Lionel Messi, Ronald Koeman, Masa Depan Barca
Setelah terpuruk di akhir musim 2019-2020, Barcelona menatap musim baru dengan pelatih anyar Ronald Koeman. Bagi Koeman, dia harus memastikan Lionel Messi menampilkan yang terbaik setelah sempat berniat hengkang.
Bertahannya Lionel Messi di Barcelona membuat teka-teki masa depan FC Barcelona makin pelik. Bintang asal Argentina itu galau jelang akhir musim 2019-2020. Messi yang memperkuat Barcelona senior sejak 2004, dan telah menyumbangkan lebih dari 400 gol, secara terbuka mengungkapkan hasratnya untuk hengkang.
Namun, niat itu terhalang banyak hal. Problem negosiasi, terutama terkait buyout clause yang ditetapkan Barca senilai 700 juta euro, dan dua opsi yang lalu muncul: bertahan di Barca atau bersidang melawan Barca terkait buyout clause itu, pada akhirnya membuat Messi bertahan.
Bagi Messi, kini berusia 33 tahun, berada di ruang sidang menghadapi Barca yang membesarkan namanya itu mustahil. Apa daya, dia pun bertahan di Camp Nou.
Kegalauan Messi adalah dampak situasi internal Barca yang karut-marut. Salah satu penyebab kekacauan itu, sejumlah kebijakan klub yang tidak memprioritaskan tim. Sebut saja pemotongan gaji pemain saat pandemi yang mencapai 70 persen sehingga menjadikan Barca sebagai klub dengan persentase terbesar dalam memotong gaji.
Kebijakan ini berbanding terbalik dengan keputusan klub di bawah Presiden Josep Maria Bartomeu, yang melanjutkan megaproyek ”Espai Barca”. Proyek senilai 600 juta euro (Rp 10,5 triliun) itu demi penambahan kapasitas Stadion Camp Nou dan membangun kota mandiri ”El Barca” yang dilengkapi berbagai fasilitas mewah.
Baca juga : Tarian Terakhir Messi di Barcelona
Proyek-proyek itu jauh dari kepentingan tim. Terlebih, selain soal pemotongan gaji, beberapa aspirasi Messi juga terabaikan. Salah satunya, rekomendasi sang bintang untuk merekrut kembali Neymar dari Paris Saint-Germain. Tak heran, musim lalu, Barca paceklik gelar. Ibarat pepatah, ”tak mungkin ada asap jika tiada api”. Runyamnya kondisi internal ini akhirnya berdampak pada prestasi.
Bukan barang baru
Mampukah pelatih baru Barca, Ronald Koeman, mempersembahkan prestasi di tengah gonjang-ganjing klub? Pertanyaan sulit. Koeman yang asal Belanda pasti piawai dalam strategi. Baginya, pola Barca yang tiki-taka, mengutamakan umpan-umpan pendek, yang seketika mematikan lawan, bukan barang baru.
Johan Cruyff, legenda Belanda, pernah melatih Barca. Gaya total football yang khas Cruyff dari sisi filosofi mirip tiki-taka. Dengan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki, tak penting lagi siapa pencetak gol, bisa penyerang, bisa gelandang, bisa bek. Catatan tambahannya, Frank Rijkaard, rekan setim Koeman di tim Belanda yang menjuarai Piala Eropa 1988, juga pernah menangani Barca.
Tantangan terbesar Koeman bukan di soal strategi bermain, tetapi pada membangun semangat dan kohesivitas tim. Pertama-tama, bagaimana Koeman harus ”menjinakkan” Messi yang galau. Jika urusan dengan Messi selesai, artinya Messi sudah nyaman dan siap mempersembahkan yang terbaik, proses berikutnya tinggal membangun kohesivitas tim.
Membangun tim dengan bintang berkapasitas Messi gampang-gampang susah. Pemain lain bisa berasumsi Messi ”anak emas” karena selalu jadi pemain mula (starter) atau semua serangan harus melalui kakinya. Sialnya, hampir mustahil Koeman, atau pelatih Barca lainnya, tak menurunkan Messi.
Baca juga : Barcelona Tak Bisa Hidup Tanpa Messi
Situasi makin kompleks bagi Koeman karena kini Messi di usia 33 tahun, bukan lagi usia emas pesepak bola. Jika sudah telanjur dipasang sebagai starter, sementara Messi kurang bugar, performa tim jadi taruhan.
”Merelakan” bintang
Banyak tim dengan bintang yang matang sukses membangun kohesivitas tim dengan ”merelakan” sang bintang. Contoh yang bisa disebut salah satunya tim nasional Spanyol di Piala Dunia Jerman 2006. Tim ”Matador” kala itu kental dengan kebintangan Raul Gonzalez dan Michel Salgado.
Luis Aragones, pelatih Spanyol di Jerman 2006, mencoret Raul dan Salgado. Keputusan yang memicu kontroversi, terutama di kalangan fans Raul dan Real Madrid. Namun, Spanyol yang waktu itu diperkuat pemain-pemain muda tampil impresif di Jerman 2006.
Revolusi Aragones mencapai puncaknya pada 2008, kala Spanyol menjuarai Piala Eropa Swiss-Austria 2008. Ketiadaan Raul membuat Spanyol tampil dengan kohesivitas optimal, mengandalkan bintang-bintang baru, seperti Xavi, Andres Iniesta, Sergio Ramos, dan Fernando Torres.
Kesuksesan Spanyol berlanjut dengan keberhasilan mereka tampil sebagai juara dunia Afrika Selatan 2010 dan Piala Eropa Polandia-Ukraina 2012 di bawah pelatih Vicente del Bosque.
Tim lain yang secara evolutif menyisihkan bintang adalah tim nasional Jerman. Kapten Jerman di Piala Eropa 2008, Michael Ballack, mulai kerap cedera setelah perhelatan di Swiss dan Austria itu usai. Ia masih mencetak empat gol pada beberapa laga kualifikasi Piala Dunia Afrika Selatan 2010, tetapi kemudian mengalami cedera pergelangan kaki, yang membuatnya gagal tampil di Afsel.
Ketiadaan Ballack justru membuat Jerman tampil impresif, seperti saat menang 4-1 atas Inggris di babak 16 besar, dan 4-0 atas Argentina di perempat final. Tim ”Panser” mengakhiri penampilan dengan menjadi pemenang ketiga di Afsel.
Ketika itu, absennya Ballack tergantikan bintang-bintang muda Jerman yang mulai bersinar, seperti Sami Khedira, Thomas Mueller, dan Mesut Oezil. Mantan kapten Jerman, Lothar Matthaeus, dalam pernyataannya di The Telegraph menilai, tanpa Ballack, pemain-pemain muda itu lebih berkembang.
Setelah masa itu, Ballack yang ketika masih jadi kapten Jerman terkesan ingin semua serangan melalui kakinya tak pernah lagi dipanggil pelatih Joachim Loew. Sejumlah informasi menyebutkan, Loew menunggu pernyataan Ballack pensiun dari tim nasional meski Ballack yang makin kerap cedera enggan menyerah.
Pada 16 Juni 2011 diumumkan bahwa Ballack bukan lagi bagian dari tim Panser. Setelah itu, Jerman menjadi semifinalis Piala Eropa Polandia-Ukraina 2012 dan kampiun Piala Dunia Brasil 2014.
Mengendalikan tim
Messi tentu berbeda dengan Raul, juga Ballack, karena tiap bintang punya karakter sendiri-sendiri. Namun, posisi Messi sebagai bintang di Barca selama 15 tahun lebih, dengan sumbangannya kepada klub baik itu gelar juara Liga Spanyol, Liga Champions Eropa, maupun Piala Dunia Klub, membuat ia sebagai bintang dari segala bintang.
Satu lagi keistimewaan Messi di Barca, dia kapten tim, yang artinya penerjemah kemauan pelatih di lapangan. Bisa saja, dengan posisi istimewa sebagai legenda sekaligus kapten, Messi menjadi ”pemain tak tersentuh”, bahkan sulit untuk diingatkan pelatihnya.
Di sinilah peran Ronald Koeman. Sejauh mana Koeman bisa mengendalikan tim, termasuk menetapkan hukuman jika itu perlu, bahkan untuk bintang sekalipun, akan sangat menentukan. Kadang, karena kedekatan dengan tulang punggung tim, pelatih kurang enak hati mengingatkan pemain bintang.
Fenomena ini dialami Rijkaard, yang meski pernah membawa Barca meraih dua trofi La Liga dan satu trofi Liga Champions, lantas kurang tegas terhadap andalan tim, salah satunya Ronaldinho. Efeknya, tim kurang padu dan prestasi tak tercapai.
Dalam tulisan pada 16 Juli 2008, kolumnis Reuters, Simon Baskett, menulis, karena kurang disiplin, Ronaldinho menghadapi sejumlah masalah. Di antaranya, selama berlatih kurang serius, kehilangan konsentrasi saat bermain, dan munculnya problem kelebihan berat badan. Rijkaard kala itu gagal membawa Ronaldinho ke performa terbaiknya lagi.
Pelatih legendaris Manchester United, Sir Alex Ferguson, dalam bukunya, Memimpin, membahas hal ini dalam bab ”Kendali”. ”Tak ada salahnya marah kalau alasannya benar, tetapi kalau kita marah saat tersinggung sedikit saja, organisasi bisa lumpuh. Kalau saya marah, suasana mendung reda dalam sekitar sehari,” tulis Fergie.
Dalam bab lain Fergie juga menulis, ”Tak mungkin Anda mengharapkan yang terbaik dari tim kalau setiap hari Anda terus memukuli (baca: memarahi) mereka”. Artinya, di luar penjelasan soal teknis permainan, pelatih mesti pandai-pandai mengatur ritme antara apresiasi dan hukuman, reward and punishment. Hukuman termasuk kepada pemain bintang.
Koeman tak punya alternatif untuk merelakan bintang, seperti dilakukan Aragones dan Loew, karena Messi masih di Barca. Tinggal kini bagaimana Koeman memanfaatkan kapasitas kebintangan Messi sehingga benar-benar menjadi berkah bagi tim, bukannya sumber musibah.