Musim Semi Piringan Hitam
Beberapa tahun terakhir, jumlah penikmat musik dalam format piringan hitam terus bertambah. Kini, pada masa pandemi, saat semua orang beraktivitas di rumah, jumlah peminat piringan hitam semakin banyak lagi.
Sejak sekitar 70 tahun lalu, format piringan hitam telah berputar menyuguhkan rekaman audio, baik musik maupun pidato, di rumah-rumah. Pada masa pandemi Covid-19, ketika orang lebih banyak berdiam di rumah, piringan hitam belum berhenti. Penjualannya meroket melampaui format CD.
Akhir Agustus lalu, label independen asal Jakarta, Kolibri Rekords, mengumumkan perilisan album Here to Stay dari band Grrrl Gang dalam format piringan hitam. Penggemar band bercorak indie pop/rock yang terbentuk di Yogyakarta itu bereaksi cepat. Tak sampai seminggu, sekitar 200 keping ludes terpesan. Banyak yang gigit jari.
Sejatinya, album itu berisi sepuluh lagu lama bikinan trio yang terbentuk pada 2016 itu. Lagu-lagunya pernah termuat dalam dua album mini Stop the Madness (2017) dan Not Sad, Not Fulfilled (2018). Kedua album itu beredar dalam format CD (compact disc) dan juga digital. Pun begitu, format piringan hitamnya (sering disebut vinil, sesuai nama bahannya) laris manis, bahkan pada masa pandemi.
Baru kali itu Grrrl Gang punya album berbentuk piringan hitam. ”Kami merasa harus punya (album) format piringan hitam. (Daya tahannya) Sudah jelas, kan. Keluaran tahun 1960-an aja masih bisa didengarkan dengan baik. Jadi, tepat sebagai pendokumentasian rekaman kami waktu zaman masih kuliah. Penanda zamanlah,” kata Akbar Rumandung (24), pemain bas Grrrl Gang, Selasa (22/9/2020).
Lagu-lagu dalam Here to Stay itu memang mereka rekam ketika tiga personelnya masih kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Akbar dan vokalis Ni Wayan Angeeta Sentana kuliah di jurusan hubungan internasional, sedangkan gitaris Edo Kholif Alventa di jurusan ekonomi. Cuma Anggee yang masih kuliah.
Awalnya mereka tak menyangka bakal punya album berwujud piringan hitam. Akbar menuturkan, hal itu bermula dari ketertarikan label independen Damnably Records pada musik racikan mereka. Sejak 2006, label yang berbasis di London, Inggris, itu telah merilis piringan hitam band-band indie dari berbagai belahan dunia.
”Mereka menyukai (musik) kami karena film dokumenter tentang komunitas musik Yogyakarta, lalu menawarkan untuk merilis piringan hitamnya. Cocoklah dengan keinginan kami karena enggak mungkin mencetak di Indonesia,” kata Akbar. Sebagai informasi, Indonesia tak punya lagi mesin pencetak piringan hitam.
Selain memproduksi, label itu juga mengedarkannya ke pasar mancanegara. Disribusi dalam negeri ditangani Kolibri Rekords dan Langensrawa. Kata Akbar, penjualannya sampai ke Jepang, negara-negara ASEAN, dan yang paling laris di Amerika Serikat. Akbar menduga, publik indie di AS sudah terpapar dengan Grrrl Gang karena semestinya mereka tampil dalam festival megah South by South West (SXSW) di Austin, Texas, pada Maret silam, tetapi batal gara-gara Covid-19.
Mereka berkeinginan membuat lagi album piringan hitam untuk lagu-lagu baru kelak. Saat ini ada sejumlah materi baru yang sedang dimasak. ”Tapi, mungkin nanti ada format CD dan digitalnya dulu, baru piringan hitam. Untuk pasar Indonesia susah kalau cuma mengandalkan format piringan hitam saja. Pasarnya masih terbatas banget,” lanjut Akbar yang juga mengumpulkan album piringan hitam di rumahnya ini.
Sebelumnya, band metal Burgerkill juga melepas album simfoni Killchestra dalam rupa piringan hitam. Band dari Bandung ini justru menjadikan piringan hitam sebagai wujud utama. Berkas digital dan format CD dikeluarkan setelah piringan hitamnya ludes terjual sekitar 300 keping.
”Kualitas audio dari piringan hitam terbaiklah. Hasil produksi rekaman sebagus ini bakalan lebih enak didengar lewat piringan hitam,” kata Ebenz, gitaris Burgerkill, ketika ditanya alasannya memilih format piringan hitam. Dia juga seorang kolektor.
Baca juga : Satu Lagi Jejak Penting Burgerkill
Terus bertambah
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jamak terjadi band indie dalam negeri mengeluarkan album berformat piringan hitam. Band-band itu, di antaranya, adalah Pure Saturday, The Upstairs, Sore, White Shoes and the Couples Company, Bangkutaman, Homicide, Naif, dan Mondo Gascaro.
Album-album mereka masih diburu hingga sekarang. Harganya sudah melejit naik di pasaran. Album Matraman dari The Upstairs, misalnya, dijual di pasar loak dengan harga di atas Rp 750.000, tiga kali lipat dari harga ketika pertama kali diluncurkan.
Belakangan, label besar Musica Studio’s juga meluncurkan album penyanyi/band mereka dalam format ini. Tahun ini saja, Musica melepas album piringan hitam dari Geisha, Kahitna, dan Noah. Selain itu, Musica juga merilis ulang album lawas, di antaranya dari Iwan Fals (album Sarjana Muda dan 1910), Ebiet G Ade (album Camellia 1, Camellia 2, danCamellia 3), Candra Darusman (Kekagumanku), serta Chaseiro (Pemuda).
Sebentar lagi akan beredar pula album piringan hitam berjudul Puspa Ragam Karya Guruh Soekarno Putra yang dinyanyikan artis-artis Musica, seperti Iwan Fals, D’Masiv, dan Afgan. Sementara label independen Elevation Records akan melepas album lawas Gila: Live dari mendiang Gombloh.
Perputaran piringan hitam memang sedang kencang-kencangnya. Di Amerika Serikat, pada pekan terakhir Agustus, piringan hitam terjual sebanyak 802.000 keping atau naik 63 persen dibandingkan pekan sebelumnya. Angka itu mengungguli penjualan format CD yang membukukan penjualan sebanyak 751.000 keping. Data tersebut disarikan dari riset Nielsen Music/MRC Data, seperti dilansir situs Billboard.com.
Asosiasi Industri Rekaman Amerika Serikat (RIAA) menyebutkan, penjualan piringan hitam terus-menerus naik sejak 2005. Kenaikan itu masih terasa hingga enam bulan pertama 2020, yaitu 4 persen. Sementara penjualan CD anjlok 48 persen. Ini fenomena menarik. Sejak meraih popularitasnya pada 1980-an, CD merongrong keberadaan piringan hitam, juga kaset. Sepertinya 2020 mengubur cakram optikal itu.
Laris manis
Fenomena ini juga terasa di Indonesia. Denny Triyanto Sondjaja (38), pemilik toko piringan hitam Millers Records di Umalas, Denpasar, Bali, jadi lebih sibuk melayani pembeli sejak tiga bulan terakhir ini. Pembelian album di tokonya naik 50 persen dibandingkan bulan-bulan sebelum Juni 2020. Mayoritas pembelinya berusia 20-30 tahun.
”Orang-orang, kan, lebih banyak di rumah selama pandemi ini. Mereka jadi punya waktu lebih menekuni hobi. Ada orang yang menyibukkan diri dengan berkebun di rumah atau hobi bersepeda, ada juga yang lebih menekuni koleksi musiknya,” katanya.
Denny sempat menutup sama sekali tokonya pada masa awal pandemi. Dia hanya melayani penjualan daring. Baru sejak Agustus, pembeli bisa datang ke tokonya dengan janjian. Jam kedatangan dan jumlah pengunjung dibatasi. Setiap satu jam cuma boleh ada empat orang di dalam tokonya. Itu pun dengan protokol kesehatan. Belakangan, mulai banyak orang yang membuat janji untuk datang ke tokonya.
Di tokonya ada sekitar 6.000 keping piringan hitam, baik album baru maupun lama. Hampir setiap hari dalam sepekan ada barang baru. Setiap kedatangan bisa berjumlah 70-100 keping. Sebanyak itulah dagangan dan koleksinya.
Denny berjualan piringan hitam sejak Mei 2017, ketika masih tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah. Waktu itu belum punya toko. Sebelum itu, dia menjuali CD bekas koleksi pribadinya. ”Jualan CD bekas untuk beli piringan hitam karena enggak ada duit,” ujarnya.
Lama-kelamaan koleksi piringan hitamnya makin banyak. Dia mengimpornya untuk koleksi pribadi, juga untuk dijual. Dagangannya laris. Hingga pada November 2018, Denny mundur dari pekerjaan kantoran. Bersama istri, mereka cabut ke Bali dan membuka toko di sana.
Orang-orang, kan, lebih banyak di rumah selama pandemi ini. Mereka jadi punya waktu lebih menekuni hobi. Ada orang yang menyibukkan diri dengan berkebun di rumah atau hobi bersepeda, ada juga yang lebih menekuni koleksi musiknya.
Keputusan yang mengubah jalan hidupnya itu tak pernah dia sesali. Dia jadi banyak bertemu dengan sesama penggemar musik sekaligus menambah koleksi rekamannya—hal yang sangat dia senangi sejak lama.
Piringan hitam, sebagai media pengantar musik, bisa menjadi penghiburan, terlebih pada masa penuh rintangan seperti sekarang. Cakram ini juga bisa mengubah jalan hidup seseorang. Penggemarnya pantas berutang pada warisan dari abad silam ini.