Proletarisasi Petani
Angka kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan di perdesaan di mana pertanian umumnya berada, lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Jumlah petani yang besar di atas harus menjadi perhatian bersama.
Sekitar 97 persen lapangan kerja di Indonesia disumbangkan oleh sektor usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, 50 persen di antaranya di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. UMKM di bidang pertanian menyumbang sekitar 48 persen dari angkatan kerja Indonesia. Ini belum termasuk petani non-UMKM.
Di sisi lain, angka kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan di perdesaan di mana pertanian umumnya berada lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Jumlah petani yang besar di atas harus menjadi perhatian bersama dalam upaya melawan kemiskinan dan untuk pemerataan pembangunan.
Baca juga: Memperkuat UMKM
Tantangan pertanian lebih besar lagi di masa pandemi Covid-9 karena kebutuhan pangan suatu negara harus dipenuhi sendiri oleh negara itu. Ini, antara lain, alasan di balik rencana pencetakan sawah baru oleh Presiden Jokowi dengan mengerahkan BUMN.
Selama ini, kepedulian pada sektor pertanian diterjemahkan dengan memasukkan modal dan korporasi besar ke dalamnya, dan ini memaksa petani melakukan penanaman monokultur, merusak alam demi panen besar. Padahal, pertanian petani lebih mengutamakan selisih biaya dibandingkan pendapatan. Sementara dari sisi tenaga kerja, pertanian petani lebih mengandalkan tenaga keluarga, sedangkan pertanian korporasi mengandalkan pasar tenaga kerja.
Padahal, pertanian petani lebih mengutamakan selisih biaya dibandingkan pendapatan.
Penggunaan pertanian perusahaan dalam pengelolaan langsung lahan pertanian, jejaknya masih terlihat pada program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang mengorbankan 2,5 juta hektar hutan di Merauke. Perkebunan-perkebunan besar yang monokultur, baik perkebunan setelah kemerdekaan maupun peninggalan Belanda, menyisakan masalah sengketa agrarian di mana-mana karena lahan subur yang dijadikan perkebunan sebelumnya telah dikelola oleh petani/masyarakat hutan adat.
Kebebasan petani
Keberadaan perusahaan pertanian telah menggeser petani menjadi buruh tani. Tetapi, sesungguhnya proses proletarisasi petani bisa terjadi tanpa petani kehilangan tanahnya, yakni dengan memasukkan modal/perusahaan ke dalam dunia pertanian. Kerja sama petani dengan pemodal sering kali menguntungkan pihak pemodal.
Contoh, pemodal menyediakan segalanya, mulai bibit, pupuk, dan pestisida. Sementara petani menyediakan tenaga dan tanahnya. Hasil panennya petani hanya mendapatkan 50 persen atau perusahaan akan membeli dengan standar harga tertentu.
Baca juga: Semakin Gurem
Dengan pembagian 50:50, petani dirugikan karena petani menyediakan dua dari tiga hal utama, yakni tenaga kerja dan tanah. Sementara dengan pembelian tertentu, tak dijelaskan standar kualitas yang ditentukan, mulai dari kualitas hasil panen hingga kadar air.
Kerugian juga didapat oleh petani yang menanam tanaman sosial, seperti beras di mana pupuk, bibit, obat-obatan yang merupakan produk industri dan setiap tahun mengalami kenaikan harga tanpa perlu memperhatikan aturan, sebagai input pertanian petani sehingga biaya pengelolaan tanah semakin besar.
Di sisi lain, hasil panen pertanian petani berupa beras harganya telah ditentukan pemerintah dan tak boleh mahal. Harga beras (kebutuhan pokok) yang mahal bisa menyebabkan krisis sosial politik yang membahayakan rezim. Akibatnya, selamanya petani kebutuhan pokok akan terus terimpit karena antara input (industri) dan output-nya (sosial) dua hal berbeda. Namun, petani beras tetap akan menjual panennya di harga berapa pun mengingat input pertanian yang besar dan kebutuhan biaya tanam berikutnya.
Dalam proses ini, petani kehilangan ”kebebasan dari” penyediaan bibit, pupuk, dan pestisida sehingga petani juga kehilangan ”kebebasan untuk” memasarkan, menggunakan produknya. Kedua kebebasan itu muncul dari keseimbangan internal dan eksternal dalam pertanian petani (Chayanov). Hubungan kedua kebebasan bersifat sejajar, yakni semakin banyak faktor internal dalam input pertanian (”kebebasan dari”), maka semakin besar ”kebebasan untuk” yang didapat petani.
Hasil PDB dan UMKM bidang pertanian yang demikian besar tidak dapat meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Keuntungan terbesar di dunia pertanian terletak pada input dan output pertanian.
Baca juga: Matinya Kedaulatan Petani dan Pangan
Bukan pada pengelolaan tanah (tanaman) yang menjadi inti dari pertanian itu sendiri. Sementara pertanian petani masih sedikit yang masuk ke dalam wilayah input dan output pertanian sehingga petani yang hanya mengelola tanah tanpa menguasai salah satu dari input atau output pertanian, sebenarnya tidak lebih dari buruh di atas tanahnya sendiri.
Keuntungan terbesar di dunia pertanian terletak pada input dan output pertanian.
Dalam menyikapi hal itu, pertanian petani mempunyai dua pilihan. Pertama, dengan menambahkan unsur internal dalam input (pupuk, bibit, pestisida) pertanian guna mengurangi biaya pertanian. Kedua, dengan mencari pasar alternatif hasil pertaniannya (output).
Hal pertama akan menghasilkan pupuk, bibit, segala obat pertanian alternatif yang lebih ramah lingkungan, lebih murah, dan dapat diperjual-belikan di antara petani sendiri. Sementara yang kedua akan terbentuk kelompok tani yang bersifat sebagai pengelola, pemasar bagi produk pertanian, dan menciptakan pasar alternatif bagi hasil panen petani.
Peran pemuda tani dalam wilayah input dan output ini sangat besar mengingat kemampuan pemuda tani dalam hal eksperimen, teknologi yang lebih tinggi dibanding petani pada umumnya. Belum lagi, nilai lebih yang didapatkan dalam pengelolaan input dan output pertanian.
Baca juga: ”Food Estate”, Pertanian Kecil dan Ketahanan Nasional
Namun, harus disadari, memisahkan input, pengelolaan lahan, dan output pertanian merupakan kesalahan dalam pertanian petani. Sebisa mungkin ketiganya disatukan dan dikelola bersama (internal) sehingga kemandirian petani dapat dicapai bersama. Dari kemandirian bertani ini, kesejahteraan bagi petani tinggal menunggu waktu.
Koperasi tani
Penyatuan ketiganya harus diwadahi dalam sebuah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, yang membagi keuntungan dalam setiap proses dengan adil. Salah satunya dengan pendirian koperasi pertanian petani sehingga koperasi tak hanya soal pemasaran hasil pertanian, tapi juga harus mampu menciptakan input bagi pertanian petani.
Perkembangan koperasi selanjutnya dapat dilihat dengan memanfaatkan arus urbanisasi anak-anak petani yang berada di perkotaan. Baik jejaring dalam hal pemasaran maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Peran masyarakat perkotaan bagi pendorong kemajuan ini harus sebaik mungkin.
Peran masyarakat perkotaan bagi pendorong kemajuan ini harus sebaik mungkin.
Kedua, meningkatkan koperasi peran/serikat buruh di perkotaan yang juga merupakan jaringan bagi koperasi tani juga tidak boleh diabaikan. Koperasi juga harus mampu mengambil risiko jadi korporasi yang menjadikan petani sebagai obyek dari kebutuhan pihak luar, dengan alasan standar kualitas tertentu. Mampu mencegah petani menjadi petani proletarisasi petani.
Jaka Wandira, Sekretaris Jenderal Paguyuban Petani Aryo Blitar, Blitar.