Transformasi ekonomi tanpa melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah hanya akan menciptakan ketimpangan.
Oleh
A Prasetyantoko - Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
·5 menit baca
Sejak pandemi Covid-19, ketergantungan kita pada teknologi semakin tinggi. Kehadiran dan pertemuan fisik nyaris tak diperlukan lagi dalam banyak hal karena teknologi mampu meringkas ruang dan waktu dalam satu layar monitor. Pandemi telah membuat dunia ”lebih pintar”.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva menulis sambutan untuk Forum Ekonomi Dunia dengan judul “The Great Reset”. Intinya, masyarakat dunia berutang pada sejarah yang telah begitu banyak berkorban jiwa menghadapi pandemi Covid-19 ini. Cara kita membayar utang sejarah adalah mengarahkan perekonomian pascapandemi menuju tatanan yang lebih memperhatikan lingkungan, lebih pintar, dan lebih inklusif.
Pemerintah Indonesia telah merespons krisis kesehatan dan ekonomi yang meluas dengan membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020. Di bawah komite ini ada Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional, yang salah satu tugasnya melaksanakan dan mengendalikan implementasi kebijakan strategis yang berkaitan dengan pemulihan dan transformasi ekonomi nasional.
Salah satu pertanyaan kunci, bagaimana strategi pemulihan dan transformasi dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi. Peluangnya adalah mendorong sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui adopsi teknologi. Transformasi ekonomi tanpa melibatkan UMKM hanya akan menciptakan ketimpangan.
Pada krisis 1998, banyak pekerja formal beralih ke sektor UMKM. Meskipun banyak sektor usaha besar tutup, sektor mikro dan kecil justru menjamur. Sektor ini telah terbukti menjadi penyangga perekonomian domestik menghadapi krisis hebat. Pandemi Covid-19 tak hanya merontokkan usaha besar, tetapi juga UMKM. Namun, kemajuan teknologi telah menciptakan peluang usaha yang bersifat pertemanan (peer-to-peer). Kegiatan informal ini telah menjadi penyangga krisis yang memacetkan semua lini perekonomian ini.
Pemberdayaan UMKM
Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, unit usaha di Indonesia pada 2018 yang masuk kategori usaha besar hanya 0,01 persen dari semua unit usaha formal di Indonesia. Jumlahnya naik 1,67 persen dari 5,460 unit menjadi 5,550 unit usaha. Sementara unit usaha mikro, kecil, dan menengah pada 2018 berjumlah 1.271.400 unit atau naik 2,02 persen dalam setahun.
Mereka menguasai 99,99 persen unit usaha di Indonesia. Dari sisi serapan tenaga kerja, UMKM menguasai 97 persen tenaga kerja, sedangkan usaha besar hanya 3 persen. Selain itu, serapan tenaga kerja sektor usaha besar pada 2018 turun 5,47 persen secara tahunan. Sementara serapan UMKM justru bertambah 0,47 persen, dengan total tenaga kerja 116 juta orang. Dalam kelompok UMKM, serapan tenaga kerja sektor menengah juga berkurang 13,81 persen dan usaha kecil turun 10,93 persen. Namun, sektor usaha mikro naik 1,77 persen dengan total tenaga kerja pada 2018 lebih dari 100 juta orang.
Penurunan serapan tenaga kerja sektor usaha besar pada 2018 disebabkan perekonomian yang lesu akibat perang dagang sejak 2017 yang memengaruhi kondisi global. Menghadapi pandemi Covid-19, bisa dipastikan serapan tenaga kerja sektor usaha besar akan terkontraksi secara masif. Hal serupa terjadi pada UMKM, baik pada populasi maupun serapan tenaga kerjanya. Aktivitas bisnis bergeser ke sektor informal yang tidak bisa dideteksi dalam statistik.
Salah satu agenda penting saat ini adalah memfasilitasi pemberdayaan ekonomi informal berbasis pertemanan agar terkoneksi dengan unit usaha formal berbasis teknologi. Sejak pandemi Covid-19, model bisnis cenderung fleksibel, tak membutuhkan organisasi dan administrasi yang ketat. Bahkan, aktivitas perantara lewat jalur distribusi panjang bisa dipangkas menjadi begitu ringkas.
Salah satu agenda penting saat ini adalah memfasilitasi pemberdayaan ekonomi informal berbasis pertemanan agar terkoneksi dengan unit usaha formal berbasis teknologi.
Menghadapi perubahan ini, ada dua agenda besar yang patut dipertimbangkan. Pertama, kegiatan usaha memerlukan proses penahapan menjadi besar (scaling-up). Tanpa proses manajerial yang sistematis, banyak kegiatan usaha berhenti menjadi sektor informal yang hanya berdampak marjinal bagi perekonomian. Agar kegiatan usaha memiliki dampak pengganda, diperlukan upaya sistematis mendorong usaha informal menjadi formal dengan skala mikro, kecil, menengah, kemudian besar. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah membangun ekosistem sektor informal dengan sektor formal melalui platform teknologi.
Kedua, dengan menjadi usaha formal, selain masuk dalam radar statistik, juga akan menjadi unit usaha yang menyumbang pemasukan negara melalui pajak. Dalam banyak hal, justru fase ini yang ingin dihindari sehingga banyak pihak menikmati menjadi unit usaha informal. Kendala ini bisa diatasi melalui kebijakan pembebasan pajak bagi sektor usaha yang baru mulai atau rintisan (start up).
Meski ekosistem dunia usaha akan berbeda pada masa mendatang, prinsipnya tetap sama, yakni perekonomian hanya akan kokoh jika ditopang unit usaha menengah yang kuat. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan kapasitas dari informal ke formal, dari formal mikro serta kecil menjadi pelaku usaha menengah. Pada 2018, sektor usaha menengah berkontribusi pada perekonomian sebesar 14 persen dengan serapan tenaga kerja 3 persen.
Peningkatan skala usaha diperlukan agar kontribusi pada penyerapan tenaga kerja semakin besar sehingga peranannya pada perekonomian juga meningkat. Pada 2018, meskipun jumlah usaha besar kurang dari 1 persen, usaha ini menyumbang lebih dari 45 persen terhadap produk domestik bruto (harga konstan). Sementara UMKM yang populasinya 99,99 persen menyumbang 55 persen.
Peningkatan skala usaha diperlukan agar kontribusi pada penyerapan tenaga kerja semakin besar sehingga peranannya pada perekonomian juga meningkat.
Pada masa pandemi Covid-19, banyak unit usaha, baik besar maupun UMKM, berguguran. Namun, di sisi lain, sektor informal bangkit seiring adopsi teknologi yang semakin intensif. Dengan pendampingan yang memadai, kegiatan ini akan menjadi bibit kemunculan usaha rintisan sektor usaha berbasis teknologi. Kementerian Koperasi dan UKM bisa mengumpulkan keahlian yang sudah tersebar di dunia usaha mapan, seperti Tokopedia dan Bukalapak, serta talenta muda di banyak perguruan tinggi dan tempat kursus.
Cerita sukses seperti Tokopedia perlu direplikasi ke dalam skala yang lebih mikro, tetapi dalam jumlah yang banyak. Pada usianya yang ke-11 tahun ini, Tokopedia memiliki lebih dari 8,6 juta penjual yang sebagian besar berskala ultramikro. Omzet penjualannya sekitar 1 persen dari PDB Indonesia dan telah berhasil menjangkau 98 persen kecamatan di Indonesia.
Indonesia pada masa depan memerlukan lebih banyak kisah sukses bisnis berbasis teknologi yang punya visi pemberdayaan. Hal itu harus diciptakan melalui kebijakan, tak bisa hanya berpangku tangan menunggu nasib baik.