Pekerja migran Indonesia saat bekerja di luar negeri meninggalkan anak-anak mereka di kampung halaman. Sebagian diasuh oleh salah satu orangtua (ayah/ibu) atau pengasuh pengganti dan menimbulkan banyak persoalan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Kendati hidup di tengah masyarakat dan menghadapi berbagai persoalan, keberadaan anak-anak dari pekerja migran di sejumlah daerah hingga kini sering luput dari perhatian pemerintah. Sejumlah anak pekerja migran, yang ditinggalkan orangtuanya, terutama yang tinggal bersama pengasuh pengganti, tidak mendapat pengasuhan seperti layaknya anak yang lain.
Selain lekat dengan stigma negatif, buruknya pengasuhan terhadap anak-anak pekerja migran memberi dampak yang besar bagi tumbuh kembang anak. Bahkan, sejumlah anak yang tinggal bersama orangtua (salah satu, ayah atau ibu) atau pengasuh (wali) rentan putus sekolah, menjadi korban perkawinan anak, bahkan ada anak yang berhadapan dengan hukum.
Situasi dan kondisi anak pekerja migran menjadi salah satu topik yang dibahas dalam pada Festival Inklusif 100 Persen, Rabu (23/9/2020) yang berlangsung secara daring. Festival Inklusif 100 Persen yang bertema ”Di Mata Semesta, Kau dan Aku Sama” pada sesi Webinar 5 yang mengangkat topik ”Yang Belia Yang Ceria: Mengarusutamakan Pola Pengasuhan Bersama untuk Anak Pekerja Migran (APM)”. Festival tersebut berlangsung sejak Senin (21/9/2020).
Anak pekerja migran yang ada di desa kami sering kali mendapatkan stigma dari orang dewasa. Masih ada beberapa tanpa identitas hukum, tidak masuk dalam kartu keluarga, dan tidak punya akta kelahiran.
”Anak pekerja migran yang ada di desa kami sering kali mendapatkan stigma dari orang dewasa. Masih ada beberapa tanpa identitas hukum, tidak masuk dalam kartu keluarga, dan tidak punya akta kelahiran. Karena minim kasih sayang, anak pekerja migran melakukan perkawinan pernikahan usia anak,” ujar Cindy Purnama Putri, Ketua Forum Anak Desa (FAD) Pandan Wangi (Pandawa), Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Selain Cindy, pada Webinar 5 tersebut tampil juga pembicara lain, yakni Agustina Lingu Lango (Komunitas Umma Pande Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur), Hikmah Bafaqih (anggota DPRD Jawa Timur), dan Sutiah (Manajer Program Peduli Lembaga Pengkaji Kemasyarakatan dan Pembangunan Jawa Timur).
Cindy, yang mewakili anak-anak dari desa di NTB yang menjadi kantong pekerja migran Indonesia (PMI), mengungkap, pada tahun 2018, di Desa Pandan Wangi terdapat 425 APM, dengan jumlah anak laki-laki 245 orang dan anak perempuan 178 orang.
Berbagai problem APM dipaparkan Cindy, termasuk tidak terdatanya APM dalam administrasi kependudukan sejumlah APM di desanya sehingga banyak APM tidak bisa mengakses program bantuan sosial pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat, dan layanan bantuan sosial lainnya. ”APM tidak mendapatkan bantuan juga karena tidak tahu bagaimana sistem pembagiannya. Faktanya, di desa kami banyak anak yang tidak mendapatkan bantuan tersebut,” papar Cindy.
Seperti Cindy, Agustina Lingu juga berbagi cerita tentang pola pengasuhan bersama bagi anak pekerja migran melalui Umma Pande, rumah pintar yang dihadirkan untuk anak-anak di Desa Wee Limbu-Mawo Dann, Kecamatan Wewewa Timur, Sumba Barat Daya.
Umma Pande merupakan bagian dari Program Peduli LPKP Jatim sejak tahun 2014 yang dilaksanakan bersama YPK-Donders. Umma Pande fokus pada pengorganisasian dan pola pengasuhan pada anak-anak, khususnya APM yang selama ini belum mendapatkan layanan, khususnya perlindungan dan pendidikan yang baik dan benar.
Selain pendataan APM, Umma Pande juga membuka layanan adminduk bagi APM dan orangtua asuh, serta melakukan pelayanan pendidikan melalui pendidik sebaya bimbingan konseling bagi guru di sekolah-sekolah yang ada di desanya.
Pada webinar itu, Sutiah mengungkapkan tentang situasi dan kondisi APM di sejumlah daerah yang menjadi wilayah Program Peduli, yakni NTB (Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur), Nusa Tenggara Timur (Sumba Barat Daya dan Sumba Timur), Jawa Timur (Jember dan Malang), serta Jawa Barat (Tasikmalaya).
Di wilayah tersebut terdapat 3.157 APM, yang kondisinya mengalami berbagai persoalan dan kerentanan, antara lain pengasuhan ala kadar, perlakuan salah, kekerasan dan eksploitasi, serta tidak diakui keberadaannya.
APM membutuhkan perhatian
Terkait kondisi APM, Hikmah Bafaqih yang juga Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim menyatakan, anak-anak yang tumbuh tanpa pengasuhan orangtua sesungguhnya membutuhkan perhatian dari lingkungan sekitarnya. Namun, kenyataannya, perhatian terhadap APM cenderung rendah. Bahkan, ketika ada APM yang nakal dan bermasalah secara akademis dan pergaulan, hal itu dianggap wajar. APM perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan seksual.
”Ironisnya, di beberapa basis pekerja migran, ada yang bahkan beranggapan APM adalah anak beruntung karena setidaknya terjamin secara ekonomi sekalipun tumbuh tanpa salah satu atau kedua orangtua,” papar Hikmah, seraya mengatakan, walaupun tumbuh dalam lingkungan yang buruk, ada juga APM yang berprestasi meski tumbuh tanpa asuhan lengkap orangtuanya.
Oleh karena itu, menurut Hikmah, negara harus hadir memberikan perlindungan kepada APM karena anak-anak tersebut merupakan bagian kelompok marjinal. Keterlibatan negara terutama dalam intervensi atas program perlindungan.