Wakil Ketua KPK: Kewenangan dan Tugas KPK Tidak Berubah
›
Wakil Ketua KPK: Kewenangan...
Iklan
Wakil Ketua KPK: Kewenangan dan Tugas KPK Tidak Berubah
Pimpinan KPK menegaskan, tak ada pelemahan terhadap komisi antikorupsi ini pascarevisi UU KPK. Tugas dan kewenangan KPK tetap, hanya ada perubahan prosedur. Masyarakat sipil menilai, KPK tak lagi bisa diharapkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata menegaskan, KPK tidak dilemahkan karena adanya revisi Undang-Undang KPK yang terjadi setahun yang lalu. Kewenangan dan tugas KPK tidak berubah meskipun ada perubahan prosedur.
Saat dihubungi di Jakarta, Selasa (22/9/2020), Alex menceritakan, dirinya telah mengalami menjadi pimpinan KPK di masa sebelum dan sesudah revisi UU KPK. Ia tidak merasakan ada perubahan kewenangan dan tugas KPK dalam memberantas korupsi. Menurut Alex, KPK juga tidak dilemahkan karena tetap bekerja seperti biasa seperti sebelum UU KPK direvisi.
”Kewenangan dan tugas KPK tidak berubah. Bahkan, pada Pasal 6 justru ditambahi satu ayat, yakni melaksanakan eksekusi putusan pengadilan. Selebihnya sama semua diambil. Cuma urutannya diubah. Kalau dulu pencegahan itu huruf d sekarang menjadi urutan pertama,” kata Alex.
Kewenangan dan tugas KPK tidak berubah. Bahkan, pada Pasal 6 justru ditambahi satu ayat, yakni melaksanakan eksekusi putusan pengadilan. (Alexander Marwata)
Menurut Alex, hal tersebut menunjukkan prioritas kerja KPK. Apalagi, pemerintah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Pencegahan didahulukan, tetapi tidak menghilangkan penindakan karena masih diatur di Pasal 6 Huruf e UU Nomor 19 Tahun 2019. Dalam pasal itu disebutkan, KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Ia pun menampik anggapan bahwa keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK menghambat kewenangan KPK melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Sebab, sejauh ini izin penyadapan yang diajukan ke Dewas KPK tidak ada yang ditolak.
Perbedaannya dengan sebelum ada revisi UU KPK hanya terletak pada prosedurnya yang berubah. Sebelum ada revisi UU KPK, surat perintah penyadapan ditandatangani pimpinan dan tidak memerlukan izin. Adapun setelah ada revisi UU KPK, surat perintah penyadapan harus diajukan ke Dewas. Setelah disetujui Dewas, pimpinan dapat menerbitkan surat tersebut.
Keberadaan Dewas KPK justru untuk memastikan bahwa aturan-aturan yang ada diikuti.
Ia menegaskan, keberadaan Dewas justru untuk memastikan bahwa aturan-aturan yang ada diikuti. Selain itu, orang yang menjadi tersangka juga diperhatikan haknya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya evaluasi triwulan.
”Banyak masukan yang diberikan Dewas kepada KPK. Ada juga hal-hal yang jadi temuan Dewas. Itu jadi bahan pimpinan KPK untuk melakukan perbaikan. Jadi mungkin sebelum ini seolah-olah tidak ada yang koreksi karena semua berhenti di pimpinan. Seolah-olah pimpinan merasa semua baik-baik saja. Sekarang ada Dewas sehingga ada yang mengingatkan dan mengoreksi ketika ada yang kurang. Itu saja,” kata Alex.
Ia mengakui, sebelum revisi UU KPK ada penasihat. Namun, mereka hanya sebatas memberi saran kepada KPK.
Adapun Dewas juga memiliki kewenangan dalam menegakkan kode etik. Ketika ada pimpinan atau pegawai KPK yang dilaporkan masyarakat melakukan tindakan tidak etis, Dewas bisa memprosesnya. Salah satunya terjadi pada Ketua KPK Firli Bahuri.
Firli diduga melanggar kode etik KPK setelah menggunakan helikopter mewah untuk kepentingan pribadi dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan, Juni 2020. Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri sudah mengumumkan, sidang pembacaan putusan Firli akan dilakukan secara terbuka pada Kamis (24/9/2020).
Alex menegaskan, Dewas menjadi bagian fungsi kontrol. Karena itu, ia tidak merasa KPK dilemahkan karena adanya revisi UU KPK dan keberadaan Dewas KPK.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mengungkapkan rasa pesimistisnya terhadap KPK dalam kegiatan Malam Sarasehan Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK bertajuk ”Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi”. Kegiatan ini diselenggarakan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM).
Menurut Azyumardi, meskipun Dewas memberikan hukuman berat kepada Firli, hal tersebut tidak akan memecahkan masalah. Sebab, inti dari permasalahannya tidak terpecahkan. Masalah tersebut terkait dengan komisioner yang terpilih melalui proses yang ditetapkan UU hasil revisi.
Hal serupa juga terjadi pada Dewas. Ia mengakui, secara personal anggota Dewas merupakan orang baik. Namun, mereka diangkat oleh Presiden dan bukan oleh masyarakat sipil.
Tidak banyak yang bisa diharapkan dari KPK saat ini. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya penanganan kasus besar baru, bahkan hanya melanjutkan kasus dari masa lalu.
Oleh karena itu, tidak banyak yang bisa diharapkan dari KPK saat ini. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya penanganan kasus besar baru, bahkan hanya melanjutkan kasus dari masa lalu.
Menurut Azyumardi, situasi tersebut terjadi karena pimpinan negara ini tidak memiliki kemauan politik untuk memberantas korupsi. Bahkan, mereka bersekongkol untuk merevisi UU KPK. Ia menilai, situasi ini tidak akan ada perubahan sampai 2024.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengungkapkan, saat ini korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa karena adanya revisi UU KPK. Proses penindakan sangat birokratif, padahal dalam menindak kejahatan korupsi dibutuhkan kecepatan.
Independensi KPK juga sudah hilang karena mereka menjadi bagian dalam rumpun kekuasaan eksekutif. KPK juga tidak dapat mengeluarkan produk hukum sendiri karena harus melakukan konsultasi kepada pemerintah. Sementara itu, pada UU No 30/2002 tanggung jawab KPK kepada publik.