Keputusan Melanjutkan Pilkada Ancam Keselamatan Rakyat
›
Keputusan Melanjutkan Pilkada ...
Iklan
Keputusan Melanjutkan Pilkada Ancam Keselamatan Rakyat
Keputusan tetap melanjutkan tahapan pilkada dinilai mempertaruhkan nyawa banyak warga. Apalagi pesta demokrasi tersebut berlangsung di tengah kasus penularan yang terus meningkat.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan untuk melanjutkan pemilihan kepala daerah saat wabah belum terkendali dipastikan bakal memicu ledakan kasus dan kematian karena Covid-19. Hal ini dinilai bentuk kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia karena mempertaruhkan keselamatan banyak warga.
”Keputusan untuk tetap melanjutkan tahapan pilkada bagi kami merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena mempertaruhkan nyawa banyak warga, apalagi di tengah pemerintah yang dinilai gagal mengendalikan pandemi sejak tujuh bulan lalu,” kata Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) Indonesia, Al Hanif, dalam diskusi, Selasa (22/9/2020).
Al Hanif mengatakan, pemerintah seharusnya menunda pilkada sampai situasi wabah lebih dikendalikan yang diindikasikan dengan menurunnya penambahan kasus penularan hingga ambang aman menurut kriteria epidemiologis. Syarat lainnya, pemerintah harus menyiapkan kerangka kebijakan dan regulasi yang bisa menjamin perlindungan warga selama proses pilkada. Hal ini harus dikoordinasikan dengan asosiasi medis, epidemiolog, dan lembaga riset yang kredibel.
Alasan untuk melanjutkan pilkada dengan alasan menjalankan demokrasi konstitusional justru mengerdilkan makna demokrasi itu sendiri. (Al Hanif)
”Alasan untuk melanjutkan pilkada dengan alasan menjalankan demokrasi konstitusional justru mengerdilkan makna demokrasi itu sendiri. Demokrasi sesungguhnya mengatur hak-hak hidup, keselamatan warga, dan perlindungan kesehatan sebagai hak konstitusional,” tuturnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, pelaksanaan pilkada jelas bakal meningkatkan laju penularan. Bukan hanya saat pemilihan, risiko terbesar terutama saat mobilisasi sebelum pemilihan. Indonesia tidak bisa meniru negara lain, seperti Korea Selatan, yang tetap melaksanakan pemilihan karena mereka sudah bisa menurunkan laju penularan.
Seperti yang ditunjukkan Institute for Democraty and Electoral Asistance (IDEA), dua dari tiga negara yang dijadwalkan mengadakan pemilu pada 2020 telah memutuskan untuk menundanya. Sebagian negara yang tetap melanjutkan pemilihan, di antaranya Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
Dalam laporan IDEA, negara yang tetap menjalankan pilkada menerapkan pembatasan sangat ketat. Singapura dan Malaysia, misalnya, melarang kampanye terbuka. Sementara di Jepang, pemilihan gubernur Tokyo berlangsung seperti biasa, tetapi laju penularan di sana sudah terkendali.
Sementara itu, situasi di Indonesia saat ini tengah menuju puncak penularan. Penambahan kasus harian pada Selasa sebanyak 4.071 orang sehingga totalnya menjadi 252.923 kasus. Adapun jumlah kasus aktif sebanyak 58.788 sehingga menjadikan Indonesia urutan ke-13 terbanyak di dunia.
Penambahan korban meninggal sebanyak 160 orang sehingga total menjadi 9.837 orang. Dengan penambahan ini, tingkat kematian Covid-19 di Indonesia 3,9 persen lebih tinggi dari rata-rata global 3 persen.
Tingginya penularan juga bisa dilihat dari rasio positif di Indonesia yang sangat tinggi, yaitu 15,3 persen dalam sepekan terakhir, sedangkan secara total 14,3 persen. Rasio positif di Jakarta sepekan terakhir 12,5 persen, sedangkan rasio total 7,7 persen yang menunjukkan tren peningkatan.
Berdasarkan data laporcovid19.org, dari 261 kabupaten/kota yang hendak melangsungkan pilkada, sebanyak 163 daerah atau 62,5 persen memiliki jumlah kasus positif kumulatif di atas 50. Untuk tingkat provinsi, yang paling tinggi jumlah kasusnya secara berturut-turut adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu, Kalimantan Utara, Jambi, dan Sulawesi Tengah. Di antara daerah ini, baru Sumatera Barat yang sudah memenuhi standar minimal jumlah pemeriksaan sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 1 per 1.000 per minggu.
Sementara itu, penolakan terhadap pelaksanaan pilkada semakin meluas. Setelah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, koalisi sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti ICW, Kemitraan, kawalcovid19, laporcovid19, NETGRIT, Perludem, dan PSHK, juga menyerukan penundaan.
Salah satu alasan penolakan ini karena pihak-pihak yang terlibat dalam pilkada telah banyak yang positif Covid-19, di antaranya 60 bakal pasangan calon, 163 orang di jajaran Bawaslu mulai dari Sekretariat Bawaslu hingga Panwaslu kecamatan dan Panwaslu desa/kelurahan, 21 anggota staf KPU, dan 3 komisioner KPU, termasuk Ketua KPU.