Indonesia dipastikan jatuh ke jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 dipastikan minus. Dampak resesi diminimalisasi melalui intervensi program pemulihan ekonomi nasional.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat memiliki daya tahan yang cukup kuat untuk menghadapi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Diperkirakan, dampak resesi akan lebih terasa pada kelompok masyarakat kelas atas ketimbang kelas menengah dan bawah.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, berpendapat, ketahanan masyarakat ketika resesi tidak akan mengkhawatirkan. Syaratnya, stabilitas domestik terjaga. Sebab, konsumsi masyarakat tetap menjadi penggerak roda ekonomi kendati mulai terbatas.
Dampak resesi akan lebih terasa pada kelompok 20 persen teratas dan sebagian kelompok 40 persen menengah. Aset mereka merosot seiring aktivitas ekonomi yang melemah. Akibatnya, konsumsi rumah tangga juga terganggu.
Sementara daya tahan kelompok 40 persen terbawah relatif kuat, berkaca dari resesi dan krisis yang pernah terjadi. Mereka memiliki tingkat penyesuaian diri yang tinggi untuk bertahan hidup. Namun, daya tahan kelompok ini akan bermasalah jika terjadi disrupsi dan kecemburuan sosial.
”Masyarakat kelas bawah akan tetap hidup walaupun tertatih-tatih asalkan pemerintah tidak membuat kebijakan blunder,” kata Enny yang dihubungi pada Rabu (23/9/2020).
Dalam kondisi resesi, stabilitas domestik merupakan hal yang menentukan. Pemerintah jangan membuat kebijakan yang memicu disrupsi dan kecemburuan sosial kelas bawah. Kondisi resesi semestinya tidak dijadikan momen atau aji mumpung melancarkan kebijakan reformasi tak penting.
Menurut Enny, isu-isu yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan di masa resesi harus dihindari. Misalnya, perihal penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, subsidi untuk kelas atas, serta pembahasan RUU Cipta Kerja yang kerap dibarengi aksi demonstrasi.
”Dalam kondisi krisis ataupun resesi, yang penting adalah stabilitas yang terjaga. Di masa pandemi, orientasi bukan mendorong pertumbuhan, tetapi pro-stabilitas didukung kebijakan proporsional,” ujar Enny.
Dalam kondisi resesi, stabilitas domestik merupakan hal yang menentukan.
Pemerintah kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 menjadi kisaran negatif 1 hingga negatif 2,9 persen. Oleh karena itu, Indonesia dipastikan masuk ke jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi terjebak di zona negatif selama dua triwulan berturut-turut. Pada triwulan II-2020, perekonomian tumbuh minus 5,32 persen.
Enny menambahkan, kontraksi perekonomian triwulan III-2020 bisa lebih dalam dari proyeksi pemerintah. Sebab, konsumsi rumah tangga dan investasi yang menopang sekitar 85 persen produk domestik bruto (PDB) berpotensi terkontraksi lebih dalam. Potensi ini terpantau dari sejumlah data.
Salah satunya, konsumsi rumah tangga kelompok 20 persen teratas dan 40 persen kelas menengah masih tertahan. Kondisi ini terefleksi dalam pertumbuhan dana pihak ketika dengan nilai di atas Rp 5 miliar dan di atas Rp 100 juta yang tumbuh hingga dua angka pada Juli-Agustus 2020.
Di sisi lain, indikator kinerja investasi dari aspek pembiayaan kredit tumbuh sangat lemah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pertumbuhan kredit sampai dengan Agustus 2020 hanya 1,04 persen secara tahunan.
”Sekalipun bantuan perlindungan sosial efektif, tetapi tidak bisa mengompensasi penurunan konsumsi di kelompok kelas atas dan menengah,” kata Enny.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pertumbuhan ekonomi belum bisa bangkit ke zona positif karena konsumsi rumah tangga belum pulih. Di sisi lain, kinerja investasi, ekspor, dan impor terkontraksi semakin dalam. Perekonomian pun hanya bertumpu pada belanja pemerintah.
Belanja pemerintah pada triwulan III-2020 diproyeksikan tumbuh positif 9,8-17 persen. Optimalisasi belanja pemerintah diharapkan menjadi stimulus kendati kontribusinya terhadap PDB hanya sekitar 8 persen.
Risiko diperkecil
Pada Rabu, Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Raden Pardede menuturkan, resesi yang akan dialami Indonesia sudah diminimalisasi. Pemerintah telah mengintervensi jaring pengaman sosial, kesehatan, keuangan, dan sektor riil untuk mencegah efek domino pandemi Covid-19.
Intervensi terbaru yang akan dilakukan pemerintah adalah merealokasi anggaran program PEN. Alokasi anggaran bantuan sosial dan dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ditambah untuk memperluas perlindungan bagi masyarakat miskin dan rentan.
”Tanpa intervensi, Indonesia bukan hanya akan mengalami resesi, melainkan juga resesi hebat,” kata Raden.
Kebijakan ekonomi pragmatis kini dilakukan hampir semua negara, termasuk Indonesia. Pemerintah berperan dominan karena tak satu pun yang mampu menanggung dampak ekonomi selama pandemi Covid-19. Target pemerintah dalam jangka pendek adalah mengurangi dampak resesi dan menjamin kesehatan masyarakat.
Tanpa intervensi, Indonesia bukan hanya akan mengalami resesi, melainkan juga resesi hebat.
Adapun target jangka menengah membuat Indonesia kembali tumbuh dan bertransformasi. Pada 2023, perubahan struktural mulai dilakukan dengan berbasis teknologi digital agar bisa berkompetisi dan bersaing secara global.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menambahkan, ketidakpastian masih tinggi karena kurva kasus Covid-19 Indonesia belum stabil. Bahkan, belum ada indikasi mencapai puncak pada fase pertama. Edukasi protokol kesehatan sangat penting untuk menjaga daya tahan masyarakat.
Namun, perubahan perilaku untuk menaati protokol kesehatan bukan perkara mudah. Perubahan perilaku ini sebaiknya melalui pendekatan budaya. Indonesia tak akan mampu mengatasi pandemi Covid-19 dengan cara-cara kuratif.