Perencanaan Kota dengan Pendekatan Lingkungan dan Kesehatan untuk Hadapi Pandemi
›
Perencanaan Kota dengan...
Iklan
Perencanaan Kota dengan Pendekatan Lingkungan dan Kesehatan untuk Hadapi Pandemi
Kepadatan suatu wilayah tak selalu berbanding lurus terhadap tingkat penyebaran virus. Kota yang memiliki perencanaan dengan pendekatan kesehatan diyakini lebih punya daya tahan menghadapi pandemi.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perencanaan kota dengan pendekatan lingkungan dan kesehatan menjadi modal menghadapi situasi tak terduga, seperti pandemi. Pengalaman Singapura dan Selandia Baru bisa menjadi contoh.
Pendapat itu mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Knowledge Sharing on Urban Development: Learning from Cities Around the World in Response to Covid-19” yang diselenggarakan Kemitraan Habitat, Rabu (23/9/2020).
Pembicara dalam webinar tersebut, antara lain, Koordinator Urusan Ekonomi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Wellington, Selandia Baru, Panca Hendarto; Deputy Chief of Mission Embassy of The Republic of Indonesia in Singapore Didik Eko Pujianto, Senior Human Settlement Officer United Nation-Habitat Regional Office for Asian and the Pacific Bruno Dercon, dan Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Hadi Sucahyono.
Bruno mengatakan, masih banyak hal yang belum diketahui dari pandemi Covid-19. Seluruh pemangku kepentingan masih mempelajari bagaimana pola penyakit Covid-19. Sebab, ada sejumlah anomali dari beberapa kota di dunia.
Selama ini, teori yang dipahami adalah kepadatan penduduk di suatu kota berkorelasi terhadap tingkat penularan virus. Pemahaman itu, kata Bruno, masih dapat diperdebatkan.
Ia mengambil contoh pengalaman di perkampungan kumuh Nairobi di Kenya dan Mumbai di India. Dua daerah itu kepadatan penduduknya termasuk tinggi, tetapi memiliki tingkat penularan virus yang rendah.
”Ini menunjukkan kepadatan tidak terkait dengan tingkat penularan. Daerah yang lebih banyak punya akses keterhubungan (connectivity) cenderung menjadi episentrum pandemi,” kata Bruno.
Mengatasi hal itu, ada resep yang bisa digunakan pemerintah kota untuk meminimalkan dampak Covid-19, yaitu mengatasi ketimpangan, memperkuat kapasitas pemerintah lokal, dan mengedepankan pendekatan inovatif.
Mengatasi ketimpangan bisa ditempuh dengan cara merangkul dan memberi perhatian kepada kelompok masyarakat termarjinalkan. Upaya tersebut bakal memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat ketika menghadapi pandemi. Adapun memperkuat kapasitas pemerintahan lokal dapat diupayakan dengan kolaborasi antarpemerintah.
Pendekatan kesehatan
Selain itu, Bruno menekankan kota yang memiliki dokumen perencanaan dengan pendekatan kesehatan bakal lebih tahan terhadap angka kasus positif yang terus naik. Pengalaman Singapura dan Selandia Baru dapat menjadi contoh.
Kepadatan tidak terkait dengan tingkat penularan. Daerah yang lebih banyak punya akses keterhubungan cenderung menjadi episentrum pandemi.
Dalam kesempatan tersebut, Didik memaparkan upaya Pemerintah Singapura membangun kota dengan pendekatan lingkungan dan kesehatan. Di Singapura, perencanaan kota tertata rapi. Semua dipikirkan secara matang, mulai dari izin mendirikan bangunan hingga urusan menampung air hujan untuk berbagai kebutuhan.
Wilayah Singapura yang terbatas memaksa pemerintah setempat untuk memikirkan cara memenuhi kebutuhan air. Pembangunan gedung-gedung diarahkan secara vertikal atau menjulang ke atas karena keterbatasan lahan. Singapura dengan total jumlah penduduk mencapai 5,7 juta orang menjadi wilayah dengan kepadatan (density) nomor dua di dunia.
Visi Pemerintah Singapura yang kuat juga membuat kawasan hijau di sana mencapai dua pertiga dari seluruh kawasan. Kondisi itu membuat air hujan bisa terserap optimal. Saat hendak membangun gedung pun, aspek yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin adalah perencanaan sistem pembuangan limbah.
Karena kota dibangun dengan pendekatan lingkungan dan kesehatan, pada pertengahan Agustus 2020 Singapura mencatat penurunan tingkat penyebaran Covid-19. Kurva kasus Covid-19 di Singapura terus menurun sejak memasuki tatanan hidup baru (new normal) pada 19 Juni 2020. Capaian tersebut juga didukung dengan kemampuan pelacakan kontak secara akurat dan cepat yang melibatkan teknologi informasi.
”Lingkungan yang bagus bisa mengantisipasi munculnya pandemi. Kalau sudah bersih dan tertata rapi, saat terjadi sesuatu pun akan relatif lebih mudah mengantisipasi dan mengontrol,” kata Didik.
Konsep perencanaan kota berbasis pendekatan lingkungan dan kesehatan juga diterapkan Pemerintah Selandia Baru. Panca Hendarto mengungkapkan, pilar pembangunan di Selandia Baru berlandaskan konsep kota hijau dan kota kompak.
Seperti Singapura, Selandia Baru juga menaruh perhatian besar terhadap sistem sanitasi perkotaan. Pemerintah Selandia Baru mengatur sedemikian rupa aliran limbah dan sampah rumah tangga agar tak mencemari lingkungan.
Lingkungan yang bagus bisa mengantisipasi munculnya pandemi. Kalau sudah bersih dan tertata rapi, saat terjadi sesuatu pun akan relatif lebih mudah mengantisipasi dan mengontrol.
Terkait penanganan Covid-19, Selandia Baru melakukannya dalam skala nasional dan bukan lokal. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menginisiasi tim yang berisi semua elemen masyarakat, mulai dari akademisi hingga anggota parlemen. Mereka yang berada di dalam tim bahu-membahu menghadapi Covid-19.
Ada pula sistem peringatan berjenjang dari level 1 hingga 4. Di setiap jenjang atau level tersebut pemerintah setempat telah merancang prosedur standar operasi yang jelas. Level tertinggi adalah level 4, di mana itu menunjukkan situasi penyebaran Covid-19 mulai meningkat. Pilihan yang ada pada level 4 hanyalah penutupan sementara aktivitas (lockdown) seluruh kota.
”Level ini sangat efisien dilaksanakan dan efektif karena semua rakyat Selandia Baru sudah terbiasa mengalami naik turunnya level ini,” ucapnya.