Para korban WNI pekerja di kapal asing terus bertambah. Pekerjaan itu, di beberapa kasus, jadi ajang perbudakan terselubung. Saatnya kini menghentikan praktik itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tiga hari berturut-turut, hingga Rabu (23/9/2020), harian ini mengangkat isu warga negara Indonesia pekerja di kapal asing pada halaman utama. Isu keselamatan WNI yang bekerja di kapal asing ini menjadi perhatian serius.
Data Kementerian Luar Negeri menunjukkan, sepanjang 2020 setidaknya tercatat beragam kasus yang melibatkan 237 WNI di 45 kapal ikan milik 13 negara. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mencatat, ada 415 kasus terkait pekerja migran Indonesia sektor kelautan pada Januari 2018-Mei 2020. Data itu merupakan kasus yang dilaporkan. Diperkirakan, kasus yang tak dilaporkan dan tidak terpantau lebih banyak lagi.
Sebelum mengurai akar dan benang kusut persoalan WNI pekerja anak buah kapal (ABK) di kapal asing, perlu kiranya mengingat kembali kebijakan pemerintah yang dicanangkan melalui Kemenlu, yakni perlindungan WNI. Seiring globalisasi, tingkat migrasi WNI—salah satunya karena tuntutan pekerjaan—bakal meningkat.
Intensitas dan kompleksitas persoalan juga kian meningkat. Perlu ”penguatan kehadiran negara”, meminjam istilah Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam pidato pernyataan pers tahunan Menlu, awal tahun ini, saat memaparkan formula ”prioritas 4+1” kebijakan luar negeri RI.
Kompleksitas isu WNI pekerja di kapal asing terjadi akibat banyak faktor. Mulai dari tumpang tindihnya peraturan dan kewenangan di beberapa kementerian, yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan; lemahnya sanksi atas pelanggaran—hanya pencabutan izin perusahaan pengirim tenaga kerja; merajalelanya sindikat menjerat korban hingga ke pelosok desa, bahkan menembus ke sekolah pelayaran; hingga keterlibatan sindikat di beberapa negara. Namun, akar persoalan adalah buruknya tata kelola pekerja migran kelautan, antara lain akibat ketiadaan instrumen hukum yang kuat untuk melindungi pekerja sektor itu.
Menyimak cerita dari keluarga korban kasus pekerja migran sektor kelautan ini, sungguh mengenaskan dan menyayat hati. Ada yang bertahun-tahun bekerja dengan waktu kerja belasan jam per hari, tetapi tidak digaji. Bahkan, ada yang meninggal akibat eksploitasi di kapal tempat bekerja, dan ada pula pekerja yang hingga kini tak diketahui keberadaannya.
Tak salah, ada yang menyebut sektor pekerja kelautan jadi ajang perbudakan terselubung. Perlu penataan menyeluruh untuk memutus rantai perbudakan itu. Perbaiki peraturan, terutama terkait perlindungan pekerja kelautan, perbaiki koordinasi antarkementerian dan hilangkan ego sektoral, serta manfaatkan mekanisme internasional, termasuk kerja sama dengan Interpol. Yang terpenting, lakukan sekarang juga.