Normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, dari sisi ekonomi, memang menggiurkan. Namun, kita harus memikirkan dampaknya terhadap eksistensi negara Palestina yang selama ini diperjuangkan Liga Arab.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Dinamika politik di Timur Tengah pascanormalisasi hubungan diplomatik beberapa negara Arab dan Israel mesti dicermati untuk memastikan nasib Palestina.
Terakhir ialah Sudan yang ingin membuka hubungan dengan Israel agar Amerika Serikat (AS) mencabut negara itu dari daftar negara teroris. Ketua Dewan Transisi Sudan Abdel Fattah al-Burhan sudah bertemu dengan para pemimpin Uni Emirat Arab (UEA) di Abu Dhabi. Di negara ini, Burhan menyatakan bahwa negaranya ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Keinginan itu dilandasi supaya AS mencabut status Sudan sebagai salah satu negara teroris, yang menyebabkan banyak sanksi (Kompas, 22/9/2020).
Sebaliknya, kantor berita AP menulis, selama Raja Arab Saudi Pangeran Salman bin Abdulaziz al-Saud berkuasa, tidak mungkin Saudi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. AP mengutip kembali wawancara Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) ketika berkunjung ke AS, April 2018. ”Ada banyak kepentingan yang kami dapat jika berbagi dengan Israel,” kata Pangeran MBS seperti ditulis The Atlantic.
Perubahan sikap Arab Saudi mulai tampak ketika Sheikh Abdulrahman al-Sudais, Imam Masjidil Haram dan sekaligus Kepala Pengelola Dua Masjid Suci (Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah), memberikan khotbah dalam salah satu khotbah shalat Jumat, 4 September 2020. Dalam khotbahnya, Sudais menguraikan isu hubungan antar-agama, hubungan anak-orangtua berbeda agama, dan Nabi Muhammad yang bertetangga baik dengan Yahudi saat beliau hidup di Madinah. Khotbah ini dimaknai semacam sinyal menuju dekatnya normalisasi Arab Saudi dan Israel.
Setelah Jenderal Omar el-Bashir tersingkir dari kekuasaan, Arab Saudi dan UEA menjanjikan dana talangan 3 miliar dollar AS, termasuk 500 juta dollar AS yang disuntikkan ke Bank Sentral Sudan. Riyadh mengatakan telah menyetor 250 juta dollar AS ke Bank Sentral Sudan sebagai bagian dari paket dukungan untuk negara itu setelah penggulingan Bashir.
Wajar jika sekarang para pengganti Bashir berunding dengan pemimpin UEA untuk bisa segera menormalisasi hubungan dengan Israel. Di bawah kepemimpinan Bashir, hubungan dengan Israel merupakan masalah yang sensitif di Sudan, yang merupakan salah satu musuh garis keras Israel.
Normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, dari sisi ekonomi, memang menggiurkan. Namun, kita harus berpikir dampaknya terhadap eksistensi negara Palestina yang selama ini diperjuangkan Liga Arab.
Terkait dengan Palestina, Dian Wirengjurit menulis, Bahrain dan UEA tidak mendapatkan konsesi apa pun dari normalisasi hubungan dengan Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap menolak menarik diri dari Tepi Barat, begitu pula dengan solusi dua negara (Kompas, 22/9/2020).
Perkembangan geopolitik di Timur Tengah yang dinamis sedikit banyak tergantung pada hasil pemilu AS nanti. Bagi Indonesia, perkembangan terus diikuti untuk memastikan masa depan Palestina dalam kerangka solusi dua negara.