”Titik Nol” Pembangunan Olahraga Nasional
Pandemi Covid-19 ibarat dua sisi mata uang bagi bidang olahraga. Di satu sisi, itu adalah musibah. Namun, di sisi lain, itu hikmah sekaligus peluang untuk mereposisi peran olahraga dalam pembangunan nasional.
Momen sulit akibat pandemi Covid-19 saat ini bisa dikatakan sebagai berkah terselubung. Di balik kengeriannya, pandemi bisa menjadi ”titik nol” pembangunan olahraga yang lebih terintegrasi, prinsipiil, dan komprehensif. Semangat itu bahkan telah disampaikan langsung Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat memperingati Hari Olahraga Nasional atau Haornas 2020, Rabu (9/9/2020) lalu, di Jakarta.
”(Pandemi) Ini memberi kita kesempatan untuk melakukan rebooting, restart, untuk merancang ulang ekosistem olahraga kita secara besar-besaran agar bisa melakukan lompatan besar ke depan,” ujar Jokowi (Kompas, 10/9/2020).
Olahraga, sejatinya, tidak hanya penting sebagai alat untuk membangun karakter bangsa (national character building) dan kebanggaan bersama, tetapi juga bisa menjadi daya ungkit untuk menggerakkan kembali perekonomian nasional yang kini tengah terpuruk.
Baca juga : Saatnya Lebih Serius Kampanyekan Olahraga
Sebagai contoh, di tengah lesunya daya beli masyarakat saat ini, antara lain ditunjukkan dengan terjadinya deflasi 0,05 persen (mengacu data Badan Pusat Statistik) sepanjang Agustus lalu, konsumsi peralatan olahraga justru melambung. Sejak Maret hingga setidaknya Juni lalu, situs jual-beli daring Bukalapak, misalnya, mencatatkan kenaikan pembeian sepeda hingga 156 persen dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Mengacu data Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo), permintaan sepeda pada masa pandemi melonjak 3-4 kali lipat dibandingkan kondisi normal. Tak pelak, harga sepeda di pasaran pun sempat naik hingga lebih dari 200 persen. Bersepeda dianggap sebagai olahraga rekreatif yang nyaman dan menyehatkan sekaligus pilihan transportasi yang aman selama pandemi.
Memang, fenomena dan dampak ekonomi dari bersepeda itu bisa dikatakan hanyalah sesaat. Namun, tidak demikian halnya, misalnya, dengan kompetisi sepak bola nasional, Liga 1 Indonesia, yang berjalan kontinu. Terlepas masih banyaknya kekurangan dalam penyelenggaraan kompetisi itu, seperti masalah tawuran antarsuporter, Liga 1 berperan menggerakkan ekonomi nasional.
Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan, nilai perputaran ekonomi yang ditimbulkan Liga 1 mencapai Rp 2,7 triliun-Rp 3 triliun per tahun. Maka, tak heran, pemerintah mendukung kompetisi itu bergulir kembali mulai 1 Oktober 2020 meskipun risiko penyebaran Covid-19 di Tanah Air kini masih tinggi.
Baca juga : Kompetisi Sepak Bola dan Basket Dipastikan Berlanjut
Terbesar sepanjang sejarah
Sumbangsih olahraga dalam ekonomi nasional bisa lebih besar, bahkan boleh dikatakan yang terbesar sepanjang sejarah, pada 2021 mendatang. Jika pandemi usai, makin banyak orang yang bakal berbondong-bondong mengikuti lomba-lomba lari atau bersepeda yang kini tengah mati suri. Kegiatan itu bakal menjamur, bahkan ”meledak” di banyak daerah, seiring kehidupan yang kembali pulih pascapandemi.
Tak hanya itu, pada saat yang sama, negara ini akan menjadi tuan rumah dua perhelatan akbar olahraga, yaitu Piala Dunia U-20 dan MotoGP seri Indonesia di Mandalika. Kedua ajang besar itu bisa menjadi batu loncatan Indonesia mengembangkan sport tourism yang menjadi tren pariwisata global. Mengacu hasil riset PSSI 2019 lalu, Piala Dunia U-20—yang digelar di Tanah Air pada Mei-Juni 2021—menciptakan peluang pendapatan ekonomi nasional senilai lebih dari 12 juta dollar AS atau setara Rp 178 miliar. Angka itu belum termasuk dari sektor parwisata, misal perhotelan.
Adapun ajang MotoGP di Mandalika menawarkan peluang perputaran ekonomi senilai Rp 1,5 triliun hanya dalam tiga hari perhelatan balap motor dunia itu. Angka itu didapat dari pengalaman Thailand menggelar MotoGP di Buriram, 2018 lalu. Dikutip dari TTR Weekly, MotoGP Thailand pada 2018 lalu telah mendongkrak pemasukan ekonomi negara itu senilai 3,1 miliar baht atau Rp 1,48 triliun. Nilai itu ditunjang dari sejumlah sektor, seperti transportasi, akomodasi, konsumsi makanan dan minuman, cendera mata, dan hiburan.
Baca juga : Sambut MotoGP, Desa Penyangga KEK Mandalika Siapkan Paket Wisata
Tidak kalah penting, MotoGP Mandalika akan menggeliatkan pembangunan serta investasi di kawasan Indonesia timur, khususnya Nusa Tenggara Barat. Pariwisata di daerah itu pun ikut terangkat. Maka, secara tak langsung, olahraga turut berkontribusi dalam pemerataan pembangunan di Tanah Air. Hal itu selaras pula dengan pelaksanaan ajang empat tahunan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua yang ditunda menjadi Oktober 2021 akibat pandemi. PON juga menggeliatkan pembangunan infrastruktur di Indonesia timur.
Terpinggirkan
Pentingnya olahraga sebagai daya ungkit pemulihan pascapandemi ini sejalan dengan seruan bersama 118 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Presiden Komite Olimpiade Internasonal (IOC) Thomas Bach beberapa waktu lalu. ”Olahraga berkontribusi dalam upaya pemulihan krisis dan menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik. Olahraga memainkan peranan penting di ekonomi banyak negara,” kata Bach (Kompas, 7/9/2020).
Besarnya potensi dan peluang olahraga dalam pembangunan nasional itu harus diantisipasi dan disiapkan dengan baik oleh para pemangku kepentingan di Tanah Air. Sayangnya, tidak seperti pada era Orde Lama maupun Orde Baru, isu olahraga mulai terpinggirkan dewasa ini. Pascakrisis 1998, baik pemerintah maupun masyarakat lebih mengutamakan aspek-aspek kehidupan lain, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan politik.
Baca juga : Olahraga Jadi Sumber Energi Pemulihan
Olahraga seolah terlupakan dan baru dianggap penting saat hajatan besar, seperti Asian Games 2018, digelar di Tanah Air. Namun, fundamentalnya rapuh. Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK), misalnya, hanyalah formalitas dalam silabus pembelajaran. Jam pelajaran yang terlalu padat membuat PJOK tidak dianggap penting dan relevan, bahkan sering ditiadakan oleh sekolah jelang berlangsungnya ujan nasional.
Buruknya sistem pembinaan juga membuat Indonesia kesulitan menemukan atlet-atlet hebat, apalagi berkelas dunia, di berbagai cabang olahraga. Prestasi atlet-atlet Indonesia di level internasional pun cenderung stagnan, bahkan menurun, dibandingkan era Orde Baru. Sebagai contoh, setelah 1998, Indonesia tidak pernah lagi menjadi juara umum pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games) di luar ”kandang”. Indonesia bahkan lebih sering berada di luar posisi tiga besar.
Padahal, sebelum era Reformasi, Indonesia langganan juara umum, tidak peduli di mana itu berlangsung. Kala itu. olahraga sangat digaungkan di sekolah dan instansi pemerintah. Kompetisi olahraga pun menjamur di banyak daerah. Hal itu sesuai slogan Panji Olahraga, ”mengolahragakan masyarakat dan memasyaratkan olahraga”, yang muncul pada 1981 dan dikuatkan dalam Ketetapan MPR.
Baca juga : Menjaga Spirit Haornas di Tengah Pandemi
Empat dekade berlalu, Indonesia kini tengah menyambut bonus demografi, yaitu pada 2030-2040. Mengacu data Bappenas, jumlah penduduk usia produktif akan melampaui kelompok usia lainnya, yaitu 64 persen dari total perkiraan penduduk 297 juta jiwa. Faktor demografi ini bisa menjadi kekuatan besar dalam pembangunan. Namun, sebaliknya, hal itu bisa menjadi petaka jika tidak dikelola dan disiapkan dengan benar. Penduduk usia produktif akan menjadi beban besar bagi negara jika mudah sakit-sakitan dan tidak produktif, semata-mata karena pola kebiasaan hidup buruk pada masa muda.
Olahraga sebagai fondasi
Dalam hal inilah, olahraga bisa mengambil peranan penting. Seperti semboyan men sana in corpore sano, olahraga mengajarkan keseimbangan dalam hidup. Olahraga menjadi entry point untuk mengenalkan pola hidup sehat, seperti mengonsumsi gizi dan nutrisi yang tepat serta membisakan diri aktif bergerak. Tak pelak, di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Jepang, filosofi olahraga begitu terpatri secara inklusif dalam pendidikan, bahkan sejak usia dini.
Olahraga, bagi kedua negara itu, merupakan alat untuk membangun karakter warga, sekaligus identitas bangsa. Sebab, olahraga—dalam arti yang luas—juga mengajarkan banyak nilai penting dalam diri manusia, seperti kedisiplinan, keuletan, spirit pantang menyerah, sportivitas, berdaya saing tinggi, kerja sama tim, dan patriotisme. Nyaris tiada bidang lain yang mampu menggali lebih banyak nilai-nilai penting dalam kehidupan manusia itu.
Ketika berbagai aspek kehidupan luluh lantak oleh pandemi, manusia dipaksa melihat kembali ke hal paling hakiki, yaitu olahraga sebagai katalis kehidupan.
Tak pelak, dalam kajian filsafat modern, olahraga kerap disebut sebagai fondasi kehidupan manusia. ”Olahraga adalah hal fundamental di dalam kehidupan manusia modern. Olahraga adalah alat paling ampuh untuk memahami kehidupan manusia dan dengan lingkungan sekitarnya” (Steven Connor, A Philosophy of Sports, 2011).
Pandemi yang memicu fenomena maraknya warga giat berolahraga lari atau bersepeda adalah pembuktian pandangan Connor tersebut. Ketika berbagai aspek kehidupan luluh lantak oleh pandemi, manusia dipaksa melihat kembali ke hal paling hakiki, yaitu olahraga sebagai katalis kehidupan. Harta, takhta, dan materialisme lain menjadi tidak berarti jika jasmani ataupun jiwa kita rapuh.
Maka itu, patut dikatakan, pandemi adalah momen membangun ulang olahraga nasional secara benar. Rancangan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, yang kini tengah digodok oleh panitia kerja Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, menjadi pintu masuk untuk perubahan itu. Olahraga tidak lagi boleh terpinggirkan dalam kehidupan bangsa ini. ”Olahraga harus jadi keseharian,” pesan Jokowi dalam pidato Haornas 2020.