Hari Itu, Laut Sedang Pasang
Bhari melepas cengkeraman di leher adiknya. Ia melihat dari atas sampai bawah wanita paruh baya itu. Setelah sudah ingat, ia malah membuang muka lalu membanting pintu kamar.
Bhari duduk di dermaga, lalu mengedar pandangan di cakrawala. Ia iri pada ombak yang mengajak buih-buih untuk bersama bergulung, berkejaran, tanpa meninggalkan satu sama lain
”Ayo, bujang!” Bang Toni menepuk bahu Bhari, membuyarkan lamunannya.
Bang Toni si Batak-Jawa, dengan tampang garang, namun mudah trenyuh. Apalagi ketika Bhari menceritakan bahwa ia dan kedua adiknya sudah dua hari tidak memegang uang. Bahkan denting recehan pun tak terdengar sayup-sayupnya.
Lampu pijar dinyalakan. Bhari menebar jala, dibantu anak buah Bang Toni. Sesekali Bhari memukul-mukul air dengan galah, agar ikan mau mendekat. Setelah dua jam menunggu, jala yang ditebar itu tampak dipenuhi ikan.
Maka setelah tugas itu rampung menjelang dini hari, Bang Toni pasti melebihkan upahnya terkhusus pada Bhari.
***
Bhari bangun agak siang. Itu pun setelah dicipratkan air oleh adik pertamanya, Nyiur.
”Kak, tolong dibaca.”
Setengah sadar, Bhari mengangguk. Nyiur menaruh selembar surat di telapak tangan Bhari. Dengan menarik napas panjang, Bhari membuka lipatan kertas itu. Bhari terbelalak saat membaca lembaran yang diberikan Nyiur.
”Tak bercanda ini? Tiga ratus ribu? Minggu depan?”
”Iya Kak, nanti aku lebih rajin jual bolunya. Itu kan biaya seragam pelantikan paskibra,” ujar Nyiur sambil menyodorkan kelingkingnya.
Bhari hanya menggeleng, lalu menggaruk-garuk kepala.
Dari kamar, Ardi, si bungsu keluar, menghampiri meja makan. Ia melongok,
”Tempe lagi, tahu terus!”
Sambil mengalungkan dasi SD-nya, Ardi bergegas berangkat sekolah, tanpa berpamitan. Membuat Bhari mengepalkan tangannya. Nyiur yang menyadari kakaknya tersulut emosi, bergegas menenangkannya. Gadis itu mengusap lembut, bahu Bhari, sambil menarik senyum tipis. Setidaknya emosi Bhari bisa sedikit turun.
Setelah dua adiknya pergi. Giliran Bhari bergegas ke sekolah, meski masih digelayuti kantuk. Sebagai siswa kejuruan Otomotif tingkat akhir, Bhari dan kawan-kawannya disibukkan dengan praktik. Rupanya, situasi ini membantu Bhari. Terutama jika guru pembimbing tak ada, ia bisa mencuri waktu untuk tidur sebentar.
Di perjalanan pulang, Bhari tak absen melirik gedung berlantai tiga itu. Sekolah pelayaran militer adalah mimpi yang dibunuh nasib.
Jika saja ayahnya tak celaka di pulau seberang; jika saja ibu tak minggat; jika saja adik bungsunya tak membuat naik darah setiap saat, dan berbagai pengandaian lainnya.
Beberapa meter sebelum sampai rumah, wanita setengah baya, berbadan tambun, dengan rambut sebahu mencegatnya. ”Anak sundal! Bilang adikmu kalau main bola jangan di halaman saya. Tak mau tahu, kamu harus ganti kaca jendela saya yang pecah!”
Kepalan tangan Bhari semakin kuat. Satu sisi ia marah pada adiknya, tapi di depannya, ada ibu-ibu dengan mulut yang membuat Bhari ingin cepat-cepat menjahitnya.
~~
Nyiur memerosotkan tubuhnya di teras rumah, untuk melepas penat. Gadis itu dapat tersenyum lega. Ia mengantongi seratus ribu lebih, setelah menjajakan bolu dari sekolah hingga ke tetangga-tetangga.
Dari jauh, wanita tinggi semampai berjalan ke arah Nyiur. Setelah semakin dekat, barulah wanita paruh baya itu memanggil.
”Yur, anakku!”
Wanita paruh baya menubruk Nyiur. Gadis itu baru ingat yang memeluknya adalah sang Ibu. Tak terasa ada sesuatu yang membasahi pipi Nyiur. Ia bergegas menyeka air matanya, menyuruh wanita paruh baya itu masuk.
”Jualanmu laris, Nak?”
Nyiur mengangguk antusias. Ia menawari makan ibunya, namun wanita paruh baya itu hanya ingin teh manis.
Ketika Nyiur sedang membuatkan teh manis, di ambang pintu bocah lelaki, dengan seragam lusuh berkeringat, dan sepatu yang dijinjing, menatap heran pada wanita yang duduk di rumahnya.
”Ardi!” seru wanita itu.
Bocah lelaki itu terdiam seraya mengingat-ingat. Kemudian ia berseru, ”Ibu!”
Keduanya berpelukan erat.
”Bagaimana sekolahmu, jagoan?”
”Lancar! Oh ya, Bu. Boleh minta jajan?” Tatapan Ardi memelas. Membuat wanita itu tak tega menolaknya. Ia memberikan dua lembar sepuluh ribuan. Ardi ke kamarnya untuk berganti baju. Sedang Nyiur juga menghidangkan teh lalu pamit sebentar untuk ganti seragam putih birunya.
Ketika Ardi hendak keluar, di ambang pintu sudah ada Bhari yang menghadang.
”Mau merusuh di mana lagi?”
”Tidak sengaja, Kak. Lagian kenapa bangun rumahnya di pinggir lapangan,” kilah Ardi.
Bhari yang emosinya sudah di ubun-ubun mencengkeram leher adiknya. ”Kalau kamu tidak tanggung jawab. Aku panggil polisi!”
”Hei, sudah! Bhari.”
Bhari melepas cengkeraman di leher adiknya. Ia melihat dari atas sampai bawah wanita paruh baya itu. Setelah sudah ingat, ia malah membuang muka lalu membanting pintu kamar.
Nyiur yang keluar dari kamar menanyakan ada keributan apa? Perempuan itu bercerita banyak pada Nyiur. Kemudian melintas Bhari tergesa-gesa. Perempuan itu menghampiri Bhari, seraya memberikan sebuah amplop coklat. Buru-buru Bhari menepisnya.
”Ke mana waktu Bapak sakit? Sibuk jual diri? Simpan uangmu. Kami masih bisa cari sendiri, daripada menerima uang yang tak tentu asalnya. Harus setebal apalagi muka kami mendengar ledekan keluarga pelacur. Dari Bapak ada, sampai meninggal.”
Perempuan itu menunduk. Ada sesuatu yang menancap di hatinya. Hasil melaut ayahnya di pulau seberang memang belum cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari, ditambah sewa rumah, dan keperluan sekolah. Air mata perempuan paruh baya itu hampir saja jatuh, namun bergegas ia membendungnya dengan punggung tangan.
Perempuan itu kembali duduk di samping Nyiur.
”Yur, boleh Ibu tinggal sebentar?”
”Memang Ibu mau ke kota lagi? Apa benar Ibu…” bibir Nyiur tertahan sambil menatap perempuan itu dalam-dalam.
Perempuan paruh baya itu paham kalimat yang tercekat dari mulut anaknya.
”Jangan percaya kata orang. Ibu di sana jadi barista.” Perempuan itu menjawab dengan senyum teduh.
~~
Semenjak ada Ibu di rumah, Bhari enggan untuk pulang. Ia lebih suka duduk di dermaga, sambil menunggu waktunya menangkap ikan bersama anak buah Bang Toni hingga menjelang dini hari.
”Dua bulan lagi ada lomba hias perahu pesta laut Nadran,” kata seorang anak buah Bang Toni.
”Ada hadiahnya, Bang?”
Anak buah Bang Toni mengangguk. ”500 juta, juara pertama.”
Tiba-tiba Bhari terpikir sesuatu. Ia akhirnya terpaksa pulang, menuju belakang rumah, membuka pintu gudang, menyibak terpal biru yang menutupi sesuatu. Setelah dibuka, sebuah perahu sepanjang enam meter, yang ditutupi debu, masih tampak anggun dan kokoh. Dua tahun lalu perahu sederhana itu masuk tiga besar di lomba hias pesta laut Nadran. Satu tingkat di bawah perahu milik Bang Toni, yang dikerjakan delapan anak buahnya.
Bhari menyisihkan upah dari Bang Toni untuk membeli hiasan perahu. Ia juga mengundang beberapa teman sekolahnya untuk membantu. Bagian depan, Bhari membuat patung putri duyung dengan taring dan rambut tergerai, didampingi sepasang lumba-lumba. Kemudian di belakang, ia juga membuat patung hiu raksasa sedang menyeringai. Sebenarnya, tinggal menambah sedikit pencahayaan, agar tampak lebih gagah.
~~
Ketika ibunya menghampiri ke tempat menghias perahu yang ada di kebun, Bhari malah tenggelam dengan kesibukannya. Ia tampak enggan mengucap sepatah kata pun.
Walaupun pesta laut baru dimulai lusa, kemeriahan sudah lebih dulu tiba, dengan adanya pasar malam di lapangan dekat pantai. Ardi, si bungsu, adalah yang paling semangat jika ada keramaian, ia bahkan menarik-narik kakaknya untuk segera jajan di pasar malam itu.
Sementara Bhari lebih suka mengagumi perahu yang ia selesaikan, daripada kemeriahan di lapangan balai desa. Tak lama, teman-teman Bhari mengajaknya ke pasar malam. Awalnya, pemuda berambut belah tengah itu menolak. Tapi, dipikir-pikir, tak salah menyegarkan diri sejenak. Akhirnya mereka berangkat meninggalkan perahu yang telah rampung.
Tanpa sepengetahuan Nyiur, Ardi diam-diam mengambil uang lima puluh ribuan untuk membeli kembang api. Menjelang tengah malam, Ardi dan teman kelasnya berkerumun di kebun. Namun, sebelum dinyalakan ada perdebatan hendak dipegang apa ditaruh saja kembang apinya. Namun menurut Ardi, lebih baik ditaruh saja, lalu diimpit beberapa batu bata.
Telepon Bang Toni berdering, air muka pria paruh baya itu seketika berubah. ”Kebakaran?! Di kebun?!” Bang Toni dan anak buah meninggalkan sebentar jaringnya, kembali ke dermaga.
Penduduk bahu-membahu memadamkan api. Bhari tersentak, seperti diberondong peluru, dan semuanya tepat sasaran. Menyakitkan! Begitu melihat perahu warisan yang dihias dengan dana pribadinya gosong seketika. Ia histeris dengan mata merah padam. Bahkan semalaman Bhari masih sesenggukan, hingga paginya ia bangun dengan kantong mata tebal menggelayut.
Baca juga : Buih
~~
Hari itu laut sedang pasang. Bhari membanting pintu. Ardi yang sedang berbaring di ruang tamu diseretnya ke tembok.
”Karena ulahmu bikin hasil kerja keras berhari-hari, ludes seketika!” gertak Bhari dengan napas menggebu-gebu.
Baru saja Ardi membuka mulut untuk menjelaskan. Namun tamparan lebih dulu mendarat di wajahnya. Lalu, dengan emosi yang meletup kencang, Bhari melayangkan tinju mentah ke ulu hati Ardi. Bocah sepuluh tahun itu terkapar dengan mulut keluar darah.
Nyiur yang baru pulang terkejut mengetahui adiknya terbujur kaku. Sementara Bhari tak sadar apa yang dilakukannya melebihi batas.
”Kakak kesetanan?!”
Ada tarikan napas panjang dari Ardi, lalu ia terpejam.
Tak ada denyut, ketika Nyiur memegang leher adik bungsunya.
”Pergi! Tak ada rumah yang sudi ditinggali pembunuh.” Nyiur mendorong Bhari kuat-kuat.
”Yur, aku benar-benar minta maaf. Tadi sedang kalap dan… khilaf.” Bhari membujuk Nyiur sembari menyodorkan kelingkingnya. Namun semuanya terlambat, tingkah lakunya dibutakan oleh kemarahan yang menjerat dalam, hingga yang tersisa penyesalan.
Bhari kini ada dalam persimpangan. Menyerahkan diri, atau berpura-pura tidak pernah dilahirkan sebelumnya.
Cirebon, 2019-2020
***
Rizky Alvian, lahir di Cirebon, November 1998. Cerpen pertamanya dimuat di detik.com pada Juni 2019. Paruh waktu sebagai pengarang.