Pasar Terapung Lok Baintan Menatap Pandemi dan Regenerasi
Pandemi Covid-19 menyurutkan kunjungan wisatawan ke Pasar Terapung Lok Baintan di Kalimantan Selatan. Namun, masa depan keberlanjutan pasar terapung itu bergantung pada regenerasi penjual berperahu.
Pandemi Covid-19 menyurutkan kunjungan wisatawan ke Pasar Terapung Lok Baintan di Kalimantan Selatan. Namun, kondisi itu tidak menyurutkan semangat para pedagang untuk tetap berjualan. Di samping untuk mengais rezeki, mereka juga berjuang menjaga tradisi agar tetap lestari.
Pasar Terapung Lok Baintan di aliran Sungai Martapura, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, menjadi satu-satunya pasar terapung yang masih alami dan juga ramai di Kalsel. Masih ada ratusan pedagang di pasar rakyat yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17 itu.
Akhir Agustus lalu, ratusan pedagang berkumpul di Dermaga Pasar Terapung Lok Baintan. Sembari menunggu pembagian paket bantuan bahan kebutuhan pokok dari Pemerintah Provinsi Kalsel, mereka juga menanti pembeli. Ada 300 paket bahan kebutuhan pokok yang dibagikan. Namun, jumlah pedagang yang turun berjualan lebih dari itu.
Baca juga: Pedagang Pasar Terapung di Kalimantan Selatan Diberi Bantuan Bahan Pokok
Beberapa pedagang bergegas mengayuh perahunya ke tengah sungai begitu ada perahu bermotor atau kelotok datang membawa wisatawan. Mereka mengerumuni kelotok wisatawan seperti semut mengerumuni makanan. ”Ayo beli lah, bagi-bagi rezeki sama acil (bibi) dan paman di sini,” kata para pedagang merayu dan tak jarang pula sambil berpantun.
Pedagang girang ketika pengunjung membeli dagangan mereka meski belanjanya hanya Rp 10.000 atau Rp 20.000. ”Selama musim korona ini paling banyak dapat Rp 50.000. Kadang-kadang tidak dapat sama sekali,” kata Ainiah (42), penjual buah-buahan.
Sebelum pandemi, Ainiah bisa mendapat Rp 300.000 setiap kali turun berjualan. Wisatawan banyak datang, terlebih pada akhir pekan, sehingga dagangannya juga laris. ”Selama hampir empat bulan sakit betul karena tidak ada wisatawan,” ujarnya.
Kalau Sabtu dan Minggu agak lumayan, bisa 5-6 kelotok yang datang.
Sarbani (53), pedagang lain, menuturkan, pasar terapung tetap buka selama masa pandemi meski tidak ada wisatawan yang datang. Pasar rakyat di atas Sungai Martapura yang hanya digelar pada pagi hari, dari pukul 05.00 sampai 09.00 Wita, itu seperti kembali ke jati dirinya, yakni untuk melayani pembeli dari masyarakat sekitar.
Sejak dulu, salah satu aktivitas khas pasar terapung yang masih bertahan adalah berlangsungnya sistem barter di antara pedagang. Mereka yang menjual buah-buahan, misalnya, menukar barangnya kepada pedagang bahan makanan pokok.
”Kami tetap berjualan seperti biasa karena ada saja warga yang berbelanja. Selain itu, kadang-kadang ada juga pedagang dari pasar-pasar (tradisional) di Banjarmasin yang membeli sayur dan buah-buahan di sini untuk dijual lagi,” katanya.
Menurut Sarbani, kunjungan wisatawan lokal ke Pasar Terapung Lok Baintan mulai ada lagi sejak awal Agustus atau pada masa adaptasi kebiasaan baru. Namun, jumlahnya masih sedikit. Pengunjung dari Banjarmasin biasanya datang dengan naik kelotok. ”Kalau Sabtu dan Minggu agak lumayan, bisa 5-6 kelotok yang datang,” ujarnya. Satu kelotok bisa membawa 10-15 orang.
Bergeser
Pasar terapung ada sejak 1530 atau saat Kesultanan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah. Pasar itu semula terletak pada pertemuan Sungai Karamat dan Sungai Sigaling di Kota Banjarmasin, kemudian bergeser ke tepi Sungai Barito di daerah muara Sungai Kuin menjelang akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17.
Pasar terapung di Sungai Martapura, Desa Lok Baintan, muncul kemudian, yaitu ketika Keraton Banjar pindah ke kawasan Kayutangi, Martapura, awal abad ke-17.
Keberadaan pasar terapung terkait erat dengan budaya sungai atau perairan dalam kehidupan masyarakat Banjar. Di masa lalu, sungai-sungai sangat strategis dan fungsional untuk berbagai keperluan dan sumber penghidupan. Di muara dan sepanjang sungai sudah pasti terdapat pelabuhan, permukiman, dan pusat perdagangan.
Dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalsel Nomor 11 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Kalsel, pasar terapung ditetapkan sebagai destinasi unggulan. Pada 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menetapkan pasar terapung sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.
Di Kabupaten Banjar, Pasar Terapung Lok Baintan termasuk jenis wisata sejarah dan budaya. Lokasinya sekitar 30 kilometer (km) dari Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar, dan hanya sekitar 10 km dari Kota Banjarmasin. Akses menuju ke sana bisa lewat jalur sungai ataupun lewat jalan darat. Jalannya kini sudah berupa jalan blok beton (paving block) dan bisa dilintasi mobil.
”Keaslian Pasar Terapung Lok Baintan masih kami pertahankan. Itulah yang menjadi keunikan dan daya tariknya. Itu juga yang membedakannya dari pasar terapung di Banjarmasin,” kata Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar Aidy Hikmatullah, Jumat (18/9/2020).
Di Banjarmasin, pada era 1990-an, keberadaan Pasar Terapung Muara Kuin sangat dikenal. Namun, kini kondisinya sudah sepi dan mati suri. Sejak 2013, Pemerintah Kota Banjarmasin merekayasa pasar terapung di Sungai Martapura, Jalan Pierre Tendean. Pasar terapung itu berada di jantung Kota Banjarmasin dan digelar setiap akhir pekan. Namun, karena situasi pandemi, Pasar Terapung Banjarmasin ditutup sejak Maret lalu.
Baca juga: Keaslian Pasar Terapung Lok Baintan Dipertahankan
Menurut Aidy, konsep wisata di Pasar Terapung Lok Baintan semula hanya menyaksikan para pedagang berjualan di atas perahu. Namun, lambat laun pedagang juga menjajakan dagangan kepada wisatawan dan akhirnya malah bergantung pada belanja wisatawan. ”Karena belum banyak wisatawan, kami akhirnya mendorong instansi-instansi di pemerintah daerah (pemda) untuk belanja ke sana,” katanya.
Saat menyambangi pedagang pasar terapung, pemda juga sekaligus menyosialisasikan penerapan protokol kesehatan kepada para pedagang. Mereka diminta untuk selalu pakai masker, rajin cuci tangan, dan menjaga jarak. ”Jangan sampai ketika wisatawan datang, penyakit (Covid-19) juga datang,” ujarnya.
Aidy menyampaikan, ada sekitar 500 pedagang yang biasa berjualan di Pasar Terapung Lok Baintan. Namun, tidak sebanyak itu juga yang turun berjualan setiap hari. Pedagang biasanya banyak turun saat ada kegiatan ataupun acara besar di Kalsel. ”Pandemi saat ini memang menyulitkan, tetapi tidak sampai mematikan budaya asli,” katanya.
Beradaptasi
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Banjarmasin, Halimatus Sakdiah, dalam artikelnya berjudul Peran Pedagang Perempuan Pasar Terapung dalam Melestarikan Tradisi dan Kearifan Lokal di Kalimantan Selatan (2016) menyebutkan, fenomena perubahan yang terjadi di pasar terapung ditentukan oleh faktor endogen dan eksogen.
Faktor endogen yaitu faktor dalam diri pedagang, meliputi usia, motivasi, dan gaya hidup. Sedangkan faktor eksogen yaitu faktor luar, meliputi faktor politik, seperti kebijakan pemerintah dalam pembangunan jalan, jembatan, serta pembangunan pasar tradisional, pasar modern, dan minimarket. Faktor luar juga meliputi faktor ekonomi, geografis, musim, dan cuaca.
Menurut Halimatus, salah satu alternatif yang bisa diaktualisasikan untuk mempertahankan kearifan lokal pasar terapung sesuai teori Talcott Parsons (1902-1979), pasar terapung sebagai suatu sistem ibarat makhluk hidup.
”Agar dapat terus berlangsung hidup, para pedagang harus dapat beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya, harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung,” katanya.
Menurut Penjabat Kepala Desa Lok Baintan Sutera Yudi, tantangan terbesar melestarikan Pasar Terapung Lok Baintan pada masa kini bukanlah pandemi, melainkan regenerasi. Hal itu mengingat usia pedagang yang berjualan sudah tidak lagi muda, rata-rata sudah berusia 40 tahun ke atas.
Pemuda dan pemudi Desa Lok Baintan kini memilih bekerja di Banjarmasin atau Martapura. Mereka tidak mau berjualan di pasar terapung karena gengsi. Orangtua mereka juga tidak ingin anaknya berjualan di pasar terapung. ”Kami tetap mendorong generasi muda untuk ikut menjaga budaya pasar terapung. Kalau tidak, lambat laun pasar terapung akan punah,” katanya.
Hilangnya budaya pasar terapung sudah terjadi pada Pasar Terapung Muara Kuin di Banjarmasin jauh sebelum pandemi. Pasar itu mati suri karena perubahan sosial dan budaya masyarakat setempat, yang beralih dari kehidupan sungai ke darat sehingga tidak ada regenerasi pedagang berperahu. Pada akhirnya, kelestarian pasar terapung sangat ditentukan oleh regenerasi, bukan pandemi.