Kenapa kita sebagai produsen kopi masih mengimpor biji kopi? Padahal, kopi robusta Lampung memiliki kualitas bagus dan di internasional pun dikenal.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan domestik dan global yang menurun di tengah puncak musim panen membuat kopi petani tidak terserap pasar. Di sisi lain, tren impor kopi terus meningkat beberapa tahun ini. Pemerintah menyiapkan skema pembiayaan dan penyerapan kopi lokal serta meninjau ulang tata niaga impor agar kopi petani bisa berdaulat di negeri sendiri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 96,9 persen dari lahan kopi di Indonesia dikuasai oleh perkebunan rakyat atau petani berskala mikro dan kecil. Sementara hanya 2,02 persen yang dimiliki oleh perkebunan swasta dan 1,86 persen yang dikelola oleh perkebunan besar milik negara.
Dalam seminar daring ”Solusi Penyerapan dan Pembiayaan Kopi di Tengah Pandemi”, Rabu (23/9/2020), terungkap, beberapa daerah sentra produksi kopi, seperti Aceh (kopi Gayo) dan Lampung (kopi robusta Lampung), akan memasuki masa panen raya. Stok yang melimpah dan tidak terserap dikhawatirkan bisa berimbas pada kelangsungan hidup petani selama pandemi.
Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, puncak panen kopi di Dataran Tinggi Gayo diperkirakan terjadi mulai akhir September 2020 sampai Januari 2021, dengan proyeksi total produksi 70 persen dari total produksi pada umumnya atau setara 52.052 ton.
Stok yang melimpah dan tidak terserap dikhawatirkan bisa berimbas pada kelangsungan hidup petani selama pandemi.
Di sisi lain, masih ada pula stok biji kopi mentah (green bean) hasil panen Maret-Juni 2020 sebanyak 15.000 ton yang menumpuk di pedagang, eksportir, dan petani. Dengan demikian, sampai Januari 2021, diproyeksikan akan ada 67.000 ton kopi Gayo yang tersedia dan berpotensi tidak terserap jika permintaan kopi terus menurun.
Kopi arabika Gayo selama ini bergantung pada pangsa pasar ekspor yang menyerap 80 persen dari hasil produksi atau setara 59.488 ton per tahun. Sementara pangsa pasar nasional adalah 20 persen dengan jumlah 14.872 ton per tahun.
Namun, Nova mengatakan, selama pandemi, permintaan global menurun signifikan akibat pandemi. ”Stok menumpuk di gudang, sementara pohon kopi terus memproduksi buah-buah baru. Ini membutuhkan perhatian serius dari pemerintah,” ujarnya dalam seminar daring itu.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui, upaya meningkatkan penyerapan kopi dan produk pangan lain menjadi tantangan di tengah pandemi. Pemerintah sedang berikhtiar mencarikan solusi dari segi pembiayaan dan penyerapan agar produk hasil bumi dapat diserap pasar domestik dan juga ekspor.
Upaya meningkatkan penyerapan kopi dan produk pangan lainnya menjadi tantangan di tengah pandemi.
Beberapa skema melalui pasar domestik sedang dirumuskan dengan melibatkan peran aktif koperasi. Pembiayaan koperasi akan lebih diperkuat untuk membeli kopi petani yang tidak terserap pasar. Selanjutnya, koperasi akan dihubungkan dengan pembeli off-taker,seperti pemerintah, badan usaha milik negara, dan pihak swasta.
”Yang saat ini memiliki daya beli mumpuni tinggal pemerintah pusat dan daerah serta BUMN. Ini yang sedang kami dorong lewat penguatan pembiayaan di koperasi,” kata Teten.
Kendati demikian, ia menilai, belanja pemerintah dan BUMN tetap tidak bisa mengembalikan kekuatan daya beli dan permintaan seperti sebelum Covid-19. ”Kita harus mempersiapkan diri untuk situasi yang cukup berat, setidaknya sampai triwulan I-2021,” ujarnya.
Ironi impor
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menuturkan, penyerapan kopi robusta Lampung juga menurun karena beberapa faktor di luar pandemi. Pertama, adanya intervensi dari investor asing yang mengurangi daya dukung terhadap pengusaha lokal. Kedua, impor kopi robusta yang mengganggu penyerapan kopi hasil petani.
Arinal mengatakan sudah memanggil perusahaan terkait yang masih mengimpor biji kopi untuk berhenti. Biji kopi yang diimpor dikhawatirkan akan disadur lalu diekspor kembali sehingga menguntungkan pengusaha, tetapi justru mengurangi nilai dan nama baik kopi Indonesia.
”Ini aneh, kenapa kita sebagai produsen kopi masih mengimpor biji kopi? Padahal, kopi robusta Lampung memiliki kualitas bagus dan di internasional pun dikenal,” kata Arinal.
Kenapa kita sebagai produsen kopi masih mengimpor biji kopi? Padahal, kopi robusta Lampung memiliki kualitas bagus dan di internasional pun dikenal.
Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kopi 2018-2020 Kementerian Pertanian menunjukkan, tren impor kopi selama 10 tahun terakhir sangat fluktuatif, dengan peningkatan yang cukup tajam. Pada tahun 2011, impor kopi tercatat 18.000 ton dengan nilai 49,1 juta dollar AS. Jumlah itu meningkat drastis tahun 2012, tetapi cenderung menurun pada periode 2013-2017.
Pada 2018, impor kopi tiba-tiba meningkat tajam hingga 454,9 persen sebanyak 78.800 ton dengan nilai 155,8 juta dollar AS. Kemudian pada 2019, impor kopi kembali turun menjadi 32.102 ton atau senilai 66,2 juta dollar AS. Pada Januari-Juli 2020, volume impor kopi mencapai 11.218 ton atau senilai 26,03 juta dollar AS.
Teten mengemukakan, sampai sekarang, masih ada dua perusahaan besar yang memasok kopi jenis robusta dari negara lain. Hal itu menjadi ironi untuk negara yang konsisten berada di lima besar produsen kopi dunia.
Impor masih gencar karena harga kopi dalam negeri lebih tinggi dibandingkan dengan kopi hasil impor, seperti dari Vietnam. Untuk itu, Kementerian Koperasi dan UKM akan meminta Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan untuk meninjau ulang rekomendasi dan izin impor kopi untuk keperluan industri.
”Kami minta agar tidak lagi mengeluarkan izin impor kopi dan menyerap produk dalam negeri yang tidak bisa terserap,” katanya.