Hukum Cambuk Pelaku Kejahatan Seksual Dinilai Tidak Adil bagi Korban
›
Hukum Cambuk Pelaku Kejahatan ...
Iklan
Hukum Cambuk Pelaku Kejahatan Seksual Dinilai Tidak Adil bagi Korban
Pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang dijatuhkan hukuman cambuk terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Seorang guru pengajian melakukan pelecehan seksual terhadap belasan santri, tetapi hukumannya hanya dicambuk 74 kali.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Penerapan Qanun/Perda Syariah di Aceh yang menjatuhkan hukuman cambuk bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dinilai tidak adil bagi korban. Para pihak mendesak aparat penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan Undang-undang Perlindungan Anak.
Hal itu mengemuka dalam diskusi virtual dengan tema ”Penindakan Hukum Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak”, di Banda Aceh, Rabu (23/9/2020). Diskusi itu diadakan oleh Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK), Flower Aceh, Pusat Riset Gender Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Balai Syura Ureung Inong Aceh, dan Komisi Perlindungan Anak (KPPA) Aceh.
Wakil Ketua KPPA Aceh Ayu Ningsih menuturkan, di Aceh terjadi dualisme regulasi dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak, yakni Qanun/Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah dan Undang-Undang No 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Dalam qanun disebutkan, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah hukuman cambuk maksimal 200 kali atau denda 2.000 gram emas atau penjara 16,6 tahun. Adapun dalam UU Perlindungan Anak hukuman pidana maksimal 15 tahun penjara dan ditambah sepertiga dari vonis jika pelaku merupakan orang dekat.
Namun, kata Ayu, sebagian kasus yang ditindak dengan qanun justru hukuman adalah cambuk, tanpa kurungan. Menurut Ayu, hukuman cambuk tidak memberi efek jera kepada pelaku dan tidak adil bagi korban. ”Seharusnya pelaku tindak pidana asusila terhadap anak mendapat sanksi pidana yang berat,” kata Ayu.
Sebagian kasus yang ditindak dengan qanun justru hukuman adalah cambuk, tanpa kurungan.
Salah satu contoh pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang dijatuhkan hukuman cambuk terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Seorang guru pengajian melakukan pelecehan seksual terhadap belasan santri, tetapi hukumannya hanya dicambuk 74 kali setelah dikurung 6 bulan masa tahanan.
Ayu mengatakan, dualisme regulasi menyebabkan perbedaan persepsi pada aparat penegak hukum dalam memilih aturan untuk menjerat pelaku.
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh menunjukkan, sejak 2016-2019, kasus kekerasan terhadap anak mencapai 2.691 kasus. Sebanyak 1.038 kasus adalah kekerasan seksual, mulai dari pelecehan, sodomi, inces, hingga pemerkosaan.
Kepala Pusat Riset Gender Universitas Syiah Kuala Nursiti mengatakan, hasil riset yang mereka lakukan menunjukkan bahwa hukuman cambuk tidak memberikan keadilan bagi korban. Korban justru harus menyingkir.
Berdasarkan wawancara Nursiti terhadap salah seorang terdakwa pelaku kejahatan seksual yang dhukum cambuk, pelaku justru bersyukur jika mendapat hukuman cambuk. ”Dia merasa sangat bahagia karena hanya dicambuk sebab setelah dicambuk kembali bebas,” kata Nursiti. Justru korban pemerkosaan terpaksa pindah dari kampung tersebut karena trauma setiap kali melihat pelaku.
Walaupun digunakan qanun, kami berharap vonisnya penjara.
Kepala Subdirektorat IV Reserse Remaja, Anak, dan Wanita, Kriminal Umum Polda Aceh Komisaris Elfiana mengatakan, penyidik kepolisian sepakat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah penjara, bukan cambuk. ”Walaupun digunakan qanun, kami berharap vonisnya penjara,” kata Elfiana.
Adapun Koordinator Bidang Pidana Umum (PIDUM) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh Eddy Samrah mengatakan, meski pelaku dijerat dengan qanun, ancaman hukuman tetap tinggi, yakni maksimal penjara 16,6 penjara. Namun, Eddy mengatakan belum semua jaksa memiliki pengetahuan mendalam tentang Qanun Jinayah.
Eddy mengatakan tidak sedikit juga pelaku kejahatan seksual yang divonis cambuk dan dipenjara. ”Namun, di lapangan, masyarakat tidak percaya kalau pakai qanun vonisnya penjara,” kata Eddy.
Wakil Ketua TP PKK Aceh Dyah Erti Idawati mengatakan, selain penegakan hukum, pencegahan di tingkat keluarga dan lingkungan sangat penting. Dyah mengajak semua keluarga untuk meningkatkan kepedulian kepada anak agar tidak menjadi korban kekerasan seksual.