Kendati anggaran Pilkada 2020 ditambah signifikan untuk pelaksanaan protokol Covid-19, pilkada dikhawatirkan menjadi kluster Covid-19. Hal ini menimbulkan kerentanan kesehatan masyarakat dan kualitas pilkada.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Untuk menggelar Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19, pemerintah menaikkan anggaran pilkada secara signifikan. Tambahan anggaran untuk menjalankan protokol kesehatan saja hampir sama dengan total anggaran Komisi Pemilihan Umum untuk Pilkada 2015. Namun, pilkada berbiaya besar di tengah pandemi ini dinaungi kerentanan terhadap kesehatan masyarakat dan kualitas pilkada.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total alokasi anggaran Pilkada 2020 di 270 daerah Rp 20,46 triliun atau naik Rp 5,23 triliun dari sebelumnya Rp 15,23 triliun. Kenaikan anggaran itu untuk kebutuhan penerapan protokol kesehatan Covid-19.
Anggaran itu berasal dari APBD Rp 15,23 triliun dan APBN Rp 5,23 triliun. Dari jumlah itu, anggaran dialokasikan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rp 15,01 triliun, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rp 3,93 triliun, dan pengamanan Rp 1,52 triliun.
Adanya sokongan dana untuk pilkada dari APBN juga baru muncul di pilkada kali ini. Di tiga gelombang pilkada serentak terdahulu, yakni tahun 2015 di 269 daerah, 2017 (101 daerah), dan 2018 (171 daerah), anggaran pilkada dari APBD.
Lebih dari dua kali lipat
Dengan total anggaran Rp 20,46 triliun, potensi biaya pilkada per pemilih sekitar Rp 193.000. Ini dihitung dari jumlah pemilih yang diperkirakan 105,8 juta, berdasarkan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) Pilkada 2020. Dari estimasi biaya pilkada per pemilih, anggaran untuk KPU mengambil porsi terbesar, sekitar Rp 141.800.
Sebagai pembanding, dalam catatan Kompas, di Pilkada 2015, biaya pilkada per pemilih dari KPU sekitar Rp 55.600. Dibandingkan estimasi biaya ini, kenaikan biaya per kapita Pilkada 2020 sekitar 2,5 kali lebih besar dibandingkan Pilkada 2015. Tentu dengan catatan, dalam lima tahun terjadi inflasi yang membuat komponen biaya pilkada juga naik.
Di sisi lain, di Pilkada 2020 ada tambahan 1 daerah yang menggelar pilkada, yakni Kota Makassar, Sulsel, yang sebenarnya ”ikut” gelombang Pilkada 2018. Namun, karena saat itu di pilkada dengan pasangan calon tunggal dimenangi kotak kosong, pilkada kembali digelar 2020.
Kenaikan anggaran signifikan di tengah pandemi dipengaruhi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang diperbanyak. Ini sebagai konsekuensi dari pengurangan jumlah pemilih per TPS dari semula maksimal 800 orang menjadi maksimal 500 orang. Selain itu, biaya yang besar juga untuk pengadaan alat perlindungan diri penyelenggara pemilu ataupun untuk pemilih, seperti masker, hand sanitizer, sarung tangan, pelindung wajah, dan disinfektan.
Beban tambahan
Kendati anggaran sudah ditambah untuk pelaksanaan protokol Covid-19, kelompok masyarakat sipil khawatir pilkada akan menjadi kluster Covid-19. Sebab, kepatuhan pada protokol Covid-19 oleh masyarakat, termasuk pasangan bakal calon beserta tim suksesnya, masih rendah. Ini terlihat dari pengumpulan massa saat pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada 2020 pada 4-6 September.
Sekretaris Jenderal Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan, Selasa (22/9/2020), mengingatkan risiko besar pilkada di tengah pandemi terhadap kerugian materi dan nonmateri.
”Kalau banyak warga terpapar Covid-19, ada beban tambahan yang harus ditanggung negara. Ujung-ujungnya APBN dan APBD yang harus menanggung biaya perawatan. Kalau ada yang meninggal, harus ada protokol khusus yang perlu anggaran. Fasilitasi untuk rumah sakit, dan prosesi jenazah, itu semua adalah efek domino ketika terjadi kluster pilkada. Itu belum termasuk risiko yang dihadapi dokter dan tenaga kesehatan yang selama enam bulan ini telah berjuang mati-matian menghadapi Covid-19,” katanya.
Misbah mengingatkan, pemikiran pilkada sebagai stimulus ekonomi tak hanya keliru, tetapi juga tak relevan. Keselamatan warga tak dapat dihitung hanya dengan anggaran dan anggaran sama sekali tidak bisa dijadikan alasan pembenar untuk meneruskan pilkada. ”Biaya kemanusiaan tidak bisa dihitung dengan rupiah. Keselamatan rakyat tak dapat disandingkan dengan harapan stimulus ekonomi yang membaik,” ujarnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengingatkan, pelaksanaan pilkada bakal meningkatkan laju penularan Covid-19. Risiko terbesar terutama saat mobilisasi sebelum pemilihan. Indonesia tak bisa meniru negara lain, seperti Korea Selatan, yang tetap melaksanakan pemilihan karena sudah bisa menurunkan laju penularan.
Sementara Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengingatkan, melanjutkan pilkada di saat pandemi tidak hanya berisiko berdampak pada kelancaran pilkada, tetapi juga dikhawatirkan berdampak pada kualitas pilkada. Padahal, di tiap pergelaran pilkada, seharusnya kualitas pilkada bisa ditingkatkan. Pergelaran pilkada seharusnya tak sekadar formalitas, agenda rutin setiap lima tahun yang wajib digelar. (REK/AIK/KRN/BOW/GAL)