanaan putusan MK. Ada dua perkembangan hukum yang perlu diakomodasi dalam perubahan kewenangan dalam UU MK.
Pertama, kewenangan memutus sengketa hasil pilkada. UU Pilkada menyatakan bahwa MK masih memiliki wewenang memutus sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk pengadilan khusus di bawah Mahkamah Agung. Namun, sudah lebih dari lima tahun pengadilan khusus ini belum dibentuk, bahkan wacananya pun semakin redup. Agar memiliki legitimasi hukum kuat tentu diperlukan pengaturan kewenangan ini dalam perubahan UU MK.
Kedua, perkembangan masyarakat menunjukkan MK perlu memiliki wewenang memutus pertanyaan konstitusional (constitutional question) sebagai bagian kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945. Kewenangan ini diperlukan untuk memperkuat jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara dari UU yang bertentangan dengan UUD 1945.
Telah banyak kasus warga negara dihukum berdasarkan norma di dalam suatu UU yang kemudian oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mencegah terjadinya keadilan yang tertunda, yang berarti ketidakadilan, seharusnya warga negara atau hakim dapat mengajukan pertanyaan konstitusional kepada MK.
UU Pilkada menyatakan bahwa MK masih memiliki wewenang memutus sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk pengadilan khusus di bawah Mahkamah Agung.
Substansi penting kedua yang seharusnya menjadi materi muatan perubahan adalah hukum acara. Saat ini MK telah memiliki hukum acara, namun diatur di dalam aturan internal, yaitu Peraturan MK (PMK). Padahal, hukum acara mengatur prosedur beracara yang mengikat umum dan dimaksudkan untuk dapat melindungi hak warga negara dan mencapai keadilan sehingga seharusnya dibuat secara demokratis, yaitu dalam bentuk UU.
Pengaturan di dalam PMK juga masih terdapat kekurangan. Salah satunya, hukum acara tentang pengujian formal UU terhadap UUD 1945. Saat ini tidak terdapat parameter untuk menguji proses pembentukan UU (judicial review of legislative process).
Ketiadaan parameter ini mengakibatkan belum ada pengujian formal yang dikabulkan. Padahal, ada banyak proses pembentukan UU yang dinilai publik cacat hukum dan demokrasi. Salah satunya, pembahasan perubahan UU MK yang dilakukan tertutup.
Jika pembentuk UU memang memaknai bahwa kewenangan MK adalah wujud mekanisme check and balances, tentu tak perlu khawatir akan digunakan untuk membatalkan UU yang mereka bentuk.
Substansi ketiga yang perlu diatur di dalam perubahan UU MK adalah pelaksanaan putusan MK. UUD 1945 telah jelas menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Artinya, pada saat suatu norma hukum di dalam UU telah dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945, maka tak dapat menjadi aturan hukum.
Kenyataannya tak jarang suatu norma dalam UU yang telah dibatalkan oleh MK dimunculkan kembali di dalam UU baru. Terdapat pula hakim pengadilan biasa yang masih menggunakan norma yang telah dibatalkan oleh MK sebagai dasar dalam memutus.
Contoh nyata pembangkangan atas putusan MK adalah masih dicantumkannya UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 dalam konsideran Perubahan UU MK yang disahkan, padahal telah dibatalkan MK karena tak memenuhi syarat kegentingan memaksa. Artinya, tak ada lagi hukum yang bernama UU No 4 Tahun 2014.
Pengaturan pelaksanaan putusan MK sangat penting artinya untuk mewujudkan kesatuan sistem hukum yang bersifat hierarkis. Putusan MK adalah penafsiran terhadap norma konstitusi. Saat putusan MK tak dilaksanakan, maka pada saat itu pula terjadi pelanggaran terhadap konstitusi.
Menyusun dan membahas substansi penting yang seharusnya menjadi materi muatan perubahan UU MK itu tentu butuh energi lebih besar dan waktu lebih lama. Tentu tak jadi soal karena DPR dan pemerintah setidaknya masih memiliki waktu hingga 2024. Namun ternyata, DPR dan pemerintah lebih memilih jalan mudah dan cepat, bahkan dengan mengorbankan partisipasi masyarakat. Entah untuk kepentingan siapa.
Putusan MK adalah penafsiran terhadap norma konstitusi.
Pengujian perubahan UU MK
Perubahan UU MK dapat diajukan pengujian ke MK, baik dari sisi formal karena pembahasannya melanggar prinsip keterbukaan maupun dari sisi substansi yang memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan. Tentu muncul pertanyaan apakah hakim MK dapat memutus UU yang mengatur dirinya sendiri sesuai asas nemo judex idoneus in propria causa.
MK sudah pernah menerima dan memutus 42 perkara pengujian UU MK sendiri. Terdapat sembilan perkara yang diputus dikabulkan MK. Salah satu putusannya terkait hakim MK sendiri, yaitu menghapus kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim MK. Putusan ini dilandasi argumentasi bahwa MK juga terikat asas pengadilan tak boleh menolak perkara dan untuk kasus pengujian UU pemohon tak memiliki pilihan forum hukum selain ke MK.
Kita percaya hakim konstitusi saat ini masih independen dan berintegritas dan harus menunjukkannya melalui perilaku dan putusan. Para hakim MK tentu akan memutus dengan obyektif dan mempertimbangkan menjaga marwah MK jangka panjang. Hakim MK tidak mudah tersandera kepentingan jabatan yang telah diperpanjang oleh pembentuk UU.
Muchamad Ali Safa’at, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.